Mohon tunggu...
Khusnul Hasiah
Khusnul Hasiah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Likes a certain art, Creativity, and about business

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perspektif dan Peran Sosiologi Ekonomi dalam Pembangunan Ekonomi Masyarakat

20 Oktober 2023   19:02 Diperbarui: 20 Oktober 2023   19:11 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dessy Adriani menjelaskan bahwa Aktivitas ekonomi sebagai bentuk tindakan sosial terjerat dalam jaringan hubungan interpersonal dan institusi sosial, demikian pendapat Granovetter (1982, 2002). Kami menyebutnya sebagai tindakan rasionalitas sosial. Dari sudut pandang ini, menjadi jelas bahwa kegiatan sosial dan ekonomi adalah dua hal yang saling eksklusif. Untuk memuaskannya, struktur sosial selalu memerlukan perilaku manusia, termasuk aktivitas ekonomi dan manifestasinya. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi bertumpu pada hubungan sosial dan struktural yang berkelanjutan antara para pelaku ekonomi dan berada dalam konteks sosial.[1]

 

Hal itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astika Nur Fahriani dan Nila Asyrofus Shofara yang menjelaskan bahwa Menurut Max Weber, jaringan sosial yang mendasari aktivitas ekonomi manusia dapat dianalisis dari tiga perspektif: ruang wacana ekonomi dan ruang keagamaan. Pertama: aksi sosial dari aksi ekonomi. Selain itu, kegiatan ekonomi yang sadar akan kekuasaan. 

Ketiga, tindakan ekonomi yang efektif setiap saat (Sumarti, 2007). Untuk memahami tindakan sosial pada tataran makna, Weber menggunakan metode verstehen. Revisi dan Raho (2021) mengklaim bahwa Weber menyadari pentingnya kemampuan menganalisis struktur sosial yang kompleks dari penyebab mendasarnya dengan tepat. Teori tindakan sosial Weber membagi perilaku sosial menjadi empat kategori: tipe rasional afektif, rasional berorientasi nilai, tradisional, dan instrumental (Gratitude, 2018). 

Para penulis yang tercantum di bawah ini menjelaskan teori tindakan sosial Weber. Saya mulai dengan alasan instrumental. Aliran rasionalitas instrumental ini mendasarkan perilaku sosial pada hipotesis dan perhitungan yang masuk akal, seperti keuntungan dan kerugian aktivitas ekonomi. 

Yang kedua adalah mengejar nilai-nilai non-rasional melalui tindakan. Karena nilai-nilai ini mengakar begitu dalam, penilaian rasional atas kegunaan dan sebagian efektivitasnya sudah tidak tepat lagi. Ketiga, karena tindakan tradisional sekadar berpegang pada tradisi atau adat istiadat masyarakat, maka tindakan tersebut merupakan perilaku sosial yang kurang rasional. Pada kategori ketiga, orang berperilaku dalam situasi sosial dengan cara yang diwariskan dan menjadi kebiasaan tanpa banyak berpikir atau mempersiapkan tindakannya. Tindakan emosional adalah yang keempat. 

Perasaan dan emosi lebih diutamakan daripada penalaran atau perencanaan sadar dalam perilaku jenis ini. Emosi di atas mencakup cinta, kemarahan, ketakutan, dan kegembiraan, yang secara alami diungkapkan orang tanpa memikirkannya. Namun, Weber menyadari bahwa tidak semua perilaku sepenuhnya masuk dalam salah satu kategori di atas (Syukur, 2018).[2]

 

Pada jurnal utama yang dilakukan oleh Ketut Gede Mudiarta menjelaskan bahwa para ekonom cenderung menganggap bahwa Di sisi lain, para ekonom sering percaya bahwa terdapat potensi aktivitas ekonomi dalam hubungan antara preferensi konsumen dan harga barang dan jasa. Pada saat yang sama, tindakan para aktor yang dikonstruksi secara historis mempunyai makna dari sudut pandang sosiolog. Karena aktivitas ekonomi dipandang dari perspektif ekonomi sebagai pertukaran antara yang sederajat, para ekonom jarang mempertimbangkan kekuasaan atau dinamika kekuasaan dalam analisis mereka. 

Kekuasaan masih dipandang sebagai faktor penting dalam menentukan perilaku ekonomi, meskipun ada perbedaan pendapat di antara para sosiolog (Smelser dan Swedberg, 2005). Granovetter berteori bahwa struktur sosial khususnya yang didasarkan pada jaringan sosial berdampak pada keuntungan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan kualitas informasi. Kemudian dibahas empat gagasan utama yang mendasari gagasan pengaruh jaringan sosial terhadap utilitas ekonomi, yaitu: (i) norma dan kepadatan jaringan; (ii) Kekuatan ikatan yang lemah adalah manfaat ekonomi yang umumnya diperoleh dari kumpulan ikatan yang lemah. Ia menjelaskan, secara empiris, pengetahuan baru cenderung memperluas perspektif seseorang terhadap dunia luar dan, misalnya, informasi baru lebih cenderung datang dari kenalan dibandingkan dari teman dekat yang biasanya memiliki pendapat serupa. Ia juga membahas tentang pentingnya lubang struktural dan potensi perannya dalam menjembatani hubungan individu dengan pihak asing, serta interpenetrasi tindakan ekonomi dan non-ekonomi serta keberadaan aktivitas non-ekonomi yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat dan mungkin berdampak. pada keputusan ekonomi mereka. Ketika tindakan non-ekonomi melekat pada aktivitas ekonomi, seperti yang didefinisikan oleh Granovetter, hal ini disebabkan oleh jaringan sosial.[3] 

