Memiliki keluarga yang lengkap dan normal adalah impian dari setiap pasangan suami dan istri. Namun, tidak jarang Tuhan menguji hambaNya dengan menghadirkan anak yang ternyata memiliki kebutuhan khusus dan ini menjadi salah satu kekhawatiran para orang tua dan calon orang tua. Sebagian anak memang terlahir dalam keadaan yang kurang sempurna. Hambatan perkembangan yang dapat terjadi pada anak sejak usia dini adalah kelainnan kromosom, salah satunya adalah Down syndrome.
Down syndrome (DS) merupakan sebuah kelainan fisik yang dialami oleh seseorang akibat adanya kelainan kromosom menjadi 21 yang mengandung ratusan gen, mencakup didalamnya gen untuk amyloid protein yang terdapat pada otak sehingga memicu aktivasi microglial serta kerusakan sel saraf pada penderitanya .
Faktor Penyebab Down Syndrome
Ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya anak dengan kelainan down syndrome dan salah satu faktor yang paling umum adalah usia melahirkan seorang ibu yang terlampau tua yaitu berkisar di usia 35 hingga 40 tahun ke atas. Semakin tua usia seorang ibu maka semakin besar pula kemungkinan melahirkan anak berkelainan down syndrome. Kelainan down syndrome merupakan salah satu penyebab seseorang menderita tunagrahita atau orang yang memiliki kemampuan intlektual di bawah rata-rata. Tuna grahita dibedakan menjadi tiga tahapan: ringan, sedang, dan berat.
Karakteristik anak dengan kelainan tunagrahita ringan yaitu ia masih lancar berbicara, tetapi memiliki masalah terhadap perbendaharaan kata-katanya karena mereka sedikit sulit untuk berfikir abstrak dan mereka masih dapat mengikuti pelajaran baik di sekolah biasa maupun sekolah khusus. Kemudian ada anak dengan kelainan tunagrahita sedang yaitu mereka hampir tidak bisa mempelajari pelajaran akademik, perkembangan bahasa mereka juga lebih terbatas dibandingkan dengan penderita tunagrahita ringan, dan mereka hampir selalu bergantung pada orang lain. Kecerdasan mereka cenderung lambat dan mereka baru mendapatkan kecerdasan setara anak usia 7-8 tahun ketika mereka dewasa. Terakhir yaitu anak dengan kelainan tunagrahita berat. Mereka sepanjang hidupnya akan selalu bergantung kepada orang lain, dan untuk aktivitas sehari-hari seperti makan, pergi ke kamar mandi, dan berpakaian, harus selalu dibantu oleh orang lain.
Model Pembelajaran Berbasis Sosial
Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan totalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme kontrol sosial (social control) bertalian dengan proses konservasi nilai-nilai budaya daerah ini memiliki fungsi yakni sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradsional dari suatu masyaraka. Mengajarkan dan mendidik para siswanya untuk bisa mengerti tentang membaca, menulis, dan berhitung dan melatih para siswa untuk bisa mandiri. untuk itu, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana model pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan kondisi Down Syndrome.
Metode pembelajaran berbasis sosial bisa sangat bermanfaat jika dilakukan dengan pendampingan para ahli. Seperti yang dilakukan oleh guru Sekolah Luar Biasa di Solo. Beliau memberikan pengajaran berupa Klasikal, yakni memberikan kesempatan untuk berolahraga dengan murid kelas lain yang tentunya bukan hanya siswa Down Syndrome saja. Selain olahraga, beliau juga memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar musik bersama dan makan siang bersama.
"Mengajar secara klasikal, berolahraga dengan kelas yang lain, pelajaran musik dengan kelas lain, saat istirahat makan bersama dengan teman-teman kelas lain. Selalu mengawasi perilaku negatif" (Kutipan wawancara dari Guru SLBN Surakarta)
Orangtua murid mendukung model pembelajaran tersebut karena orang tua memiliki harapan bahawa, siswa Down Syndrome bisa melakukan kegiatan sehari-hari dengan mandiri. Jika siswa Down Syndrome terbiasa bergaul dengan teman-temannya, maka kemampuan sosial dan rasa empati akan mulai terbentuk.
"Anak sudah mandiri, tapi belum 100%, yg penting bisa bersih-bersih", milih pakaian sendiri, kalau baju sobek sedikit dibuang atau meminta bapaknya untuk dijahitkan" (Kutipan wawancara dengan orangtua siswa)
Kesimpulan
Siswa Down Syndrome yang belajar dengan metode pembelajaran sosial akan memperoleh hasil dari siswa yang hiperaktif tidak mau masuk kelas, senang berlari keliling sekolah, teriak-teriak, sekarang sudah mau masuk kelas sendiri dan jarang keluar kelas, sudah betah di dalam kelas. Yang dulu suka melempar barang-barang di dalam kelas, membanting pintu, sekarang sudah banyak berkurang. Anak berhasil tertib dengan metode kasih sayang, karena mayoritas guru SLB galak karena murid takut pada guru. Kalau di lemparn tidak marah, tapi di pegang agak keras sedikit (mencengkram) di tekan dan anak merasa sedikit sakit, tapi guru ekspresi guru tidak marah. Metode tersebut sudah diterapkan dan berfungsi kepada siswa, siswa bisa jera tidak mengulangi lagi. Kalau guru memakai kekerasan, dikhawatirkan ditiru oleh anak dan diterapkan ke orang lain. Guru mencontohkan perilaku yang positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H