Program konversi mitan (minyak tanah) ke gas LPG (elpiji) dinilai cukup sukses. Di tahun 2014 ini sudah banyak masyarakat yang menikmati gas elpiji dan sadar akan keamanan serta kenyamanan menggunakan elpiji, termasuk masyarakat daerah Kalimantan Selatan. Pada awalnya Pemerintah sulit meyakinkan dan mengubah pola pikir masyarakat Indonesia khususnya di perdesaan yang sudah turun-temurun menggunakan minyak tanah atau kayu bakar.
Dalam rangka menyukseskan program konversi mitan ke elpiji ini Pemerintah Daerah mendistribusikan paket elpiji bersubsidi kepada masyarakat. Paket itu terdiri dari tabung gas elpiji 3 kg, kompor gas satu tungku, selang gas, dan regulatornya. Selain itu Pemerintah juga membagikan kartu kendali pemakaian gas elpiji bersubsidi guna memantau dan mengendalikan distribusi dan konsumsi gas elpiji bersubsidi tersebut.
Menurut Peraturan Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Nomor 26 Tahun 2009, "Kartu kendali adalah tanda pengenal resmi yang diberikan kepada rumah tangga dan usaha mikro pengguna Elpiji Tertentu sebagai alat pengawasan dalam pendistribusian Elpiji Tertentu." Elpiji Tertentu yang dimaksud dalam hal ini adalah elpiji bersubsidi 3 kg. Dalam Permen ESDM tersebut juga dijelaskan bahwa, "Kartu Kendali memuat antara lain nama dan alamat pemegang Kartu Kendali, nama dan alamat sub Penyalur Elpiji Tertentu, nama dan alamat Penyalur Elpiji Tertentu serta volume maksimal Elpiji Tertentu yang digunakan setiap bulan. Setiap pemegang Kartu Kendali dicatat identitas dan volume masing-masing Elpiji Tertentu yang digunakan serta transaksi pembelian pada Buku Catatan (Logbook) sub Penyalur Elpiji Tertentu." Dengan demikian bila prosedur tersebut dilakukan maka pendistribusian elpiji bersubsidi akan tepat sasaran.
Sebelum muncul program konversi mitan ke elpiji masyarakat di perkotaan khususnya kelas menengah-atas sudah familiar dengan elpiji 12 kg seperti terlihat dalam gambar berikut.
Gambar 1 Foto Tabung LPG 12 kg & Perlengkapannya di Sebuah Rumah Warga Daerah Kalimantan Selatan (Sumber: Dokumen Pribadi)
Saat itu masyarakat belum mengenal dengan istilah elpiji bersubsidi ataupun elpiji nonsubsidi seperti sekarang ini. Karena memang dahulu Pertamina tidak mengemas elpiji ke dalam tabung 3 kg. Pertamina hanya mengemas elpiji ke dalam tabung 12 kg dan 50 kg. Seiring dengan perkembangan waktu Pertamina mengenalkan kemasan elpiji bersubsidi (3 kg) kepada masyarakat luas. Kemunculan elpiji 3 kg itu adalah untuk menjawab kelangkaan minyak tanah dan anggaran subsidinya yang semakin membebani negara. Atas dasar inilah Pemerintah melakukan program konversi mitan ke elpiji. Dengan demikian saat ini sebagian besar masyarakat mengenal ada dua istilah dalam elpiji yaitu elpiji bersubsidi kemasan 3 kg dan elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg seperti yang tampak pada ilustrasi berikut.
Sebagai gambaran penulis akan membahas perbandingan harga elpiji di kios eceran (wilayah Kalimantan Selatan) saat ini per kg-nya. Untuk elpiji 3 kg harganya Rp 18.000 per tabung. Jadi harga per kg-nya adalah Rp 6000. Adapun untuk elpiji 12 kg harganya Rp 120.000 per tabung. Jadi harga per kg-nya adalah Rp 10.000. Dengan demikian terdapat perbedaan harga sebesar Rp 4.000 per kg. Tentu saja itu sebuah angka yang cukup besar dan pantaslah elpiji 3 kg disebut elpiji bersubsidi sedangkan elpiji 12 kg disebut elpiji nonsubsidi.
Masyarakat sadar bahwa harga elpiji bersubsidi jauh lebih murah daripada elpiji nonsubsidi. Kendati pun elpiji nonsubsidi lebih mahal masyarakat kelas menengah-atas tetap menggunakannya dengan alasan kepraktisan. Mereka tidak mau direpotkan dengan tabung gas yang sering berganti-ganti (isi ulang). Selain itu mereka merasa tidak berhak menggunakan elpiji bersubsidi karena itu adalah hak masyarakat kelas bawah.
Hal tersebut juga sesuai dengan amanat Pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 Tahun 2009. Dalam Permen tersebut dijelaskan bahwa, "Pengguna elpiji bersubsidi adalah masyarakat yang mempunyai penghasilan tidak lebih dari Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) per bulan dengan dibuktikan melalui slip gaji atau pengeluaran tidak lebih dari Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) per bulan atau dengan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan atau desa setempat." Dengan demikian jelaslah definisi masyarakat yang layak menggunakan elpiji bersubsidi. Dengan kata lain di luar definisi tersebut termasuk masyarakat yang seharusnya menggunakan elpiji nonsubsidi.
Berkat adanya kebijakan subsidi itulah masyarakat kelas bawah sebenarnya secara tidak langsung dibantu oleh masyarakat kelas menengah-atas untuk dapat menikmati gas elpiji. Dengan membeli produk nonsubsidi tentu secara tidak langsung akan membantu golongan masyarakat ekonomi lemah. Inilah harapan Pemerintah yang dinamakan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Yang kuat membantu yang lemah. Dengan demikian akan terjadi pemerataan hasil pembangunan.