"Kata orang, Indonesia gemah ripah loh jinawi ? Tongkat dan batu jadi tanaman? Negara yang kaya, Kok biaya kesehatan semakin mahal ? Sebenarnya yang kaya itu siapa? Rakyat atau pejabat, atau kita yg mudah dibodohi sama janji-janji". Kira-kira seperti itulah pertanyaan isi hati masyarakat indonesia setelah mendengar berita akan dinaikannya iuran BPJS kesehatan.
Protes dan Rasa tidak terima memang sudah menjadi hal yang wajar bagi Semua warga masyarakat jika mendengar berita akan naiknya harga suatu barang atau kebutuhannya. Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi persatuan sebelum kita memprotes apa apa yang sudah menjadi kebijakan pemerintah alangkah baik dan benarnya kita pahami dulu seluk beluk dari perihal tersebut.
Oleh karna itu dalam kesempatan ini akan saya sampaikan beberapa hal yang perlu masyarat ketahui terkait dengan berita akan dinaikannya iuran BPJS kesehatan.
Meunurut berita yang beredar menerangkan bahwa Iuran BPJS Kesehatan Kelas I dan II (peserta Mandiri) dipastikan naik. Iuran naik mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Bapak Prof dr. Mardiasmo selaku Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Â memastikan angka kenaikan mengacu pada skema yang diusulkan Menteri Keuangan ibu Sri Mulyani sebelumnya. "Yang kelas I dan kelas II, 1 Januari 2020 jadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu sehingga kita bisa sosialisasi untuk masyarakat," ujar beliau.
Sebenarnya pemerintah sudah menegaskan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak akan menyusahkan masyarakat miskin. Justru pemerintah selalu berupaya membantu masyarakat kelompok kecil dengan menalangi para Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Yang menjadi tanda tanya hingga saat ini. Sebenarnya apa sih alasan dari kenaikan iuran BPJS Kesehatan? Kenapa harus naik?
Dalam menjawab pertanyaan ini, saya menemukan berberapa alasan dari Kementrian Keuangan (Kemenkeu) yang saya kutip dari CNBC Indonesia terkait beberapa sebab akan dinaikannya iuran tersebut:
Pertama, salah satu penyebab utama defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri. Sehingga defisit meningkat dari tahun ke tahun.
Kedua, banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal. Setelah sembuh, peserta berhenti membayar iuran atau tidak disiplin membayar iuran. Sepanjang tahun 2018 klaim rasio dari peserta mandiri mencapai 313%.
Ketiga, pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7%. Artinya, 46,3% dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak. Sejak 2016 sampai 2018, besar tunggakan peserta mandiri ini mencapai sekitar Rp 15 triliun.
Keempat, sudah sewajarnya asuransi sosial berprinsip gotong-royong, yang mampu membayar lebih besar dari yang kurang mampu, yang sehat tetap patuh membayar iuran agar membantu yang sakit.
Itulah 4 alasan sebagai jawaban dari pertanyaan yang sedang ramai diperbincakann akhir-akhir ini. Kebanyakan warga masyarakat membaca berita hanya dari judulnya saja tanpa ada klarifikasi mendalam terkait berita tersebut. Entah pro atau kontra tergantung sudut pandang masing-masing. Karna yang terpenting adalah jangan sampai ada tumpah darah atau perpecahan di Negeri ini hanya karna masalah-masalah sepele.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H