Di sekuel sebelumnya diceritakan, kebimbangan dan keletihan Prabu Radmila Sangkara terbayar lunas oleh cerita konyol atau dagelan Din Brodin. Kepusingan Panglima Kebosora dalam menentukan strategi perang terbuka dan juga kabar perang terbuka yang telah menyebar ke seluruh penjuru negeri antah berantah melebihi kecepatan Badai.
Bagaimana kabar Satria Gula Kelapa?, rasanya sudah terlalu lama kita meninggalkan tokoh protagonis yang satu ini. Setelah mempelajari dasar-dasar kanuragan tingkat tinggi, diapun meninggalkan hutan kerja bakti. Dasar kanuragan itu dibuat berdasarkan sifat elemen Tanah, Air, Api, Angin dan Kayu atau Logam. Kini, dia merasa kanuragannya telah meningkat dengan pesat.
Ditemuinya sahabatnya yaitu Satria Taruna Kalinda di serambi hutan kerja bakti. Dia memilih menunggu, meski peserta sayembara yang lain meninggalkan serambi hutan kerja bakti menuju Kotaraja. Dia begitu yakin, bahwa sahabatnya itu bisa menemui ksatria penjaga hutan kerja bakti.
Merekapun kemudian berkelebat menuju kotaraja Negeri antah berantah untuk mengikuti sayembara perebutan Dewi Rempah Wangi. Menyusul mereka yang gagal menemui Ksatria Penjaga Hutan Kerja Bakti. Siapa saja yang gagal menemui Ksatria Penjaga Hutan Kerja Bakti, pembaca yang budiman bisa membacanya di sekuel-sekuel sebelumnya.
Kabar mengenai perang terbuka inipun sampai ke Telinga mereka berdua. Merekapun dengan sukarela ingin membantu Negeri antah berantah. Kebetulan juga, tanpa sengaja mereka menemukan banyak selebaran berceceran di jalan-jalan. Isinya undangan bela negara dari pihak kerajaan. Undangan kepada seluruh patriot Negeri. Ini mungkin salah satu cara yang ditempuh oleh Panglima Kebosora untuk mensiasati kekurangan pasukan. Diambilnya beberapa lembar selebaran, kemudian ditaruh di dalam sakunya. Dia cuma berpikir, mungkin suatu saat ada manfaatnya.
Singkat cerita, di tengah perjalanan mereka mendengar denting suara tajam beradu. Setelah saling melirik, mereka berdua sepakat untuk menuju ke arah suara itu, untuk mencari tahu ada apa sebenarnya.
'Gula Kelapa, nampaknya itu tawuran atau pertarungan massal antar perguruan kanuragan', kata Taruna Kalinda.
Tebakan satria Taruna Kalinda memang benar adanya. Karena yang sedang bertawur itu melibatkan dua kelompok besar. Dari baju yang mereka pakai tertulis perguruan sakti Minyak Wangi dan Banyu Waskita (Air Sakti). Perguruan itu merupakan perguruan kanuragan sangat besar di Negeri antah berantah.
'Iya, Kalinda saya ada ide untuk membantu Negeri antah berantah, Dikau bantu saya melerai mereka...', jawab Satria Gula Kelapa tiba-tiba berkelebat ke tengah-tengah pertempuran. Dan dengan tenaga saktinya, dia bisa membelah tawuran itu menjadi dua bagian. Sekarang dia berada di tengah-tengah arena tawuran.
'Sodara-sodara sekalian..... !!!, bukan maksud saya yang bodoh ini untuk ikut campur. Jikalau sodara-sodara ingin memuaskan nafsu bertarung kalian, saya mempunyai waktu dan tempat yang lebih bagus, kalian bacalah selebaran ini...', kata Satria Gula Kelapa disertai dengan pengerahan tenaga dalamnya sambil mengirimkan masing-masing selebaran undangan bela negara dari Negeri antah berantah.
Hening sejenak suasana, setelah membaca selebaran itu. Seseorang yang mungkin pimpinan dari perguruan sakti Minyak Wangi membantah:
'Anak muda bau kencur..., tahu apa dikau dengan masalah pertikaian antar perguruan. Jangan kau berlagak sombong dengan ikut campur urusan kami..!!!'.
'Benar sekali...., Hai anak muda yang tak punya sopan santun, apakah gurumu tidak mengajarkan agar tidak ikut campur urusan dalam negeri orang lain. Dan apakah kamu juga tidak membaca kitab suci, dimana-mana di Negeri antah berantah, - entahlah kalau negerinya bukan antah berantah - yang namanya Air itu pantang bersatu dengan Minyak...!!!', terdengar juga bantahan dari perguruan Air Sakti akibat rasa kecewa karena tawuran mereka dihentikan.
Satria Gula Kelapa terdiam, otaknya lagi berpikir. Mirip kincir angin yang sedang bekerja.
'Sodara-sodara jangan salah paham....., saya yang jauh lebih bodoh ini, paham bahwa Air tidak bisa menyatu dengan Minyak. Tapi ingat sodara-sodara yang lebih bijak dan cerdas dari saya....., harmoni atau kerukunan itu bisa terjadi bila ada dua hal berbeda. Saya tidak menawarkan kalian bersatu padu, namun berharmoni untuk menumpahkan nafsu kebinatangan kalian di tempat dan waktu yang lebih bermanfaat', jawab Gula Kelapa dengan tenang.
