Kelola sampah sesungguhnya sangatlah mudah, hanya saja mental oknum birokrasi penguasa dan pengusaha yang tidak ramah terhadap masalah sampah itu sendiri, terjadi mis regulasi. Memang tidak ada niat kuat untuk mengawal Indonesia Bebas Sampah 2020, malah target itu bergeser ke tahun 2025. Perubahan target ini yang sungguh memalukan Indonesia dimata dunia. Pola tiba masa tiba akal (managenent of crisis) terpakai dengan santai tanpa merasa ada beban moril dan materil selama ini.
Sangat bisa dipastikan bahwa terjadi pembiaran massif oleh pemerintah terhadap pemerintah daerah di seluruh Indonesia demi kepentingan oknum tertentu bersama kelompoknya. Sangatlah kental dan nyata kondisi tersebut.
Tertarik untuk diskusi atas artikel Sahabat Kompasianer Mba Maria G. Soemitrodengan judul "Mengubah Paradigma tentang Sampah di Konferensi Internasional Zero Waste Cities"Â
Sangat apresiasi dengan ulasan tersebut, bisa memberi langkah atau signal kepada pemerintah dan pemerintah daerah serta sahabat hijau lainnya yang masih berpikir konvensional untuk terus mendukung semu oknum di birokrasi yang jahat. Ini menjadi masalah besar, karena oknum birokrasi masih saja didukung oleh person, lembaga atau asosiasi secara tidak benar. Sehingga oknum tersebut bertahan, walau dalam kegelisaan. Tapi resikonya, sampah masih terus bermasalah, duit rakyat habis hanya menciptakan gerakan insidentil dan parsial, pertemuan demi pertemuan tanpa hasil signifikan. Maaf kami sangat fahami itu !!!
"Sayangi bumi, bersihkan dari sampah" Demikian tagline International Zero Waste Cities Conference  (IZWCC) yang dihelat dalam melengkapi rangkaian Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) ke--12 di Kota Bandung, Cimahi dan Soreang pada tanggal  5 -- 7 Maret 2018.  Merupakan  Konferensi Internasional ke-3 dan pertama di Indonesia setelah penyelenggaraan  pertama dan kedua di Philipina. Tulis Mba Maria dalam artikelnya.
Circular Economi = Amanat Regulasi Sampah
Sebenarnya apa yg dilakukan oleh Philipina dan India termasuk seperti Korea Selatan dan beberapa negara lain di dunia sangatlah mudah dilaksanakan di Indonesia. Apalagi karakteristik sampah Indonesia di dominasi sampah organik yang sebanding dengan lahan pertanian dan perkebunan yang dimiliki Indonesia.Â
Kenapa ?
Regulasi atau undang-undang persampahan Indonesia memang menghendaki atau memerintahkan demikian, malah regulasi yang diterbitkan di era pemerintahan SBY-JK itu searah dengan visi misi Jokowi-JK melalui Program Nawa Cita dengan menyiapkan atas penggunaan hasil ahir dari daur ulang sampah organik berupa pupuk kompos (Kementerian Pertanian melalui Program Demplot 1000 Desa Organik sangat membutuhkan pupuk kompos yang banyak), silakan buka dan baca di Halaman 37 Visi Misi Presiden Joko Widodo.
Tapi Menteri Kabinet Kerja dan para stafnya pada keukeh saja untuk status quo dalam mengatasi sampah. Jadi apa yang terjadi pada Circular Economi tsb, yaaa itulah kehendak dan amanat regulasi sampah itu sendiri. Bukan Linear Economi dan bukan pula tanpa substansi.
Lebih mengherankan lagi dalam Perpres Nomor 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga. Kementerian LHK sebagai leading sector penerbitan Perpres  Jaktranas Sampah tersebut, tidak memasukkan Kementerian Pertanian sebagai mitra utama yang fungsinya sangat penting dan strategis, sebagai pengguna terbesar pupuk organik berbasis sampah (Ingat bahwa karakteristik sampah Indonesia didominasi sekitar 70-80% sampah organik) yang bisa di konversi atau daur ulang menjadi pupuk kompos dan biogas atau listrik skala kawasan. Maka Jaktranas Sampah harus direvisi.
