Film merupakan salah satu bentuk karya seni yang sarat dengan estetika dan nilai budaya di kehidupan suatu masyarakat. Salah satu film yang menurut penulis menarik untuk dikaji adalah sebuah film garapan sutradara ternama dari Korea Selatan, Park Chanwook yaitu 'The Handmaiden'. Film ini merupakan adaptasi novel tahun 2002 karya Sarah Waters yang berjudul 'Fingersmith'. Fingersmith yang bersetting di era Victorian (1837) ini kemudian diadaptasi Park Chanwook menjadi sebuah film dengan setting yang berbeda yaitu pada era kolonialisme Jepang di Korea (1930).
Kata 'Handmaiden' sendiri menurut Cambridge Dictionary adalah seorang pelayan wanita, sesuai dengan premis film ini dimana pemeran utamanya adalah seorang pelayan wanita. Kisah ini dimulai ketika Fujiwara, seorang penipu ulung berkedok bangsawan bersekongkol dengan seorang pencuri, Sookhee untuk menguasai kekayaan seorang pewaris bangsawan Jepang bernama Hideko. Hideko menetap dengan pamannya, Kouzuki, orang asli Korea yang berkhianat membantu Jepang menjajah negaranya sendiri agar ia mendapatkan pangkat dan kekayaan. Sookhee menjalankan misinya dengan menjadi pelayan Hideko agar ia dapat memanipulasi Hideko karena kedekatan mereka. Namun ternyata, Hideko tidak sepolos yang mereka berdua bayangkan. Film yang terbagi kepada 3 babak ini penuh dengan plot-twist yang menegangkan, juga visual yang indah di setiap adegannya.
Mise en scene adalah bentuk analisis bagaimana filmmaker memposisikan beberapa hal ke dalam sebuah film sehingga menciptakan unsur dramatis, seperti memilah objek hingga memiliki makna dan keindahan tersendiri. Mise en scene film The Handmaiden ini pasti menghasilkan interpretasi berbeda bagi setiap penontonnya. Namun, bagi penulis sendiri, Mise en scene yang ditangkap adalah sebagai berikut :
Latar tempat sekaligus waktu ditandai melalui berbagai macam aspek seperti adanya tentara yang menggunakan bahasa Jepang, warga lokal yang berbahasa Korea dan para bangsawan yang kebanyakan berbahasa Jepang di film ini, dapat disimpulkan bahwa film ini bertempat di Korea Selatan, yang berlatar waktu saat Korea masih dijajah Jepang di tahun 1930an.
Misi filmmaker yang ingin menunjukkan adanya perbadaan kasta antar warga lokal dan penjajah yang berkuasa pada saat itu salah satunya adalah dengan penggunaan kostum.
Kostum yang digunakan oleh karakter utama yaitu sang pelayan wanita bernama Sookhee di film ini adalah sebuah 'Hanbok' atau pakaian tradisional Korea. Pakaian yg ia kenakan bukanlah Hanbok mewah berwarna mencolok seperti Hanbok yang digunakan oleh keluarga kerajaan atau bangsawan korea, namun Hanbok yang ia kenakan dominan berwarna gelap yang terkesan lusuh, menandakan kurangnya kuasa dan otoritas.
Karakter utama lainnya dalam film ini adalah seorang bangsawan Jepang kaya raya yang bernama Hideko, kekayaannya ditunjukkan melalui kostumnya yaitu penggunaan Kimono (baju tradisional Jepang) serta baju-baju aristokrat barat yang mewah, ditambah dengan beragam aksesoris dan tatanan rambut yang glamor.
Diperlihatkan juga kontras kostum antar pemeran dalam film ini dimana Sookhee, sang pelayan jarang berganti pakaian, namun Hideko sang bangsawan setiap harinya berganti-ganti pakaian yang tentunya serba mewah.
Dalam tata rias wajah pula diperlihatkan bahwa Sookhee tidak menggunakan riasan apapun agar terlihat lusuh, berbanding terbalik dengan penggunaan riasan elegan untuk sang bangsawan wanita agar terlihat lebih "terawat" dibanding sang pelayan.
Untuk tata rias special effects, diperlihatkan dimana Kouzuki yang diperankan oleh aktor berumur 40an ditransformasi menjadi kakek-kakek berumur sekitar 60-70 tahunan. Selain dengan akting yang sesuai, visual karakter tsb juga diperkuat dengan riasan rambut memutih dan riasan wajah keriput.
Lighting yang digunakan di film ini juga sangat menggambarkan emosi pemeran utamanya dengan detail. Salah satu contohnya adalah dimana Sookhee pertama kali memasuki rumah Hideko sang bangsawan. Rumah tsb sangatlah luas tapi terlihat gelap karena minimnya sumber cahaya. Semua terlihat gelap dan yang terlihat hanya beberapa bagian yang diberi cahaya sehingga menjadi titik fokus pada adegan tsb.Â
Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa Hideko, sang bangsawan hidupnya seperti boneka. Tidak bisa mengatur kehidupannya sendiri dan terkekang dengan aturan-aturan yang dibuat pamannya sehingga suasana rumahnya pun terkesan gloomy seperti perasaannya.
 Adapun untuk camera shot dan angle yang sering digunakan dalam film ini adalah Long Shot, Extreme Long Shot dan Bird’s Eye. Kenapa menggunakan spesifikasi tersebut? Menurut penulis untuk angle bird’s eye, sang filmmaker masih mempertahankan perspektif male gaze yang dianutnya sehingga muncullah angle-angle seperti bird’s eye yang terkesan menguntit kehidupan para perempuan ini. Adapun penggunaan Long Shot dan Extreme Long Shot yang sering saya temukan digunakan untuk memperlihatkan keindahan yang ditampilkan pada background. Jadi jika menggunakan teknik ini, boleh aktor maupun aktris dapat sekaligus tersorot oleh kamera dengan proporsi yang jelas, juga background yang juga terlihat jelas.Â
Jika membahas tentang estetika klasik, film ini dapat dikaitkan dengan unsur estetika abad Renaisans. Renaisans sendiri merupakan abad lahirnya kembali ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Ditunjukkan dengan hal yang paling sering muncul di film ini  yaitu bentuk sastra yang berkembang seiring zaman berupa buku cerita bergambar. Berbagai bangsawan datang dan berkumpul di sebuah ruang ‘baca’ yang disiapkan Kouzuki dengan Hideko sebagai ‘Pembaca’ nya.Â
Namun, konsep humanisme yakni memanusiakan manusia yang erat dengan periode Renaisans seketika luntur pada film ini setelah menonton lebih lanjut. Hideko ternyata di eksploitasi secara gamblang selama bertahun-tahun oleh pamannya sendiri. Berkat Sookhee, akhirnya ia pun dapat membebaskan diri dari belenggu yang menghantuinya selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H