 

Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paisal Rahmat menjelaskan Adapun konsep tindakan ekonomi ini dikenal dengan istilah "amal al-iqthishady" atau "al-tadabir al-iqtishadyyat" dalam terminologi Islam yang berarti "amal (perbuatan, perbuatan) yang mempunyai tujuan atau implikasi ekonomi". Amal merupakan konsep sosiologi karena dipahami dalam konteks hablun min al-nas (hubungan kemanusiaan, interaksi sosial), yaitu tempat para pelaku mengaktualisasikan nilai, motivasi, atau niatnya. Makna amal seseorang (amal\kebebasan memilih) dipahami melalui motivasi (niat) yang ditujukan kepada orang lain yang menjadi objek perhatiannya (\'amaliyyat\' dalam pergaulan sosial, menurut ajaran The Nabi Muhammad SAW (SAW) bahwa "sedekah adalah suatu perbuatan yang berdasarkan niatnya" (Muhammad Fachrur Rozi, 2016). Dalam pandangan Coleman, pribadi manusia lebih dari sekedar tempat atau media dimana struktur sosial dapat berfungsi, sebagai berikut:

 

  • Of Weak Ties. Tampaknya ikatan yang lemah merupakan sumber manfaat ekonomi. Ia menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa, menurut data empiris, orang asing mempunyai kecenderungan untuk menawarkan lebih banyak informasi baru dibandingkan teman dekat, yang biasanya memiliki sudut pandang yang sama. Dengan memaparkan seseorang pada dunia luar, pengetahuan baru juga cenderung memperluas sudut pandangnya.
  •  
  • Pentingnya kesenjangan struktural yaitu kesenjangan antara ikatan yang lemah dan kuat akan membantu masyarakat dalam menjalin hubungan dengan pihak luar dan orang asing.
  •  
  • The Interpenetration of Economic and Non-Economic Action yaitu Ada aktivitas yang dilakukan masyarakat dalam kehidupan sosialnya yang belum tentu bersifat ekonomi, namun tampaknya berdampak pada perilakunya. Karena adanya jaringan sosial, Granovetter mendefinisikan dalam konteks ini penjangkaran tindakan non-ekonomi pada aktivitas ekonomi, (Ketut Gede Mudiarta, 2011).[4]

 

Lalu pada penelitian yang dilakukan Titik Sumarti menjelaskan bahwa Sosiolog ekonomi meneliti perilaku ekonomi yang bermotivasi sosial, atau didorong oleh kepentingan, dan berorientasi pada aktor. Kegiatan sosial ekonomi dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain tradisi dan emosi, selain kepentingan ekonomi.[5]

 

Penelitian yang dilakukan oleh Hamdani menjelaskan bahwa Kegiatan ekonomi Islam tidak bertujuan untuk mencari keuntungan besar atau memperkaya umat. Namun kegiatan ekonomi berfungsi untuk memungkinkan individu bekerja agar dapat menjalani kehidupan yang terhormat dan tenteram. Segala kebutuhan fisik seperti pangan dan papan harus dipenuhi agar dapat hidup bermartabat dan damai. Menurut Umar Chapra (1999), pengambilan keputusan ekonomi harus didasarkan tidak hanya pada faktor ekonomi yang mengutamakan keuntungan, tetapi juga pada variabel moral, sosial dan keadilan.[6]

 

Penelitian yang dilakukan oleh Rilus A. Kinseng menjelaskan bahwa Dalam teorinya tentang kapitalisme, Max Weber memberikan gambaran yang sangat menarik tentang bagaimana struktur sosial diciptakan oleh aktor (manusia), yang kemudian menjadi obyektif dan otonom "di luar sana", dan bahkan memiliki kendali atas penciptanya. Menurut Weber, etika Protestan menjadi dasar sistem ekonomi kapitalis modern, namun karena kapitalisme mampu "memerintah dirinya sendiri", etika Protestan tidak lagi diperlukan.[7]

Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Rafli Yusuf dan Diyah Utami menjelaskan bahwa Konsep fungsionalisme struktural diciptakan pada tahun 1950an dan 1960an oleh sosiolog Amerika terkenal Talcott Parsons. Konsep ini menjelaskan bagaimana modernisasi dapat mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat dan bagaimana modifikasi tersebut dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan. Parsons berpendapat bahwa perubahan yang disebabkan oleh fungsi struktural bermanfaat bagi masyarakat. Contohnya adalah pertumbuhan infrastruktur dan teknologi, yang dapat membawa kemajuan di berbagai bidang seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Menurut Parsons, perubahan ini mengarah pada penciptaan struktur sosial baru yang lebih kompleks dan berbeda dengan struktur yang lebih terkonsolidasi  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun