Seseorang yang sedang berada di fase remaja pasti akan mengalami masa-masa perkembangan baik dalam dirinya maupun dikehidupan sosialnya. Perkembangan yang terjadi secara dinamis menjadi penyebab munculnya emosi yang tidak stabil. Hal itu terjadi karena di fase remaja sedang merasakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Perkembangan emosi di masa remaja biasanya memiliki energi yang besar dan emosi yang berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri yang ada pada remaja belum terbentuk secara sempurna. Pikiran-pikiran yang datang tentang masa depan kerap kali menjadi akar masalah bagi kesehatan mental remaja. Hal tersebut juga dapat menimbulkan perasaan tidak tenang, khawatir, tidak aman dan terus memikirkan jalan keluarnya. Disaat seperti ini seseorang akan terus berusaha bersikap positif, namun jika sikap-sikap yang dikeluarkan hanya membuat semakin terpuruk maka itu bukanlah jalan keluar.
Kehidupan semakin kompleks yang terjadi pada remaja dimana pencarian jati diri atau pembentukan identitas semakin terbentuk. Minatnya terhadap dunia karir, percintaan, dan yang lainnya semakin di eksplorasi pada masa-masa ini. Ambisi yang bergejolak dimiliki para remaja untuk masa depan yang cerah menjadi motivasi dalam setiap pencapaiannya. Emosi yang belum stabil pada remaja menjadi hal yang dikhawatirkan karena pengendalian terhadap emosinya juga belum dapat dikatakan sempurna. Perbuatan-perbuatan tak logis terkadang menjadi kekhawatiran tersendiri karena emosi yang tidak dapat dikendalikan.
Remaja sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain saling membutuhkan satu sama lain. Kehidupan remaja biasanya lebih sering melakukan kontak sosial dengan teman-teman sebayanya. Begitupun dengan intensitas interaksi pada remaja cenderung lebih tinggi dilakukan dengan teman sebayanya, hal itu dapat terjadi karena sehari-harinya remaja pergi ke sekolah, kuliah, atau nongkrong di caf untuk mengerjakan tugas bersama. Remaja memiliki kecenderungan untuk diterima oleh kelompok sosialnya, yang disebut dengan peer attitudes, sehingga mereka cenderung saling memengaruhi (Hurlock, 1976). Dengan itu remaja akan mempercayai temannya untuk menceritakan hal-hal yang terjadi pada hidupnya.
Belakangan ini muncul istilah baru di dunia kesehatan mental yang belum banyak dipahami oleh masyarakat luas, terlebih lagi oleh para remaja. Istilah tersebut adalah toxic positivity. Psikolog bernama Yoana Theolia A. Y., M. Psi., mengatakan bahwa toxic positivity merupakan konsep cara berpikir dimana berfokus pada hal positif dan optimistik dengan mengabaikan emosi-emosi lain dalam diri invidu itu sendiri. Dapat dikatakan juga toxic positivity merupakan kondisi dimana seseorang berada pada satu keadaan untuk tetap bersikap positif dengan mengesampingkan emosi-emosi negative atau perasaan yang memang sedang terjadi padanya.
Maraknya fenomena toxic positivity dikalangan remaja dapat disebabkan karena masih dalam masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, sehingga pendiriannya juga masih mudah goyah. Dalam hal ini kerap kali remaja salah dalam menyikapi permasalahan yang sedang terjadi. Bersikap atau mencoba berpikir positif terhadap apa yang sedang terjadi memang tidak ada salahnya, bahkan dapat bermanfaat terhadap orang sekitar untuk memotivasi seseorang dapat melakukan hal yang sama. Tetapi jika terus menerus dilakukan dengan mengabaikan perasaan yang memang sebenarnya harus diungkapkan dapat mengganggu kesehatan mental remaja. Dalam hal ini seseorang harus dapat menyesuaikan diri sesuai keadaannya.
