Belakangan ini terhembus sebuah isu. Isu yang cukup menyita berbagai kalangan, mulai dari pejabat publik, elite politik, aktivis, dan publik. Isu yang berkembang menyatakan bahwa Presiden Jokowi akan melakukan hak prerogatif-nya, yaitu me-reshuffle kabinet. Kabar reshuffle yang entah berasal dari mana ini menimbulkan asumsi di setiap ruang publik.Â
Salah satunya berasal dari Relawan Jokowi Mania (JoMan) yang berpendapat bahwa hak prerogatif Presiden tersebut akan digelar pada Rabu Pon akhir bulan ini. Jika melihat penanggalan, maka akan jatuh di 29 September besok. Rabu Pon memang diketahui menjadi hari yang dipilih oleh Presiden Jokowi ketika mengambil keputusan penting.
Hingga berita ini ditulis, Jubir Presiden Fadjroel Rachman belum banyak berkomentar. Dirinya hanya menyebutkan bahwa keputusan reshuffle kabinet sepenuhnya berada di tangan Pimpinan Tertinggi Republik ini dan hanya Presiden yang berhak menyampaikan rencana reshuffle.
Jika benar reshuffle kabinet akan terjadi dalam waktu dekat, kira-kira siapa sajakah sosok pejabat yang bakal tergantikan?
Isu nama-nama pun mulai bermunculan. Dua pos yang hangat di-reshuffle yaitu menteri dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, karena dinilai penanganan ekonominya masih buruk dan tidak memberi efek positif kepada perekonomian Indonesia. Hal ini disampaikan langsung oleh peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda.
Lalu ada juga nama lainnya, seperti pos Kementerian Perhubungan, Menko PMK, Menko Polhukam, hingga kepala BIN. Dan, isu lain yang beredar bahwa reshuffle ini akan berbasis power sharing alias bagi-bagi kursi di dalam kabinet.
Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengemukakan bahwa power sharing alias bagi-bagi kursi, tidak akan meningkatkan kinerja pemerintahan. Presiden seharusnya memerhatikan betul-betul siapa yang perlu diganti, agar kedepannya posisi yang tergantikan bisa lebih maksimal kerjanya dan optimal sehingga memberikan efek yang signifikan.
Jika hanya power sharing, menteri-menteri yang buruk kerjanya akan tetap dipertahankan. Seperti salah satu tokoh pejabat yang tiba-tiba didapuk Presiden ikut mengurusi penanganan Covid-19Â padahal bukan bidangnya.
Salah satu kebijakannya yaitu 'Work from Bali' malah menambah kasus Covid-19 di Bali di bulan Juni kemarin dan belakangan ia mengaku baru mengerti bahwa tracing adalah kunci menghadapi pandemi ketik sosok ini meminta maaf atas tidak berjalan maksimalnya PPKM darurat pada (17/7/2021).
Melihat kejadian ini, banyak tokoh tokoh yang kemudian meminta untuk lebih baik menurunkan sosok ini dari tahtanya di pemerintahan. Seperti yang diutarakan oleh Catur Nugroho, peneliti dari Indonesia Political Opinion. Selain itu ada juga dari Direktur Eksekutif IPR, Ujang Komarudin yang mengatakan bahwa pejabat ini yang seharusnya kena reshuffle karena dia telah gagal jadi koordinator PPKM darurat Jawa dan Bali.Â
Lagi, komentar yang senada juga datang dari Analis Sospol UNJ yaitu Ubedilah. Ubedillah menantang Presiden Jokowi untuk me-reshuffle dua Menko di kabinetnya, yaitu salah satunya merupakan sosok penguasa ini.
Hal lain yang menjadi sorotan publik yang berkomentar lebih baik pejabat ini yang di-reshuffle adalah karena dinilai telah over kewenangan dengan mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya dikerjakan oleh pemimpin di kementerian lain. Misalnya saja saat membuat Kementrian Perhubungan untuk membatalkan larangan operasional transportasi seperti ojek online dan bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) di Maret 2020 silam.
Permintaan untuk dirinya kena reshuffle kabinet Presiden Jokowi memang bukan tanpa alasan dan semata-mata demi kinerja pemerintahan yang lebih baik. Bagaimana menurutmu, apakah sosok ini pantas di-reshuffle di Rabu Pon mendatang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H