Sampah merupakan sebuah sumber daya yang bisa mengurai beberapa masalah antara lain, masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan, pangan dan energi. Dalam mencapai maksud tersebut, perlu diketahui sebagai berikut:
- Pemerintah harus fokus dalam mengembangkan EBT, jangan banyak target dan wacana macam-macam, tapi aplikasi berbasis kearifan lokal, itu kunci keberhasilan pengembangan EBT secara sustainable, dan paling penting hindari inkonsistensi regulasi.
- Pemerintah hakekatnya adalah memberi pelayanan kepada masyarakat dan memiliki tugas untuk melayani masyarakat, tidak mendahulukan bisnis tapi menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Ini menjadi dasar berpikir dalam pengembangan EBT (non BBM fosil). Energi Fosil dan EBT berbeda prinsip dasar pekerjaannya. Tidak boleh disamakan.
- Apapun jenis sumber EBT. Regulasi harus berpihak pada rakyat (desentralistik), bukan pola konglomerasi (sentralisasi). Namun tetap diharapkan bermitra dunia usaha (investor dalam dan luar negeri) dengan pola Public - Private Partnership (kerja sama pemerintah dengan swasta). Sinergikan stakeholder sehingga menjadi sebuah pekerjaan yang terintegrasi hulu-hilir (desentralisasi).
- Proses pengelolaan sampah dalam analisa perundang-undangan, khususnya Pasal 4 dan Pasal 13 UU.18 Tahun 2008, seharusnya mengahasilkan pupuk organik, olahan sampah anorganik serta produksi listrik melalui rekayasa biodigester (biogas) skala kawasan (artinya sampah bila hendak menghasilkan listrik, terlebih dahulu sampah diproses menjadi biogas). Alternatif teknologi non-thermal itu adalah pilihan yang lebih bijak mengingat sekitar 70-80% sampah yang dihasilkan di Indonesia adalah sampah mudah membusuk dari daun-daunan, sisa makanan atau bangkai hewan (sampah organik).
Kesimpulan
Dalam pengelolaan sampah yang benar, dipastikan akan memperoleh manfaat ganda (multi efek) terhadap pemerintah, perusahaan dan masyarakat secara umum. Antara lain akan mendukung Ketahanan Pangan dan Energi Nasional serta upaya perlindungan lingkungan dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga suhu panas bumi dapat menurun atau diturunkan melalui pengelolaan sampah. Upaya berkesinambungan ini harus dilakukan, mengingat Indonesia berada di jalur transisi menuju ekonomi rendah karbon.
Indonesia merupakan salah satu negara G20 dengan porsi energi terbarukan yang cukup tinggi dalam bauran energi primer, tetapi pengembangan energi terbarukan termasuk tertinggal dibandingkan dengan negara G20 lainnya.
Daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia juga memburuk, sedangkan kerangka regulasi untuk energi terbarukan berada dibawah sejumlah negara G20. Kenapa demikian, karena faktor-faktor antara lain telah disebutkan di atas. Diyakini bahwa dengan mengembangkan sampah berbasis komunal orientasi ekonomi ini, sesuai regulasi yang ada, Â Indonesia mampu mengejar ketertinggalan dari negara lain dalam pengembangan EBT sekaligus mewujudkan Ketahanan Pangan dan Energi Nasional berbasis pengelolaan sampah yang terintegrasi dengan seluruh pemangku kepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H