Seharusnya memang saya jadi pohon normal. Tapi, seharusnya  mereka juga tetap normal. Bukan. Bukan begini yang kubayangkan. Kenapa? Sama saja bohong. Saya normal. Saya hidup. Tapi mereka meranggas. Seharusnya tidak begini. Saya tetap sendiri kalau begitu. Satu-satunya pohon tidak meranggas. Terjepit di antara bangunan-bangunan tinggi menjulang.
Astaga. Burung lagi. Burung lagi. Burung bukan cuma satu. Buktinya di rantingku ada tujuh burung. Burung yang lain bagaimana? Tidak mungkin mereka semua tinggal di tubuhku. Ranting-rantingku bisa patah dipenuhi burung. Tubuhku akan kotor diberaki semua burung. Iya ya ya. Para burung nanti jadinya konflik. Bisa terjadi perang burung. Sesama burung kok baku pukul! Apa kata dunia?
Lagipula, saya tidak akan mampu menghasilkan semua oksigen. Orang-orang bisa mati kalau kekurangan oksigen. Pelukis itu juga bisa mati.
Ah. Saya bodoh sekali. Itukan cuma lukisan? Bukan kenyataan. Terserah yang melukis mau bikin bagaimana. Harusnya saya pasrah saja jadi pohon. Pohon meranggas saja bertingkah. Pohon bodoh!
Lebih baik begini. Biar saja saya sendirian meranggas. Asalkan burung-burung bebas cari tempat tinggal. Supaya pasokan oksigen tetap banyak.
Saya memang meranggas. Saya memang sendiri. Tapi saya yang meranggas dan sendirian ini pasti akan ada gunanya nanti. Pasti.
Hmm. Saya sudah tidak sabar. Kalau minyak tanah habis. Kalau gas 3 kiloan sudah langka. Kalau hari itu tiba, saya akan jadi primadona. Dicari buat ditebang. Dijadikan kayu bakar. Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H