Berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada skala lokal, regional, nasional dan global, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia.Â
Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan alam, seperti di sungai, laut, hutan, atmosfer, air, tanah, sampah, dan seterusnya bersumber dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Manusia adalah penyebab utama dari kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Krisis lingkungan hidup global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenal dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem.Â
Pada ahirnya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Inilah awal semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang.Â
Oleh karena itu, pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekosistem.
Bencana demi bencana selalu mendera kota-kota di Indonesia. Seakan bumi ini sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia. Bisa jadi karena manusia sudah tidak peduli lagi terhadap bumi dimana kita berpijak dan menikmatinya.Â
Kita harus kembali menengok lingkungan sekitar apakah masih tersisa nuansa hijau alamnya. Kota hijau yang berkelanjutan adalah kota yang menjaga karakter alam, bebas dari sampah, ketersediaan air bersih, udara segar, tempat rekreasi, iklim mikro yang nyaman dan beragam keanekaragaman hayati.Â
Hakikat membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah menghadirkan lingkungan alam untuk keseimbangan ekosistem dan meningkatkan estetika kota. Ingat bahwa bumi adalah saudara kembar manusia.
Untuk merealisasikan RTH 30% perlu perencanaan berdasarkan potensi alam, keseriusan pemerintah daerah (pemda) kabupaten dan kota seluruh Indonesia, pemangku kepentingan (stakeholder), dan partisipasi masyarakat, masyarakat yang berwawasan lingkungan atau masyarakat bergaya hidup hijau (green style).
Kepala daerah (Baca: gubernur, bupati dan walikota), perlu segera berbenah untuk memprioritaskan membangun dan mempertahankan kawasan hijaunya, agar jangan sampai minus 30% dari aturan yang ada dalam regulasi. Pembangunan dan pengembangan RTH harus tercermin dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tidak boleh main-main dalam perencanaannya, harus serius, fokus dan konsisten mempertahankan dan mengembangkan ruang hijau tersebut.
Sebagaimana amanat Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2007.Tentang Penataan Ruang pada Pasal 29 (1) telah disebutkan bahwa ketersediaan RTH terdiri dari RTH publik 20% dan RTH privat 10%.Â
Namun masalahnya, sebagian besar pemda kabupaten dan kota di Indonesia belum memiliki data konkret luas RTH privat berupa taman di rumah-rumah warga, perusahaan swasta, kompleks perumahan atau bangunan gedung. Padahal secara kasat mata, RTH privat kemungkinan besar totalnya cukup luas, bahkan bisa jadi ketersediaan luas potensi RTH privat melebihi 10% dari ketentuan regulasi.Â
RTH privat ini harus terdata baik, khusus perumahan real estate sangat rawan beralih fungsi secara diam-diam oleh pengembangnya. Seharusnya pemda dimana berada wilayah perumahan itu, mengambil alih pengelolaan jalan dan RTH dari ruang privat ke ruang publik. Â
RTH Rawan Perubahan Fungsi
Selam ini dalam pembangunan kota, keberadaan RTH sangat rawan terhadap perubahan fungsi. Daerah pertanian, lapangan sepak bola, perikanan, kehutanan, pertanian (sawah), perkebunan, situ, waduk, tepian atau bantaran sungai, jalur hijau, sudut-sudut bangunan dalam perumahan, kawasan hijau sebuah kompleks bangunan real estate atau developer dan daerah hijau lainnya merupakan kawasan yang rawan terhadap konversi atau pengalihan fungsi.
RTH dapat dibedakan dalam berbagai jenis dan bentuk, seperti RTH pekarangan/halaman, RTH Pertanian, RTH Olahraga, RTH kehutanan, RTH pertamanan, RTH pemakaman, dan jenis RTH lainnya. Bentuk RTH dibedakan menjadi dua; RTH berbentuk area hijau dan RTH berbentuk jalur hijau
Hampir semua pembangunan Kota Satelit atau perumahan lainnya yang dibangun oleh perusahaan pengembang (developer), melakukan alih fungsi lahan, setelah area bangunan habis terbangun.Â
Misalnya pada sudut-sudut blok bangunan serta kawasan hijau lainnya yang awalnya masuk area hijau yang menjadi persyaratan 30% RTH pada saat pengajuan izin bangunan perumahan. Modus-modus yang dilakukan oleh pengembang, setelah area peruntukan bangunan sudah selesai dibangun. Maka langkah selanjutnya, para pengembang membangun area hijau (RTH) tersebut.Â
Pada ahirnya peruntukan RTH habis total terkecuali pada median jalan dan sedikit tersisa untuk taman-tamannya. Pemandangan ini hampir semua terjadi di seluruh Indonesia. Justru dapat diduga, bahwa lahan-lahan RTH ini menjadi bancakan korupsi dalam pemberian perizinan (IMB) oleh oknum pejabat dan pengusaha pengembang.
RTH bukan sekedar menghadirkan vegetasi sebagai dekorasi kota, sehingga dianggap sebagai penyempurna hijau. Kehadiran alam di wilayah perkotaan akan memberikan nilai hakiki bagi warga akan kesehatan, kenyamanan dan keindahan.
Pertanyaan esensial dalam pembangunan adalah "bukan dimana boleh membangun", tetapi justru "di mana tidak boleh membangun". Karena secara teknologi hampir semua tempat dapat di bangun.
Kota hijau adalah kota yang bisa menghargai lingkungan alamnya. Kota yang nyaman, sehat, indah, bebas sampah, produktif dan berkelanjutan. Banyak cara untuk menyelamatkan lingkungan secara bersama-sama. Namun, semua itu dimulai dari diri sendiri.
Ayo bergerak, menuju Indonesia Bersih dan Hijau.
Jakarta, 22 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H