Pasal 13 UU.18-2008 Acuan Circular Economi
Sangat jelas ada pasal pamungkas pelaksanaan circular economi yaitu khususnya Pasal 13 UU. Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, begitu juga pada Permendagri Nomor 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menfasilitasi prasarana dan sarana pengelolaan sampah di tingkat kelurahan/desa (RW).Â
Apalagi disanding dengan PerMen LH No. 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah dan juga ada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Tapi semua regulasi ini tidak dijalankan dengan benar dan fokus oleh oknum birokrasi penguasa dan pengusaha konco-konconya secara terstruktur dan massif seluruh Indonesia. Tapi lebih mencari solusi "pembenar" namun ahirnya keliru pula dan terjadi resistensi dari setiap kebijakan. Dasar menghianati rakyat dan bangsanya sendiri. Jadi selalu saja stagnasi dalam menemukan solusi.Â
Masih untung belum saja para penegak hukum serius melakukan lidik/sidik karena beberapa kebijakan diduga keras terjadi penyelewengan jabatan (abuse of power), berpotensi terjadi gratifikasi.Â
Contoh Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) melalui Surat Edaran (SE) Dirjen PSLB3 Kementerian LHK (tahun 2015 dan 2016). Hal ini masih diproses untuk mempertanggungjawabkan relisasi KPB tersebut. Bahwa kemana dana KPB yang berjumlah ratusan milyar bahkan bisa mencapai triliun rupiah itu (indikasi ini sudah disampaikan kepada pihak yang berwenang).Â
Malah sampai tulisan ini diturunkan masih ada ritel yang berani menjual atau melaksanakan Kebijakan KLHK atas KPB. Jelas semua itu harus dipertanggungjawabkan. Itulah konsekuensi hidup di negara hukum Indonesia. Tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena sudah "merasa" sadar, terus diabaikan. Oh bukan begitu kerja hukum di Indonesia.
Kenapa Terjadi Kekeliruan ?
Karena pemerintah lebih kepada menyusahkan diri dalam mencari solusi pembenar dan industri itu sendiri ikut disusahkan atau berpotensi dirugikan dalam produksinya. Karena basic atasi masalah pengelolaannya berdasar pada kata atau wacana "terurai" ya tentu terurai itu lebih pada konotasi dengan "tanah" bukan "kelola".Â
Maka bermasalah terus tanpa titik temu, karena menghindari patokan dan barometer "regulasi dan modernisasi". Terjadilah solusi dengan wacana "tidak boleh atau kurangi" pakai plastik dll, diseranglah hulu atau industri dengan macam-macam cara (seperti yang terjadi pada event IZWCC di Bandung itu).Â
Menurut saya, itu pendapat dan cara pandang yang keliru. Serta susah di replikasi pula.... Hehehehe (malu rasanya cara kerja orang-orang pintar ini), kecuali perlakuan insidentil belaka.Â
Silakan perhatikan dan pantau fakta yang terjadi pada masa kini dan masa yang akan datang. Perlakuan ini sama saja menghindari kemajuan peradaban. Tidak faham peningkatan ekonomi dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Kenapa mesti masyarakat dibatasi belanja. Berarti dibatasi pakai kantong plastik atau kenasan lainnya ?! Yang dibatasi itu sampahnya, malah harus hilangkan sampah dengan menjadikan manfaat. Berpikirlah !!!
Pekerjaan atasi sampah sangat gampang tapi Anda semua sengaja menyusahkannya. Hentikan cara-cara kotor itu. Jangan jadi sampah di tengah sampah.
Lokakarya Kantong Plastik Banjarmasin
Seru lagi, rencana Ditjen PSLB3 KLHK bersama konco-konconya akan melakukan lagi Lokakarya Tentang Larangan Pemakaian Kantong Plastik di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (16/17-4-2018). Miris melihatnya, seakan acara dan undangan di setting oleh kelompok tertentu.Â
Untuk apa Lokakarya kantong plastik lagi, diskusi ? Cari data pembenar ? Formalitas ?Sementara masalah kantong plastik sudah sangat jelas. Lebih kurang 2 tahun ini, pemerintah dan pemda bersama asosiasi, lembaga/NGO dalam dan luar negeri, pelaku industri, pemerhati sampah sampai pada akademisi mencari solusi tanpa henti. Seharusnya eksekusi langsung, cukup dasarnya. Tindakan KLHK ini sudah tidak bijak lagi dalam penggunaan APBN/D. Habis uang negara untuk rapat dan diskusi terus, hanya karena mencari alasan pembenar. Semoga ulasan ini menjadi warning untuk semua komponen.
Apa relevansi dan pemahaman organ Pemkot Banjarmasin tentang masalah kantong plastik secara nasional ini ? Faham tidak masalah KPB ini sehingga di protes keras oleh penulis. Lucu sekali lokakarya di Banjarmasin itu. Semoga tidak menjadi temuan koruptif yang diduga bersinggungan dengan azas manfaat (Baca: UU. Tipikor).
