Â
"Kawan, kesetaraan adalah sesuatu yang utopis. Sesuatu yang tidak mungkin. Kecantikan wanita adalah kutukan bagi lelaki. Pesonanya merupakan awal kebodohan bagi lawan jenisnya untuk menerima eksistensi wanita secara rasional dan sejajar", kata Ferdy saat kumpul-kumpul di sekretariat mahasiswa. Â Â Â Â Â"Saya suka pemikiranmu itu, tajam dan kerap liar, kawan", Yaser yang sedari tadi sibuk membersihkan megapon, bicara juga. Memuji ia kepada Ferdy.
"Kopinya sudah jadi! Kopi hitam asli Toraja tanpa gula", Ocha masuk membawa 2 gelas plastik berisi cairan kental hitam. Lantas menaruhnya di atas lantai bertegel putih. Sudah itu mengambil kedudukan di sudut bilik dekat jendela.Â
"Terimakasih, Ocha!", Ferdy mengujar setelah menyeruput kopi.
"Mantappb!", Yaser memuji kopi buatan Ocha ditambah acungan jempol.
"Sudah selesai kau bersihkan megapon itu?", Ferdy bertanya. Yang ditanya cuma mengangguk.Â
Ocha,"Ah, menurut saya, sebuah teori tidak mutlak bisa diterima, pada kenyataanya---mungkin---yang lebih cenderung menyukai perempuan cantik adalah kaum lelaki, sehingga kaum perempuan berusaha mempercantik dirinya untuk kaum lelaki. Adalah bodoh perempuan yang menunjukkan kecantikannya pada semua lelaki. Lalu kenapa ada pernyataan bahwa kecantikan perempuan merupakan sebuah kutukan. Kupikir, mungkin bodoh lelaki yang terkutuk karena kecantikan perempuan".
"Hahaha!", gelak tawa penuhi bilik.
Sambung Ocha lagi, "Orang-orang yang meributkan keadaan fisik, cantik tak cantik, atau tampan tak tampan, mungkin adalah---ehm---pendosa seperti saya. Bukankah antara perempuan dan lelaki memang tidak bisa disejajarkan, kecuali kodrat mereka sebagai manusia yang sama-sama mahkluk ciptaan Tuhan? Lelaki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Pernyataan yang basi, fuih-fuih-fuih!"
Setelah mendengar cukup sebentar, Ferdy berkomentar, "Bolehlah. Hmm, melihat perempuan cantik? Senanglah! Dalam konteks: kecantikan adalah bagian terpenting dari keindahan semesta, itu catatan penting bagiku. Tapi, apakah itu satu-satunya hal yang menjadikan lelaki menentukan hidupnya? Agaknya, tidak juga. Apa artinya pesolek tanpa denyut darah yang mengalir melalui neuron pikiran itu? Tidakkah lebih menarik seorang pendosa yang tersenyum?"
Ocha, "Iya. Tetapi mungkin tidak semua yang ada dalam tengkorak itu adalah otak: akal yang mampu berpikir". Â
Ferdy, "Ku pikir seorang pendoa yg paham bahwa suatu kali ia jadi pendosa justru berbicara tentang banyak hal".
"Rribuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut!!! Hoaaahh!", sebuah suara mengagetkan.
Ferdy, "Astaga, kupikir siapa. Kau sudah bangun ternyata, gondrong. Kau pergi kumur-kumur sana! Bau mulutmu."
Hafidz, "Diskriminatif. Laki-laki dan perempuan itu sejajar. Percuma perempuan berpikir keras dan berteriak-teriak tidak ada habisnya, jika laki-laki tidak menganggapnya ada."
Ferdy, "Hafidz, gondrongku seksi, gondrongku imut! Mmuaaach! Begini, gender itu sebenarnya isu mindset, cengkraman yang hidup dalam pikiran orang-orang. Kita-kita yang ada di bilik ini kan sama-sama sudah paham, bahwa perempuan bukan masyarakat kelas dua. Ia sama saja dengan lelaki. Apa bedanya? Tidak ada. Oh ya, percayalah, tidak semua yang ku katakan benar."
Hafidz, "Ah, kau memang pembual. Karena itu, saya tidak percaya bahwa semua yang kau katakan benar. Yang jelas, perempuan di dunia ini hidup bersama laki-laki, mereka partner. Laki-laki adalah kawan penyeimbang bagi perempuan untuk membangun relasi setara, Abang. Dan sebaliknya. Ayolah kita sama-sama berpikir ulang!"
Yaser, "Hidup gondrong!"
Hafidz, "Ferdy, saya tidak mungkin berjalan satu langkah di depan jika kawan masih tertinggal satu langkah di belakangku, atau kebalikannya. Bisa jadi kau akan menjegal kakiku dari belakang, atau saya akan membelokkanmu di tikungan yang menjebakmu. Karenanya, kenapa tidak? Kita saling mengisi dan berjalan berdampingan, bersebelahan, sejajar."
Ferdy, "Kau berpikir terlalu ideal, Hafidz. Di kondisi yang timpang ini, ku pikir inisiatif dan kerja keras adalah poin terpenting. Jika kau pikir benar, maka berjalanlah. Kenapa harus curiga akan dijegal. Kalaupun khawatir dijegal, kenapa tidak bersiap agar tak terjatuh? Sederhana saja, jika kau menunggu waktu untuk bersamaan, mungkin kan terjatuh duluan karena waktu ternyata mendahuluimu. Waktu tak menunggu, kawan. Kalau memang atas usaha dan pilihanmu ternyata kau lebih pantas di depan ku, kenapa tidak? Sayangnya sulit berdamai dengan orang di luar diri kita. Mulai saja dari dalam dirimu. Dan, ku mungkin."
