Pembangunan di segala bidang yang dilaksanakan pemerintah Republik Indonesia merupakan usaha untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan terutama di bidang ekonomi. Kota Semarang sebagai ibukota provinsi, merupakan pusat kegiatan pemerintahan, perekonomian, pendidikan maupun kebudayaan Jawa Tengah, tidak heran jika kota Semarang semakin ramai dan tumbuh menjadi kota besar.
Hal ini mendorong Pemerintah Kota Semarang untuk membangun dan mengembangkan kota, dengan menyelenggarakan berbagai pembangunan fisik maupun nonfisik. Kenyataan ini mendorong semakin banyaknya orang untuk datang ke Semarang, baik untuk bekerja, melanjutkan pendidikan maupun hanya untuk berekreasi. Akibat dari hal itu, menyebabkan semakin padatnya arus lalu lintas, sehingga menuntut adanya jaringan jalan yang memadai dan mencukupi agar lalu lintas dapat berjalan dengan lancar, aman dan nyaman.
Pembangunan Fly Over Jatingaleh merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk mengurai kemacetan. Perempatan depan Pasar Jatingaleh sudah menjadi langganan macet karena merupakan akses satu-satunya menuju semarang bagian atas seperti Tembalang, Banyumanik hingga Ungaran. Namun pembangunan ini tak lepas dari berbagai masalah yang muncul. Selama pembangunan terjadi kemacetan terutama pada jam berangkat dan pulang kantor. Tak hayal banyak pengendara kendaraan merasa sangat terganggu, ditambah lagi jalan dari arah Gajahmungkur menuju Jatingaleh menanjak sehingga banyak mobil dan motor kurang layak jalan mengalami gangguan mesin sehingga turut memperparah kondisi jalan.
Dampak proses pembangunan fly over Jatingaleh terhadap lingkungan diantaranya mulai dari pengemudi kendaraan, kemacetan akan menimbulkan ketegangan atau stress, selain itu juga akan menimbulkan dampak negatif ditinjau dari segi ekonomi yang berupa kehilangan waktu, karena waktu perjalanan yang lama serta bertambahnya biaya operasi kendaraan (bensin, perawatan mesin) karena seringnya kendaraan stop and go.
Dan juga timbul dampak negatif terhadap lingkungan berupa peningkatan polusi udara karena gas racun CO serta peningkatan gangguan suara kendaraan (kebisingan). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa setiap kendaraan yang beroperasi memberikan kontribusi 2.718,19 ug/m3 gas CO pada udara. Penyebaran emisi ini terpapar hingga jarak 50 m searah dengan kecepatan angin untuk gas dan hingga jarak 250 m untuk partikel padat menurut Mursid pada tahun 2007.
Terjadinya kemacetan lalu lintas akan memperbesar emisi gas CO karena terjadi pembakaran yang tidak sempurna, hingga hampir 6 kali bila lalu lintas tidak mengalami kemacetan. Paparan tersebut yang memberikan beban kepada masyarakat di sekitar jalan, baik pemukim, pengasong, polisi lalu lintas, maupun pekerja di pinggir jalan, karena mereka menghirup karbonmonoksida (CO) setiap harinya. Belum lagi ditambah aktifitas alat berat yang bekerja pada proyek fly over tersebut yang menghasilkan gas CO dan kebisingan.
Jika membahas mengenai dampak proses pembangunan fly over Jatingaleh terhadap lingkungan akan banyak sekali yang terdampak. Mulai dari pekerja proyek, pengguna jalan, petugas lalu lintas dan yang sangat terdampak paling lama adalah pemukiman disekitar lokasi pembangunan. Namun begitu, Â pembangunan fly over memiliki manfaat yang banyak seperti mengatasi macet pada peersimpangan Jatingaleh tanpa penggunaan traffic light sebagai pengaturnya serta menjadikan arus lalu lintas tanpa hambatan meski pada daerah persimpangan. Namun demikian, fly over bukan solusi satu-satunya untuk mengatasi kemacetan, jika tidak dibarengi dengan upaya menekan pertumbuhan kendaraan bermotor dan pembenahan trasportasi umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H