Ini semua menurut subyektifitas penulis yang bertentangan dengan regulasi dengan meniadakan prinsip "kelola" jadi memang kelihatan ada kesengajaan "menyusahkan" agar pasal-pasal dalam regulasi sampah yang menghendaki pengelolaan kawasan pada sumber timbulannya, tidak terjamah oleh rakyat (disini hak rakyat dikebiri).Â
Lalu oknum-oknum birokrasi tetap status quo untuk mengangkut sampah ke TPA. Karena pada kondisi ini, potensi duit rakyat (APBN/D, Tipping Fee termasuk CSR, Hibah dll) diduga mengalir setiap saat atau setiap hari ke kocek oknum tertentu.Â
Pemerintah Ambisius Bangun PLTSa ?!
Begitu juga pemerintah dan pemda ambisius melaksanakan pembangunan PLTSa, pada ujungnya akan mengeruk tiping fee yang besar (coba buka kontrak kerjanya). Selain PLTSa tersebut memang tidak diizinkan dengan teknologi incinerstor. Sekedar mengingatkan bahwa Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan uji materi pembatalan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya dan Makassar).Â
Nah anehnya lagi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Pemprov. DKI Jakarta telah melakukan peletakan batu pertama pembangunan pengolahan sampah melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTsa) di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Rabu (21/3).Â
PLTSa ini katanya mampu membakar semua jenis sampah hingga 50 ton per hari dan menghasilkan listrik hingga 400 kilowatt (Kw). Jadi memang Jaktranas Sampah tersebut sangat lucu, karena di dalamnya mengendorse pengelolaan sampah kawasan melalui mekanisme Bank Sampah tapi yang difokus adalah PLTSa. Jadi sangat diduga Jaktranas Sampah tersebut hanya ingin mengantar pembangunan PLTSa yang sebelumnya sudah dicabut perpresnya oleh MA.Â
PLTSa Bantargebang sangat potensi digugat lagi. Belum lagi ditelisik bagaimana bentuk atau aplikasi tender yang telah dilakukan tersebut oleh BPPT, juga anggarannya sangat tinggi. Seharusnya BPPT mengendorse pengelolaan di kawasan timbulan sampah melalui Bank Sampah serta Pembangunan Sanitary Landfill Bertingkat di TPST Bantargebang, sebagaimana yang dilakukan TPA Sundakwon Korea Selatan.
[Dilematis] Terurai versus Kelola ?!
Seharusnya bila prinsip "kelola" sampah menjadi basic berpikir dan bertindak, ya tidaklah mengganggu proses modernisasi (peradaban) yang jelas tidak bisa dihindari. Karena modernisasi sendiri seiring dengan prinsip "proses" keberlanjutan.
Tapi memang keras dugaan saya, masalah sampah (apalagi plastik) sangatlah di plintir untuk tujuan atau maksud sesat oleh oknum "kapitalis" tertentu atau terjadi benturan kepentingan pengusaha besar dengan memanfaatkan oknum birokrasi dan mitranya baik dari LSM/NGO, person, lembaga/asosiasi dll yang pada fakta oknum tsb selalu penulis berbeda pandang pada forum resmi dan tidak resmi, karena kami hanya ingin regulasi sampah dijalankan dengan benar dan bertanggungjawab. Artinya semua stakeholder sampah tidak ada boleh dirugikan, atau terjadi win-win solusi.
Begitu juga Kementerian Perindustrian, sebaiknya urus Industri saja dengan mewajibkan setiap produk berdasar pada SNI. Tegakkan SNI saja dengan tidak melakukan pemihakan pada produk tertentu. Biarkan industri berproduksi sesuai SNI kantong plastik. Serahkan mekanisme pasar yang akan memilih sesuai kemampuan daya beli.Â
Urusan sampah bukan pada pembatasan produksi. Tapi pembatasan pasca produksi atas sisa produksi yang terpakai atau yang menjadi sampahnya, yang selanjutnya itu urusan KLHK dan/atau kementerian terkait lainnya. Ini urusan semua tumpang-tindih antar kementerian. Ejawantahlah regulasi dengan jujur dan berkeadilan.
Mari bersama merubah wajah pengelolaan sampah Indonesia dengan baik dan benar.
Berita Terkait:
1. Aneh Menteri Pertanian Tidak Dilibatkan Dalam Jaktranas Sampah
2. Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia
3. Terkait Sampah, Surat Terbuka untuk Presiden Joko Widodo.
4. Solusi Stop Sampah Plastik di Laut.
5. Ketika Sampah Menjadi Urusan Sexy di Kabinet Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H