Minimnya pengetahuan mengenai toxic positivity dikalangan remaja sering disalah artikan. Banyak yang menganggap jika kita selalu berpikiran positif, menjadi pribadi yang selalu pantang menyerah dan membuang jauh-jauh pikiran negative maka itu adalah cara yang tepat supaya hidup akan jauh terasa lebih tenang. Namun ternyata hal-hal positif yang selalu ditebarkan dapat menjadi racun atau boomerang terhadap diri sendiri. Ketika sedang mengalami suatu keadaan di mana remaja sedang merasakan tidak baik-baik saja pada dirinya terlebih lagi tentang ambisinya untuk masa depan, pasti remaja itu akan menghampiri seseorang untuk menceritakan apa yang sedang terjadi. Biasanya seorang remaja lebih nyaman cerita ke teman sebayanya karena pada masa remaja interaksi lebih sering terbangun diantara keduanya, dan dapat saling memengaruhi. Niat hati bercerita supaya lebih tenang dan mencari dukungan, terkadang remaja tersebut tidak menyadari bahwa respon dari lawan bicaranya justru memaksa menyembunyikan emosi negatifnya.
Tidak semua kalimat-kalimat seperti"yuk bisa yuk dikit lagi, "jangan nangis, dikerjakan biar selesai", "jangan ngeluh terus dong, nanti ke suges ga selesai-selesai" merupakan cara yang tepat untuk diungkapkan ketika seseorang sedang merasa terpuruk. Dampak buruk akan dirasakan pada kesehatan mental remaja yang masih belum stabil dan belum tegas dalam berpendirian karena masih mudah untuk dipengaruhi. Toxic positivity akan sangat berbahaya jika emosi-emosi lain diabaikan, karena dapat mengakibatkan seorang remaja semakin sulit untuk mengenali dirinya sendiri dalam mencari jati dirinya.
Seperti yang diungkapkan oleh Yusuf mengenai ciri-ciri kesehatan mental salah satunya penyesuaian diri (self adjustment), yaitu proses dalam memperoleh atau pemenuhan kebutuhan (needs satisfaction), sehingga individu dapat mengatasi stress, konflik, frustasi, serta masalah-masalah tertentu melalui alternative cara-cara tertentu (Yusuf, 2011). Hal serupa juga dikatakan oleh John Dewey pada teori interaksionis simbolik yang menekankan pada proses penyesuaian diri manusia pada dunia. Pikiran (mind) seseorang berkembang dalam rangka usahanya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan bahwa pikiran tersebut ditunjang oleh interaksinya dengan orang lain. Oleh sebab itu menyesuaikan diri dengan keadaan penting, sehingga dengan cara tidak mengabaikan emosi negatif maka seseorang akan merasa lebih tenang, terutama remaja yang perasaannya masih labil. Tetapi dilakukan dengan cara yang aman.
Oleh karena itu untuk menghindari toxic positivity dapat dilakukan dengan menerima saja jika emosi negative datang. Jika seorang remaja bercerita tentang perasaannya yang sedang sedih, maka jangan sungkan untuk meminta menangis supaya perasaannya akan lebih lega. Contoh lain seperti menganti kalimat-kalimat yang lebih bisa dikeluarkan emosi negatifnya supaya lebih tenang. Perlu diketahui bahwa emosi bukan hanya perasaan senang atau sedih saja, tetapi ada kecewa, takut, khawatir, terkejut, dan lain-lain. Semua emosi tersebut boleh saja dilampiaskan dan tidak harus selalu mengeluarkan emosi-emosi yang bersifat positif saja. Tidak semua kehadiran emosi negative dapat berdampak buruk, atau tidak selamanya kita dapat positif setiap saat.
Referensi:
Sunarto, Kamanto. 2004. Â Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Fakhriyani, Diana Vidya. 2019. Kesehatan Mental. Pamekasan : Duta Media Publishing
Morgan, Nicola. 2014. The Teenage Guide to Stress. Wulansari, Dewi. Panduan Mengatasi Stress Bagi Remaja. Tangerang : Penerbit Gemilang (Kelompok Pustaka Alfabet).
Novita, Anna. 2020. Perancangan Komik untuk Memperkenalkan Bahaya Toxic Positivity pada Remaja. Fakultas Arsitektur dan Desain, Universitas Katolik Soegijapranoto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H