Oleh Hasna Nabila Noor Afifah (Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Unissula) dan Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Unissula).
Sebagai Warga Negara Indonesia yang baik, kita diwajibkan untuk membayar pajak sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan. Sebagai umat muslim juga diwajibkan dan dihalalkan untuk membayar pajak.Â
Menurut Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang". Sedangkan dalam agama islam Pajak (Dharibah) merupakan harta yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'Ala kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, selain untuk jizyah dan kharaj.
Menurut Yusuf Qardhawi "Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasikan sebagai tujuan ekonomi, sosial, politik, dan tujuan yang ingin dicapai oleh negara".Â
Beliau menyatakan hal tersebut berlandaskan Al -Qur'an Surat At-Taubah ayat 41 yang mengqiyakan pajak dengan sedekah harta. Namun ada pula yang bertentangan dengan pendapat Yusuf Qardhawi yaitu Imam Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa " hukum membayar pajak merupakan perbuatan yang zalim apabila dilaksanakan kepada kaum muslim dan hukum fiqihnya adalah haram". Beliau menyatakan hal tersebut berlandaskan Al-Qur'an Surat An-Nisa Ayat 29 ini disebabkan pajak sama saja dengan mengambil harta sesama secara zalim.
Namun bagaimanapun kita tetap wajib membayar pajak karena ketetapan tersebut sudah sah ada dalam undang-undang yang dimana undang-undang tersebut disahkan oleh ulil amri atau pemegang kekuasaan. Pada Q.S An-Nisa ayat 59 menyatakan bahwa "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah Swt dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad SAW) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.Â
Namun, meskipun sudah diwajibkan untuk membayar pajak masih banyak orang-orang yang menyalahgunakan jabatan untuk melakukam tindakan yang tercela, yaitu melakukan penggelapan dana pajak. Salah satu conrohnya adalah "Modus Polisi Satlantas Polres Samosir berinisial Bripka AS yang menggelapkan dana pajak kendaraan bermotor (PKB) sebesar Rl. 2,5 Miliar". Tindakan tersebut dilakukan oleh Btipka AS dengan berpura-pura membantu korbam untuk membayar pajak.
Seseorang yang melakukan penggelapam dana pajak sama saja disebut sebagai koruptor, melakukam hal tersebut dapat merugikan banyak pihak yaitu masyarakat yang sudah taat dalam membayar pajak, selain itu juga dapat merugikan diri sendiri. Orang yang melakukan tindakan ini dapat diproses sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku, yaitu pada Pasal 38 yang menyatakan bahwa : 1. tidak menyampaikam surat pemberitahuan; atau 2. Menyampaikan surat pemberitahuan, namun isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A; didenda paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau Pidana kurungan paling singkat 3 bulan atau paling lama 1 tahun. Selain itu juga dijelaskan dalam Pasal 39 ayat 1.
Dalam hukum islam seseorang yang melakukan tindak pidana penggelapan dana pajak dikenai hukuman ta'zir. Hukum ta'zir merupakan hukim yang berkaitan dengan pelanggaran hak allah dan manusia yang tidak ditemukan ancamannya dalam Al-Qur'an ataupun Hadist. Dalam konteks penggelapan pajak hukuman ta'zir dapat berupa : teguran, kurungan, pembayaran denda, dan yang paling tertinggi yaitu hukuman mati dikarenakan dalam hukuman ta'zir tidak dijelaskan ancamannya dalam Alquran ataupun hadis maka keputusan hukumannya diserahkan kepada hakim dengan keputusan seadil-adilnya.
Yusuf Qardhawi dalam penelitiannya mengenai pajak menyatakan bahwa kebanyakam hadits yang mencela Al-Maks tidak dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya. Adalun hadist yang shaih, maka tidak mengandung penegasan tentang larangan memungut pajak secara mutlak. Al-maks dapat bermaknan pajak dan pemungutan harta orang lain secara zalim dan sewenang-wenang guna kepentingan sendiri ataupun golongan.
Maka dari itu, melakukan tindakan penggelapan pajak merupakan hal yang tidak terpuji karena banyak kerugian yang akan dialami oleh diri sendiri, orang lain, dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H