Mohon tunggu...
Hasnaa Durramufiida
Hasnaa Durramufiida Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Perencanaaan Wilayah dan Kota

Mahasiswi Universitas Jember 2024, fakultas Teknik, prodi Perencanaan Wilayah dan Kota

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur di Wilayah 3T: Tantangan atau Peluang?

17 September 2024   18:22 Diperbarui: 17 September 2024   18:25 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pembangunan ekonomi yang inklusif menjadi salah satu prioritas utama dalam menciptakan keseimbangan pertumbuhan antarwilayah di Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui program Nawacita memprioritaskan pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah yang tergolong kawasan 3T, Terluar, Terpencil, dan Tertinggal. Penguatan infrastruktur di wilayah 3T menjadi salah satu strategi utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan mempererat akselerasi pembangunan di kawasan yang selama ini kurang terjangkau oleh pemerintah. Jadi, apakah hal ini akan menjadi tantangan? Atau malah jadi peluang?

Tantangan Infrastruktur di Wilayah 3T 

Infrastruktur di wilayah 3T, umumnya masih tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia. Hal ini terlihat dari minimnya akses transportasi, keterbatasan jaringan listrik, rendahnya akses terhadap teknologi informasi, serta infrastruktur pendukung lain seperti air bersih, dan sarana kesehatan. Berikut beberapa tantangan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di wilayah 3T.

1. Keterbatasan Akses Geografis dan Kondisi Alam

Wilayah 3T sering kali memiliki kondisi geografis yang sulit seperti daerah kepulauan, pegunungan, atau hutan yang lebat. Sehingga hal tersebut membuat pembangunan infrastruktur lebih kompleks dan high cost. Contohnya wilayah Papua dan Papua Barat. Menurut Kementrian PUPR, biaya pembangunan jalan di Papua mencapai 10-15 miliar per kilometer, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional berkisar Rp 5-7 miliar per kilometer.

2. Keterbatasan Anggaran Pemerintah

Meskipun pembangunan infrastruktur di wilayah 3T merupakan prioritas, alokasi anggaran pemerintah untuk daerah ini masih terbatas. Ini dikarenakan wilayah 3T memerlukan investor besar sementara tingkat pengembalian ekonomi jangka pendek masih rendah. Sebagian besar proyek infrastruktur di wilayah-wilayah 3T membutuhkan dukungan finansial dari pemerintah pusat karena investor swasta cenderung enggan berinvestasi karena risiko ekonomi yang tinggi. Laporan dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa alokasi dana infrastruktur untuk wilayah 3T pada tahun 2021 hanya sekitar 5% dari total anggaran infrastruktur nasional, yang menyulitkan percepatan pembangunan. 

3. Sumber Daya Manusia yang Terbatas

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di wilayah 3T cenderung lebih rendah dibandingkan wilayah lain. Hal ini menyebabkan wilayah 3T sering kali menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk mendukung pembangunan. Rendahnya tingkat pendidikan, dan arus migrasi tenaga kerja dari wilayah ini ke daerah yang lebih berkembang juga menyebabkan defisit SDM lokal yang potensial.

4. Kurangnya Keterlibatan Sektor Swasta

Seperti yang disebutkan dalam poin 2, investasi dari sektor swasta masih sangat minim terutama karena masalah keterbatasan infrastruktur yang sudah ada, pasar yang kecil, dan rendahnya daya beli masyarakat. Kondisi ini membuat para investor ragu menanamkan investasi karena risiko ekonomi yang tinggi. Padahal melalui skema public-private-partnership, sektor swasta dapat mempercepat pembangunan.

5. Keberlanjutan dan Pemeliharaan Infrastruktur Salah

Pemeliharaan infrastruktur sangat diperlukan untuk pengelolaan wilayah yang baik. Sering kali, jalan, jembatan, atau fasilitas lain yang telah dibangun mengalami kerusakan karena kurangnya pemeliharaan rutin, serta kondisi alam yang ekstrem. Tanpa strategi pemeliharaan yang baik, infrastruktur tersebut tidak akan bertahan lama dan dapat kembali mengisolasi wilayah tersebut.

Nah, itu tadi beberapa tantangan yang biasanya terjadi pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi wilayah 3T. Sekarang beralih, apabila ada tantangan, disitu juga ada peluang. Apa saja sih peluang dalam pembangunan infrastruktur dan ekonomi di wilayah 3T ini?

Peluang Infrastruktur di Wilayah 3T

Walaupun ada banyak tantangan, pembangunan infrastruktur di wilayah 3T juga menyimpan peluang yang signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional. Beberapa peluang tersebut adalah...


1. Penguatan Sektor Pertanian dan Perikanan

Wilayah 3T sering kali memiliki potensi besar dalam hal sumber daya alam, terutama pertanian, perikanan, dan kehutanan. Pembangunan infrastruktur seperti jaringan irigasi, pelabuhan, dan fasilitas penyimpanan dapat meningkatkan produktivitas sektor-sektor  ini. Menurut Kementerian Pertanian, wilayah 3T di Indonesia menyumbang sekitar 20% dari total produksi nasional di sektor pertanian dan perikanan, meskipun infrastruktur di daerah tersebut masih minim. 

2. Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam

Banyak wilayah 3T memiliki potensi pariwisata yang besar, terutama di sektor ekowisata dan wisata bahari. Sebagai contoh, kawasan Labuan Bajo di NTT yang dulu terisolasi kini telah berkembang menjadi destinasi wisata kelas dunia setelah pembangunan infrastruktur yang memadai.

3. Digitalisasi dan Konektivitas Teknologi

Meningkatnya penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi di wilayah 3T membuka peluang besar bagi percepatan transformasi ekonomi di daerah-daerah ini. Pemerintah telah menggagas pembangunan infrastruktur telekomunikasi seperti Proyek Palapa Ring yang bertujuan untuk menyediakan akses internet cepat di seluruh pelosok Indonesia, termasuk wilayah 3T. Menurut laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Proyek Palapa Ring yang selesai pada tahun 2019 telah memberikan akses internet ke lebih dari 500 desa di wilayah 3T, membuka peluang bagi 20% UMKM lokal untuk memasarkan produk mereka secara online. 

4. Program Pengembangan Ekonomi Lokal

emerintah dan berbagai lembaga internasional telah meluncurkan program-program pengembangan ekonomi lokal yang fokus pada wilayah 3T. Program seperti Dana Desa, Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta Food Estate di Kalimantan dan NTT bertujuan untuk memperkuat ekonomi masyarakat lokal melalui pembangunan infrastruktur ekonomi seperti pasar, jaringan irigasi, dan fasilitas produksi. 

5. Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah 

Otonomi daerah memberi peluang bagi pemerintah daerah di wilayah 3T untuk mengelola anggaran mereka sendiri dan merencanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan lokal. Dengan adanya kebijakan ini, wilayah-wilayah 3T dapat lebih fokus pada pembangunan sektor-sektor unggulan mereka, seperti pertanian, pariwisata, dan industri kreatif. Otonomi daerah juga membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk menarik investasi asing dan domestik. 

embangunan infrastruktur di wilayah 3T dihadapkan pada berbagai tantangan seperti kondisi geografis yang sulit, keterbatasan anggaran, rendahnya keterlibatan sektor swasta, dan pemeliharaan infrastruktur yang belum optimal. Namun, wilayah 3T juga menawarkan peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dengan potensi di sektor pertanian, perikanan, pariwisata, dan ekonomi digital, wilayah 3T dapat menjadi pusat pertumbuhan baru dengan strategi pembangunan yang tepat dan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun