Presiden Joko Widodo telah dihadang tiga kali secara tidak sadar oleh menterinya untuk menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) tentang listrik sampah (PLTSa). Apakah Staf Ahli atau Staf Khusus Presiden di KSP tidak pernah membaca UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolan Sampah (UUPS) serta regulasi pendukung lainnya ataukah Perpres PLTSa yang telah dibatalkan dan dicabut oleh MA ?!Â
Heran, Presiden Joko Widodo sendiri menyoal regulasi terlalu banyak, tapi kenapa juga selalu menerbitkan regulasi yang sama dan berpotensi menghambat investor. Karena kebijakan yang salah sama saja menghambat arus berusaha dalam negeri dan investasi.
Mati Hidup Perpres PLTSa
Perpres No.18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) atas permohonan uji materiil Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah yang diajukan oleh 15 orang pemohon perorangan dan Walhi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), BaliFokus, KruHA, Gita Pertiwi dan Perkumpulan YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi).Â
Permohonan uji materiil disampaikan pada 18 Juli 2016 dengan nomor register 27/P/HUM/2016. Sementara putusan MA keluar pada 2 November 2016.
Setelah dibatalkan Perpres 18 Tahun 2016 diatas, berbagai upaya KLHK dengan melibatkan hampir seluruh menteri dan para menteri koordinator (kecuali Menteri Pertanian karena tidak dimasukkan) telah menerbitkan lagi Perpres No. 97 Tahun 2017 Kebijakan dan Strategi Nasional - Jaktranas - Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Tanggal Pengundangan (24 Oktober 2017), tapi terselip program PLTSa di dalamnya. Sungguh hebat akal konseptor Jaktranas Sampah untuk mengelabui masyarakat.
Tidak puas dengan Perpres No. 97 Tahun 2017, muncul lagi Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PLTSa) pada 12 April 2018. Untuk membangun PLTSa di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang, dan Kota Manado (tambahan Medan dan Bali).
Pada prinsipnya Perpres No. 35 Tahun 2018 merupakan reinkarnasi Perpres No.18 Tahun 2016, karena hanya berbeda sedikit judulnya dan pada perpres baru tersebut tidak eksplisit menyebut teknologi termal tapi hanya diganti teknologi ramah lingkungan. Pada perpres lama yang telah dicabut memang sama sekali tidak ada kalimat teknologi ramah lingkungan.
Saat ini Indonesia juga sudah memiliki peraturan terkait 3R yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan 3R melalui Bank Sampah yang menjadi dasar pelaksanaan Bank Sampah di Indonesia. "Jadi Bank Sampah ini merupakan salah satu penerapan resource efficiency dan circular economy di Indonesia," ujar Rosa Vivien Ratnawati (Dirjen PSLB3 KLHK)
Mungkin Kementerian LHK dan Menko Maritim yang sangat bersemangat ingin membangun PLTSa, berpikir bahwa ditolaknya perpres itu berdasar pada tidak adanya tertulis "teknologi ramah lingkungan" Sehingga pada perpres yang baru ditambahkan dengan kalimat "teknologi ramah lingkungan".
Padahal beberapa faktor menjadi alasan digugatnya antara lain secara prinsip pada regulasi mengamanatkan pengelolaan sampah di kawasan timbulannya (Pasal 13 dan 45 UUPS) artinya pengelolaan secara desentralisasi, sementara PLTSa ini jelas sentralisasi artinya sama saja pengelolaan di TPA yang membutuhkan bahan baku sampah yang besar, serta lahan yang luas untuk penampungan sampah. Karena sampah Indonesia itu memiliki tingkat basah yang tinggi, maka setidaknya harus dikeringkan terlebih dahulu selama beberapa hari. Seharusnya sampah yang bersifat basah (sampah organik) ini diolah menjadi pupuk organik kompos di kawasan timbulannya.