Mohon tunggu...
Hasrianti
Hasrianti Mohon Tunggu... Lainnya - Wanita, Indonesia

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen| Kisah Sebatang Pohon Meranggas

27 Desember 2022   07:27 Diperbarui: 27 Desember 2022   07:45 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah ada yang memerhatikan pohon meranggas? Yang tumbuhnya di pinggir jalan. Terjepit di antara bangunan-bangunan. Pula di antara pohon-pohon segar. Diam menanti senja yang sepi. Sebab saya pohon beranting kering. Sebab saya pohon yang kesepian. Saya memang hanya sebatang pohon meranggas.

Suatu ketika kami bertemu. Ia membawa gulungan kanvas. Ia mendengek di ranselnya cat air banyak warna dan kuas-kuas. Kami bertemu. Kami bertatap-tatapan. Ia menatapku. Saya menatapnya. Ia melukisku.

Pertama-tama satu daun. Lalu dua daun. Kemudian tiga daun. Selanjutnya empat daun. Lantas lima daun. Akhirnya reranting penuh daun. Saya hidup. Saya sama dengan pohon lain.

Kedua turun hujan. Gerimis saja. Tidak deras sekali. Tidak dengan angin kencang. Tidak ada suara petir menyambar-nyambar, atau kilat berkilat-kilat. Saya segar. Saya menemukan harapan.

Baca juga: Cerpen| Utopia

Ketiga singgah burung kecil. Jumlahnya sepasang saja. Burung merpati. Katanya melambangkan kesetiaan abadi. Identik juga dengan malaikat. Memangnya malaikat itu binatang? Setahuku malaikat memang bersayap. Juga berjubah putih. Persis merpati. Tapi malaikat bukan binatang. Apakah merpati setia? Itu urusan merpati.

Masih tentang burung. Mereka bikin sarang. Anyaman rumput kering. Burung kawin. Tidak menikah dulu? Dasar binatang! Mana kenal mereka kata menikah? Kawin ya menikah. Namanya juga binatang.

Lagi-lagi tentang burung. Ada telur 5 butir di dalam sarang. Betina nyanyi-nyanyi duduki telur-telur. Hai, anak burung lahir! Horeee. Kok warnanya berbeda? Anak burung berbulu hitam keabuan. Lepek. Ternyata burung juga alami metamorfosis. Tidak langsung cantik.

Keempat ditutup dengan teman-temanku yang jadi meranggas. Mereka jadi pohon meranggas. Akhirnya mereka rasa yang kurasa. Jadi pohon meranggas dijepit bangunan-bangunan tinggi menjulang.

Saya terbahak. Saya bukan lagi pohon meranggas. Saya punya daun banyak. Saya pohon normal. Sudah ada burung yang melirik. Cihui! Saya hidup. Saya subur. Saya normal. Mereka meranggas.

Tunggu. Tunggu dulu. Tunggu sebentar.

 Mmn, itu cuma lukisan. Balutan cat air warna-warni di muka kanvas. Tidak nyata. Ini salah. Tidak benar.

Seharusnya memang saya jadi pohon normal. Tapi, seharusnya  mereka juga tetap normal. Bukan. Bukan begini yang kubayangkan. Kenapa? Sama saja bohong. Saya normal. Saya hidup. Tapi mereka meranggas. Seharusnya tidak begini. Saya tetap sendiri kalau begitu. Satu-satunya pohon tidak meranggas. Terjepit di antara bangunan-bangunan tinggi menjulang.

Astaga. Burung lagi. Burung lagi. Burung bukan cuma satu. Buktinya di rantingku ada tujuh burung. Burung yang lain bagaimana? Tidak mungkin mereka semua tinggal di tubuhku. Ranting-rantingku bisa patah dipenuhi burung. Tubuhku akan kotor diberaki semua burung. Iya ya ya. Para burung nanti jadinya konflik. Bisa terjadi perang burung. Sesama burung kok baku pukul! Apa kata dunia?

Lagipula, saya tidak akan mampu menghasilkan semua oksigen. Orang-orang bisa mati kalau kekurangan oksigen. Pelukis itu juga bisa mati.

Ah. Saya bodoh sekali. Itukan cuma lukisan? Bukan kenyataan. Terserah yang melukis mau bikin bagaimana. Harusnya saya pasrah saja jadi pohon. Pohon meranggas saja bertingkah. Pohon bodoh!

Lebih baik begini. Biar saja saya sendirian meranggas. Asalkan burung-burung bebas cari tempat tinggal. Supaya pasokan oksigen tetap banyak.

Saya memang meranggas. Saya memang sendiri. Tapi saya yang meranggas dan sendirian ini pasti akan ada gunanya nanti. Pasti.

Hmm. Saya sudah tidak sabar. Kalau minyak tanah habis. Kalau gas 3 kiloan sudah langka. Kalau hari itu tiba, saya akan jadi primadona. Dicari buat ditebang. Dijadikan kayu bakar. Tamat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun