Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa Hideko, sang bangsawan hidupnya seperti boneka. Tidak bisa mengatur kehidupannya sendiri dan terkekang dengan aturan-aturan yang dibuat pamannya sehingga suasana rumahnya pun terkesan gloomy seperti perasaannya.
 Adapun untuk camera shot dan angle yang sering digunakan dalam film ini adalah Long Shot, Extreme Long Shot dan Bird’s Eye. Kenapa menggunakan spesifikasi tersebut? Menurut penulis untuk angle bird’s eye, sang filmmaker masih mempertahankan perspektif male gaze yang dianutnya sehingga muncullah angle-angle seperti bird’s eye yang terkesan menguntit kehidupan para perempuan ini. Adapun penggunaan Long Shot dan Extreme Long Shot yang sering saya temukan digunakan untuk memperlihatkan keindahan yang ditampilkan pada background. Jadi jika menggunakan teknik ini, boleh aktor maupun aktris dapat sekaligus tersorot oleh kamera dengan proporsi yang jelas, juga background yang juga terlihat jelas.Â
Jika membahas tentang estetika klasik, film ini dapat dikaitkan dengan unsur estetika abad Renaisans. Renaisans sendiri merupakan abad lahirnya kembali ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Ditunjukkan dengan hal yang paling sering muncul di film ini  yaitu bentuk sastra yang berkembang seiring zaman berupa buku cerita bergambar. Berbagai bangsawan datang dan berkumpul di sebuah ruang ‘baca’ yang disiapkan Kouzuki dengan Hideko sebagai ‘Pembaca’ nya.Â
Namun, konsep humanisme yakni memanusiakan manusia yang erat dengan periode Renaisans seketika luntur pada film ini setelah menonton lebih lanjut. Hideko ternyata di eksploitasi secara gamblang selama bertahun-tahun oleh pamannya sendiri. Berkat Sookhee, akhirnya ia pun dapat membebaskan diri dari belenggu yang menghantuinya selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H