'Saya kurang setuju..., lebih baik kami selesaikan urusan kami terlebih dahulu, baru kami memikirkan tawaranmu!', teriak pemimpin perguruan Air Sakti yang jelas-jelas egois.
Tidak ada bantahan dari perguruan Minyak Wangi, karena apa yang dikatakan satria gula kelapa masuk di akal mereka.
'Begini sodara-sodara..., Ibu [Dewi] pertiwi kalian memanggil untuk melakukan bela tanah air melawan para pendekar dari Negeri seberang. Apakah kalian para pendekar yang berakal ini tidak mau menunjukkan baktinya pada ibu kalian?. Cobalah kalian lupakan sejenak pertikaian di antara kalian ini semua untuk Ibu kalian..!!!. Kalau bukan anak-anaknya sendiri, siapa lagi yang akan membela Ibu Pertiwi yang kalian cintai...!!! ', Jawab Satria Gula Kelapa dengan suara tenang dan lantang tanpa terpancing emosinya. Dia sengaja menggunakan bahasa yang persuasif untuk menyentuh sisi patriotisme mereka.
Berdasarkan mitos di Negeri antah berantah dan juga cerita turun temurun, Ibu [Dewi] Pertiwi atau kelak di kemudian hari dikenal dengan sinonim tanah air tercinta adalah merupakan seorang Dewi yang sengaja diturunkan dari Suargaloka untuk mendiami Bumi oleh Pencipta Alam Semesta. Di Negeri antah berantah Dewi Pertiwi ini dikenal sebagai Dewi Bumi.
Terdengar suara kasak-kusuk, riuh cenderung hingar-bingar kayak pasar tradisional menanggapi omongan Satria Gula Kelapa di antara dua kelompok perguruan besar itu. Satria Taruna Kalinda, hanya bisa geleng-geleng kepala dan mengeluarkan suara seperti hewan cecak pertanda kagum. Tidak menyangka bahwa sahabatnya, selain berkanuragan tinggi juga punya bakat dan piawai lidahnya dalam berdiplomasi dan bernegosiasi untuk mendamaikan (pake 'd' ) dua pihak yang sedang bertikai serta menggiringnya untuk mencapai tujuan tertentu.
'Baiklah anak muda..., kami akan ikut saranmu!. Namun...., kami semua di sini meminta, kelak setelah melaksanakan bela negara bagi Ibu negeri kami, dikau harus menjadi saksi bagi tawuran kami karena kami akan menyelesaikan urusan kami yang belum beres!', jawab pemimpin dari perguruan Air Sakti yang diamini oleh pemimpin perguruan Minyak Wangi.
Satria Gula Kelapa pertama merasa keberatan dalam benaknya. Entah kenapa tiba-tiba intuisinya berkata bahwa jika kau meminta sesuatu dari orang lain maka kau harus siap juga memberikan sesuatu untuk orang yang kau minta. Mungkin yang dimaksud intuisinya itu yang kelak di kemudian hari disebut dengan bernegosiasi, ada proses meminta dan memberi.
'Hmmmm......, Baiklah sebuah kesepakatan yang adil, saya menerimanya dengan tangan terbuka.....', kata satria gula kelapa yang membuat riuhnya kedua kelompok itu menjadi tenang.
Akhirnya dua kelompok perguruan besar itu dengan jumlah pendekar yang tidak sedikit mengikuti kemana Satria Gula Kelapa pergi dan dengan otomatis pula memilihnya sebagai pemimpin sementara.
Begitulah, begitu besarnya rasa cinta para patriot kepada Ibu [dewi] Pertiwi, sampai-sampai beberapa orang dari mereka secara serempak menyanyikan sebuah kidung yang ditulis oleh pujangga negeri antah berantah.
Apakah Ibu [Dewi] Pertiwi berbicara?
Jutaan Patriot Maju ke Medan Laga.
Semua Air Mengalir ke Lautan.
Gunung Rela Menjadi Pasaknya.
Musim Datang Silih Berganti dengan Teratur.
Jutaan Pohon dan Hewan Berkembang Biak.
Apakah Ibu [Dewi] Pertiwi berbicara?
Tanpa diketahui oleh mereka semua, dari balik rerimbunan pepohonan dan juga karena riuh rendah suara kidung, seorang mata-mata Punggawa Wasita yang bekerjasama dengan Pangeran Ural berkelebat dengan wajah kecewa. Sederhana sekali, bisa ditebak maksud Punggawa Wasita. Pertikaian itu sengaja dia ciptakan. Tujuannya untuk memecah belah semua kekuatan Negeri antah berantah. Yang pada akhirnya, mereka sibuk bertikai dan lupa untuk membela negeri mereka sendiri.
Rombongan yang semula hanya terdiri dari dua kelompok perguruan besar di Negeri antah berantah, makin lama makin bertambah. Kemungkinan besar disebabkan oleh kidung yang dinyanyikan secara serempak telah menggugah jiwa patriotisme para pendekar yang berpapasan dengan mereka. Apakah Ibu [Dewi] Pertiwi Berbicara?
Bersambung....:),
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H