Hafidz, "Kau boleh bilang saya defensif. Karena kau benar kawan, kadang terasa sulit untuk berdamai dengan segala hal di luar diri kita. Tentang yang terbaik adalah memulai dari diri sendiri, saya sepakat".
Ocha, "Baiklah. Saya perempuan dan kalian para lelaki akan sama-sama memulai. Kalian boleh dari puncak gunungnya, dan saya mungkin akan mengawali dari dasar lautnya. Yang jelas kita sepakat untuk sama memulai, meski tidak dari titik garis yang sejajar."
Yaser, "Hei kawan-kawanku, beruntunglah kita yang masih terus berbuat, terus berjalan, terus bicara, terus mengkritik dalam ketimpangan dunia macam ini! Itu artinya kita masih punya harapan. Dan, itu berarti juga, ada optimisme di antara kacamata yang sangat hati-hati, bahkan kadang skeptis. Apakah saya masih terlihat bodoh?".
Yaser, "Kalian memang cerdas, kawan-kawanku. Saya jadi ingat 'Pitaruah Ayah', sebuah Gurindam Nasihat Perkawinan yang sering terdengar menjelang lelap pada beberapa malam. Katanya, sebagaimana sering terdengar dalam ajaran Islam, Hawa berasal dari tulang rusuk Adam.Â
Hawa tidak berasal dari tulang punggung sebab dia akan terus menurut di belakang. Tidak juga dari tulang dada sebab akan mendahului di depan. Tidak dari tulang kaki sebab akan diinjak-injak oleh laki-laki. Juga tidak dari tulang tengkorak sebab akan mengepalai dalam suatu rumah tangga. Tulang rusuk kiranya memberikan makna suatu perdampingan dan keseimbangan. Keseimbangan yang belum tentu suatu kesamaan. Itu suatu referensi saja dari banyak referensi lain yang punya konteks kebenarannya sendiri-sendiri."
Ferdy, "Hei Yance, itu agaknya terlalu eksistensial. Ehm, kupinjam istilahmu kawan. Saya lebih tertarik bicara kontekstual, bahwa perkembangan hak dan kesetaraan seharusnya tidak lagi melihat asal-usul tulang yang juga belum tentu benar. Kalaupun benar, memangnya kenapa?"
Ferdy tertawa, dan lalu melanjutkan. "Padahal toh kita mengerti, dari kacamata eksak sekalipun, bahkan struktur tubuh manusia disusun oleh protein yang sama dengan struktur tubuh sejumlah mamalia. Bagaimana mungkin bisa membandingkannya dari perspektif status sosial? Tentang perempuan dan lelaki, dari tulang dan protein manapun ia diciptakan, faktanya, ia harus hidup dalam dunia yang (sepertinya) harus ditempatkan dalam konteks. Kalau saja saya bisa usul pada Tuhan, kenapa tidak dibuat tak bertulang ya? Hahaha!"
"Ah, kau memang keras kepala Yaser, sekaligus penuh inisiatif. Saya tak keberatan angkat kopi setulus hati buatmu, kawan", Hafidz mengangkat gelas kopi yang sisa setengah.
Lanjutnya lagi, "Maaf, barangkali ini agak keluar dari konteks, tapi saya mau bilang: dalam sebuah filsafat agama, jika saya tak keliru, ada 4 kategori manusia di dunia ini. Man adri annahu adri (orang yang tahu dirinya tahu), Man adri annahu la adri (orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu), Man la adri annahu adri (orang yang tak tahu bahwa dirinya tahu), Man la adri annahu la adri (orang yang tak tahu bahwa dirinya tak tahu).
Hafidz, "Saya golongan ke-2. Jadi, saya tak cemas disebut orang bodoh. Ferdy sepertinya tidak semuanya, Yaser. Karena sebetulnya ia orang yang tahu, tapi pura-pura tak tahu. Benar, kan?".
Ferdy, "Hahaha. Saya pilih yang ke-5 sajalah, tidak harus tunduk untuk mengklasifikasikan diri pada salah satunya toh? Orang yang tahu, tapi sebenarnya belum tentu tahu, dan mencoba mencari tahu. Bahwa kadang ia pun ragu tentang apa yang ia ketahui. Hahaha."
"Hahaha", suara tawa Yaser penuhi ruangan.
Ocha, "Halo semua, Assalamu'alaikum!"
Semua, "Wa'alaikum salam".
 "Masih belum ada ujungnya juga diskusi ini, malah tambah panjang dan lebar", ujar Ocha dengan gerak tangan menggambarkan garis horisontal dan vertikal.
Yaser memainkan asap rokok di udara "Sebenarnya perempuan berasal dari kata 'empu', artinya penuh kehormatan dan kesaktian. Tapi sayang, masih banyak perempuan Indonesia yang benar-benar hidup hanya untuk melayani dan mengabdi pada suami saja. Hmm. Setidaknya begitulah menurut Muchtar Lubis dalam pengantarnya pada novel Perempuan di Titik NOL karya Nawal el-Sadawi."
Ferdy, "Oh ya? Kupikir mengabdi pada suami tidaklah salah dan bukan sesuatu yang hina. Tidak lantas menghilangkan posisi terhormat perempuan. Kalaupun kenyataannya, perempuan menjadi masyarakat kelas dua, maka kenyataan itulah yang harus terus diperbaiki. Mengembalikan fitrah perempuan sebagai empu. Toh, lelaki juga wajib berbuat baik pada istri dan anak-anak. Kalau soal sakti, agaknya ada benarnya, hehehe".
Semua diam. Menyelam ke dalam lautan pemikiran masing-masing. Ocha menyalakan laptop. Memutar keras-keras lagu Balada Orang Pinggirannya Iwan Fals. Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H