Akhir-akhir ini, saya sedang mengalami gejala emotional sponge alias menyerap emosi dari lingkungan sekitar. Bagaimana, tidak? Saya sebagai masyarakat cum rekan dari teman-teman pebisnis, baru saja menyaksikan bahwa negara kita tercinta juga sedang galau pula, tepatnya gegara pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Banyak isu yang beredar bahwa negara ini sedang digerogoti rayap. Apa benar seperti itu adanya, ya?Â
Setelah awal tahun 2022 lalu pemerintah melalui Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melakukan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada 2.065 perusahaan tambang, kini mereka mengabarkan kalau 75 hingga 80 IUP dipulihkan.Â
Waduh, gimana, sih? Kok, berubah melulu, ya? Padahal sebelumnya pemerintah gencar untuk melakukan pencabutan. Lalu giliran ada protes dari pebisnis, pemerintah kemudian mengendorkan ketegasannya.Â
Yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah terkesan 'lembek' dan tidak tegas setelah diprotes? Hal ini jadi memberikan kesan bahwa pemerintah minim proses screening dengan teliti dan tepat ketika hendak mencabut IUP.
Sebagai rekan dari kawan pebisnis, saya jadi ragu, apakah Indonesia memang benar-benar negara aman untuk menanamkan modal dan berbisnis, ya? Karena kebijakannya simpang siur, bagai "si dia" yang kalau ditanya mau makan apa jawabannya, "terserah", bikin bingung!
Apalagi Bahlil selaku Bapak dari BKPM pada pertengahan Agustus 2022 mengatakan bahwa jika dalam pencabutan IUP tersebut ada kekhilafan dari pemerintah dan sudah terverifikasi, maka pemerintah akan melakukan perbaikan. Namun, ada namunnya, nih, perusahaan tidak bisa meminta review pencabutan dan hanya boleh mengajukan keberatan.Â
Bisnis bukanlah sesuatu yang enteng seperti anak SD hendak memilih cilok atau cilor untuk menu makan siangnya, kalau menurut saya. Bisnis, terutama bisnis pertambangan adalah perihal harkat dan martabat banyak pihak. Mulai dari investor, pebisnis, pemerintah, hingga masyarakat. Saya jadi bingung, apakah Bapak/Ibu sedang 'bercanda' dengan UU yang sudah dirangkai sedemikian rupa oleh pemerintah? Atau, Bapak/Ibu tidak 'kompeten' dalam memahami industri pertambangan?
Lalu, BKPM juga berujar bahwa dalam pencabutan IUP tersebut, perusahaan tambang tidak bisa meminta review pencabutan dan hanya boleh mengajukan keberatan? Lha, bagaimana perusahaan bisa melakukan evaluasi apa yang harus diberikan jika tidak ada masukan dari pemerintah apa yang harus diperbaiki? Kenapa pemerintah jadi silent treatment, ya, dengan pebisnis tambang dan masyarakat?
Saya mendengar kabar 'burung' dari kawan sejawat, beberapa IUP yang dicabut bisa diterbitkan kembali namun pemiliknya sudah berganti. Lalu, ada juga yang bisa meminta 'bantuan' ordal alias 'orang dalam' agar IUP bisa terbit lagi. Jika memang ini benar, tentu saya sedih. Sebagai masyarakat yang sudah mematuhi peraturan, apakah pelanggaran seperti ini layak untuk dilanggengkan? Saya hanya berharap, ada ketegasan jika memang hal ini benar adanya. Namun jika tidak terjadi, bagus!
Ah, mohon maaf. Sekali lagi saya sedang emotional sponge, menyerap segala emosi yang ada di sekitar. Tapi, itulah yang saya rasakan; geram, bingung, dan hopeless.Â
Yang pasti, saya hanya seorang rekan dari kawan-kawan pebisnis yang kebetulan bisa menulis serta ingin menyampaikan keresahan dari mereka. Sudahkah pemerintah sowan dengan keresahan yang dirasakan oleh mereka? Sudahkah pemerintah melakukan komunikasi dua arah secara keseluruhan dengan para pebisnis tambang? Sepertinya hanya tembok dan miniatur Garuda Pancasila yang tahu. Semoga ada transparansi atas hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H