Kebahagiaan tak selalu hadir di tengah hingar bingar kota dan gemerlap malamnya, seringkali hadir dalam suasana tenang di tengah lorong-lorong gang perumahan klasik. Kampung Batik Kauman menyajikan itu semua dalam seni arsitekturnya. Klasik seakan membawa kita kembali di era 50an, pintu-pintu kayu berdaun dua, tembok-tembok keropos yang termakan usia, dan warna-warna cat yang jadi primadona pada zamannya.
Cuaca sedikit mendung tak menyurutkan langkahku untuk berkunjung di salah satu kampung wisata yang berada di jantung Kota Surakarta. Kampung Batik Kauman, berjarak sekitar 1km dengan Balai Kota Surakarta. Jalannya cukup melalui jalan utama tengah kota, namun memang sesekali kepadatan lalu lintas membuat perjalanan sedikit terhambat, apalagi letak Kampung Batik Kauman yang berada di dalam gang sempit.
Aku akhirnya menggunakan Google Maps, sebuah fitur pencarian lokasi yang disediakan oleh Google, ia sudah bagaikan robot yang tahu segalanya. Pencarian ku berhenti di gang dengan dinding tembok yang dirambati dedaunan, terlihat sebuah papan klasik bertuliskan “Kampung Wisata Batik Kauman Solo, Sugeng Rawuh, Welcome, Selamat Datang”, ternyata sudah sampailah di area wisata Kampung Batik Kauman. Tiap dinding bangunannya seakan disulap menjadi spot foto unik dan estetik, mural-mural dengan nuansa lokal seperti gambar lelaki mengenakan blangkon dan sejenisnya.
Payung warna-warni, gaya desain klasik yang di gantung di atas gang, teras-teras rumah dengan gaya arsitektur era 50an, mural-mural bertemakan batik warisan budaya Indonesia, rasanya membawaku sebagai generasi yang lahir di tahun 2000an untuk ikut serta merasakan sensasi kemewahan pada tahun 1950an, sesekali aku teringat pada serial musikal “Payung Fantasi” yang beberapa waktu lalu aku tonton di channel youtube Indonesia Kaya, “Payung Fantasi arah ke mana dituju, Hei-hei, tunggu dulu!, Bolehkah aku melihat seri wajahmu?, Hei-hei, siapa dia?” sesekali bersenandung lirih lagu ciptaan Ismail Marzuki ini dengan membayangkan sedang menjadi bintang dalam serial drama musikal.
Bangun-bangun! rasanya membayangkan sudah seperti bermimpi menggunakan fashion era 50an dan berlenggok di tengah panggung. Terus ku susuri lorong-lorong bekas pemukiman abdi dalem Keratonan Kasunanan Surakarta itu. Sembari berfoto-foto di sana, tak jarang terbesit pertanyaan-pertanyaan tentang sejarah kampung dengan keunikan dan kekayaan yang luar biasa ini. Kampung Batik Kauman telah menjadi kampung tertua di Surakarta yang memiliki kejayaan bisnis batik dan penyiaran Islam bahkan sejak dibangunnya Masjid Agung Solo pada masa Raja Pakubuwono III yang lokasinya tak jauh dari sana.
Berkunjung ke kampung batik pada Senin sore (28/11/22), kurang lengkap rasanya jika tidak melihat hasil karya seni bernilai tinggi satu ini. Aku memutuskan untuk memasuki salah satu galeri batik yang bernama Gunawan Setiawan, salah satu pemrakarsa Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, Solo Jawa Tengah. Terlihat tumpukan kain kain batik yang seakan menciptakan lorong dalam ruangan dengan ukuran kira-kira 4m x 7m itu, pijar lampu kekuning-kuningan menciptakan kesan mewah nan elegan. Sesekali ku pegang dan amati kainnya, terasa halus dengan finishing yang hampir sempurna, pewarnaan yang tajam, serta gambaran canting yang sangat rapi.
Memasuki ruangan berikutnya, terdapat sketsa motif batik yang tergambar di kertas putih serta dipojok lainnya terdapat beberapa pengrajin yang sedang mencanting batik. Saat menyaksikan pembuatannya, aku diberi kesempatan untuk ikut mencoba meski hanya bergaya memegang canting lalu berfoto. Namun sebenarnya Kampung Batik Kauman juga menyediakan kesempatan untuk belajar membuat batik, salah satunya di Galeri milik Gunawan Setiawan ini, begitulah yang disampaikan Bu Yeyen sebagai Humas Gunawan Setiawan sekaligus narahubung wisata Kampung Batik Kauman.
Selain menyajikan pembuatan kain batik, galeri ini sekaligus jadi showroom penjualan kain, baju, maupun tas batik dan aksesoris dengan nuansa kampung batik. Cocok untuk menjadi oleh-oleh saat berkunjung kesini. Sesekali ku lihat price tag nya, sontak dompet anak kosku bergetar. Ternyata benar seni itu mahal harganya, ketika aku lihat harga dari kain dan baju-baju di sana harganya berada pada kisaran Rp300 ribuan - Rp5 jutaan, semua tergantung jenis dan keunikanya. Wah langsung saja aku tidak lagi berani untuk pegang-pegang kain super premium tersebut, sekalinya rusak sepertinya harus ku ganti dengan menjual kamera yang sedang ku bawa saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H