Dalam hidup, tentunya, kita bertemu banyak orang. Dengan latar belakang berbeda, dan karakter yang beragam pula. Terkadang ada orang yang karakternya kurang mengenakkan di hati. Misalnya, dalam berucap. Meskipun, mungkin, sebenarnya mereka tidak bermaksud untuk menyakiti hati kita. Karena, nyatanya memang ada orang semacam itu. Orang-orang yang tidak pandai bertutur kata membuat orang lain salah paham karena mereka tidak bisa mengutarakan isi hatinya dengan kata-kata yang lebih ‘enak didengar’. Di sisi lain, ada juga orang yang memang terang-terangan menghardik kita.
“Dasar norak”. "Baru bisa gitu aja udah belagu”. “Sok cakep banget lu”.
Kata-kata semacam itu, yang merendahkan, meremehkan, dan menyepelekan biasanya berasal dari orang-orang yang tidak suka pada diri kita. Ketidaksukaan tersebut dapat disebabkan oleh iri dan dengki, serta perasaan inferior karena tidak memiliki sesuatu yang dimiliki orang yang mereka remehkan. Namun, terlepas apapun alasannya, kata-kata itu tetap tidak pantas untuk diucapkan karena dapat menyakiti perasaan orang yang mendengarnya.
Sekarang, coba posisikan diri kalian sebagai orang yang dicerca di depan umum. Menyakitkan, bukan? Seketika rasa malu, sakit hati, dan dendam bercampur jadi satu. Bila menuruti hawa nafsu, kita pasti sudah melawannya, membalasnya dengan kata-kata yang lebih kasar. Tak jarang, hal tersebut menyebabkan pertengkaran dan berujung pada perkelahian fisik. Dan pertengkaran itu pun menyisakan permusuhan. Maka dari itu, Islam tidak menganjurkan umatnya untuk menghadapi kata-kata tidak menyenangkan dengan hawa nafsu. Sebaliknya, Islam justru memerintahkan kita untuk bersabar. Sebagaimana dalam QS. as-Syuara : 43 yang artinya :
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”
Dan sebagai gantinya, kita harus membalas hinaan dengan kebaikan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Fushilat : 34 - 35 yang artinya :
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar."
Adapun dalam ajaran konfusianisme, konsep sabar dikenali sebagai 忍 atau (rèn). Aksara ini terdiri dari 心 (xīn) yang berarti hati dan aksara 刃 (rèn) yang mengacu pada bilah pisau atau ujung pisau. Dengan demikian, 忍 (rèn) dapat diartikan sebagai kesabaran yang dibentuk dengan menempatkan “pisau” di atas “hati.”. Atau dengan kata lain, menahan penderitaan dan toleransi.
Mengacu pada pedoman di atas, baik ajaran agama Islam maupun Konfusianisme, keduanya menganjurkan untuk bersabar dan menahan diri agar tidak terbawa emosi apabila berhadapan dengan orang yang ‘kurang berperasaan’ seperti itu. Hal ini harus dilakukan untuk menghindari pertengkaran. Karena, sekali terjadi pertengkaran, hubungan pun akan menjadi renggang dan sulit untuk kembali seperti semula. Oleh karena itu, kita harus menjaga keharmonisan hubungan dengan orang lain.
Apakah menjaga hubungan baik dengan orang lain memang sepenting itu? Tentu. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari hakikat manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial, yang hidup beriringan dengan orang-orang di sekitarnya. Hubungan itu bersifat jangka panjang dan mengharuskan mereka berinteraksi dengan orang lain sepanjang hidupnya. Dalam prosesnya, manusia membentuk semacam keterikatan dan menjadi saling membutuhkan.
Sejalan dengan itu, konfusius memandang manusia bukan sebagai individu yang berdiri sendiri secara moral, melainkan sebagai makhluk sosial yang identitasnya dibentuk oleh interaksi dari dan dalam komunitas manusia yang lebih luas. Para konfusianisme menggambarkan rèn sebagai "mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri ". Ini sekaligus menegaskan keutamaan menjaga keharmonisan hubungan dengan orang lain. Oleh sebab itu, rèn juga ditafsirkan sebagai "kebaikan", "kebajikan", dan "cinta".
Memaafkan bukanlah tentang mengalah demi orang lain, melainkan menerima bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan membuat kesalahan. Dengan sifat pemaaf, kita menjadi lebih berluas hati dalam menyikapi perkataan atau perbuatan yang kurang mengenakkan di hati, di mana hal ini dapat berdampak positif pada keharmonisan hubungan dengan sesama. Hubungan yang harmonis dengan orang lain juga dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis individu, seperti perasaan bahagia, kepuasan hidup, dan optimisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H