Mohon tunggu...
Muthya
Muthya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis,membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencari Malam Lailatul Qadar

2 Desember 2024   12:31 Diperbarui: 2 Desember 2024   13:52 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, suara azan Isya menggema di seluruh pelosok kampung Al-Muttaqin. Langit yang semula merah saga mulai gelap, menandai datangnya malam ke-21 bulan Ramadhan. Di masjid kampung itu, seorang pemuda bernama Robi tengah bersiap-siap untuk melakukan sesuatu yang telah lama ia impikan itikaf.  

Robi adalah seorang pemuda sederhana yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani. Ia dikenal sebagai orang yang selalu berusaha memperbaiki diri. Meski kesibukannya cukup menyita waktu, ia selalu menyempatkan diri untuk belajar agama. Ramadhan kali ini, ia bertekad kuat untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui itikaf di sepuluh malam terakhir.  Setelah menyelesaikan makan malam sederhana bersama ibunya, Robi berpamitan.  

"Ibu, doakan Robi, ya. Robi ingin mencari berkah sepuluh malam terakhir bulan ramadhan di masjid," ucapnya sembari menyalami tangan ibunya.  

Ibu robi, seorang wanita tua dengan kerutan di wajahnya, tersenyum penuh bangga. "Ibu selalu mendoakanmu, nak. Semoga Allah ridha atas niatmu."  
Dengan membawa tas kecil berisi Al-Qur'an, sajadah, dan sedikit bekal, Robi berjalan menuju masjid. Suasana jalanan kampung begitu hening, hanya terdengar suara jangkrik yang bersahutan. Di dalam hati, ia terus berdoa, berharap Allah menerima ibadahnya.  

Setibanya di masjid, suasana terasa begitu tenang. Beberapa jamaah sudah berkumpul, sebagian terlihat khusyuk membaca Al-Qur'an, sementara yang lain berdzikir dengan tasbih di tangan. Imam masjid, Ustad Harun, menyambut Robi dengan senyum hangat.  

"Robi , alhamdulillah kau datang. Semoga itikaf ini menjadi momen terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah," ucap Ustad Harun.  

Robi hanya mengangguk sambil membalas senyum. Dalam hatinya, ia merasa bersyukur bisa berada di lingkungan yang begitu mendukung.  

Malam pertama itikaf, Robi memulai dengan membaca Al-Qur'an. Ayat demi ayat ia lantunkan dengan suara lembut. Saat tiba pada surah Al-Qadr, ia tertegun.  

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan."

Hatinya bergetar. Ia merenungi betapa besar rahmat Allah yang diberikan pada malam tersebut. Robi pun teringat hadits Rasulullah SAW:  

"Barang siapa yang melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, ia telah mencari malam Lailatul Qadar." (HR. Bukhari dan Muslim).  
Malam itu, Robi bertekad untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah terbaik.  

Di malam ketiga itikaf, Robi bertemu dengan seorang pria tua bernama Pak Usman. Pak Usman adalah jamaah tetap masjid yang dikenal sangat tekun beribadah.  

"Robi, mengapa kau memutuskan untuk itikaf tahun ini?" tanya Pak Usman di sela-sela obrolan mereka.  

Robi terdiam sejenak, lalu menjawab, "Pak, saya ingin merasakan kedamaian yang selama ini saya cari. Saya juga berharap bisa memperbaiki hubungan saya dengan Allah."  

Pak Usman tersenyum. "Bagus, nak. Ingatlah, itikaf bukan sekadar tinggal di masjid. Itikaf adalah momen untuk mendekatkan diri kepada Allah, meminta ampunan, dan mencari ridha-Nya."  

Perkataan itu semakin membakar semangat Robi. Ia merasa bahwa perjalanan spiritualnya baru saja dimulai.  

Namun, itikaf Robi tidak berjalan tanpa rintangan. Di malam keenam, ia merasa lelah dan mulai digoda untuk pulang. Rasa kantuk dan keinginan untuk beristirahat di rumah terus menghantui pikirannya.  Saat itu, ia teringat hadits Rasulullah SAW:  

"Barang siapa yang menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim).  

Robi pun bangkit dari sajadahnya. Ia mengambil air wudhu, lalu melanjutkan ibadahnya. Ia sadar, perjuangan untuk mendekatkan diri kepada Allah memerlukan kesabaran dan pengorbanan.  

Pada malam kesembilan itikaf, suasana masjid terasa berbeda. Udara terasa lebih sejuk, dan hati Robi dipenuhi ketenangan yang sulit ia gambarkan. Malam itu, ia menghabiskan waktu dengan membaca Al-Qur'an dan berdoa.  
"Ya Allah, jika malam ini adalah Lailatul Qadar, kabulkanlah doa-doa kami. Ampunilah dosa-dosa kami dan bimbinglah kami menuju jalan yang lurus," bisiknya dengan penuh harap.  

Ia merasa bahwa malam itu adalah momen yang sangat istimewa. Hatinya dipenuhi rasa syukur karena diberi kesempatan untuk merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta.  

Setelah sepuluh hari berlalu, Robi pulang dengan hati yang lebih tenang dan jiwa yang lebih kuat. Ia merasa seperti seorang yang baru lahir, penuh dengan semangat baru untuk menjalani hidup.  

"Ibu, Robi kembali," ucapnya sambil mencium tangan ibunya.  

Sang ibu tersenyum bahagia. "Bagaimana itikafmu, Nak?"  

"Subhanallah, Bu. Robi merasa seperti menemukan cahaya di balik malam. Itikaf benar-benar mengajarkan Robi tentang keikhlasan dan kedekatan kepada Allah."  

Cerita Robi adalah pengingat bahwa itikaf bukan hanya tentang tinggal di masjid, melainkan sebuah perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan hati yang bersih dan niat yang tulus, setiap orang bisa merasakan kedamaian dan keberkahan yang Allah janjikan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun