Mohon tunggu...
Hasbi Syuhada
Hasbi Syuhada Mohon Tunggu... Lainnya - Sustainability Enthusiast

Saya adalah seorang profesional di bidang Keberlanjutan (Sustainability).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kelanjutan Keberlanjutan: Dilema dan Nawacita

28 Agustus 2023   08:52 Diperbarui: 28 Agustus 2023   09:09 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) telah menunjukkan komitmen pemerintah dalam isu keberlanjutan. Hal ini tentu menjadi magnet sorotan bagi para pemangku kepentingan mengingat urgensi terhadap pembangunan berkelanjutan selalu memainkan peran strategis atas banyak pengambilan keputusan di berbagai sektor.

Sustainable Development Report - Cambridge,  Global Risk Profile - ESG
Sustainable Development Report - Cambridge,  Global Risk Profile - ESG
Walau bagaimanapun, jika ditelisik melalui performa keberlanjutan, setidaknya terdapat dua parameter yang dapat menunjukkan seberapa jauhnya Indonesia tertinggal dalam hal pengejawantahan konsep keberlanjutan. Pertama, SDGs Rank Index melalui Sustainable Development Report yang dipublikasikan oleh Cambridge, Indonesia menempati peringkat 82 secara global, dan ke-5 untuk lingkup ASEAN. Yang kedua, menggunakan para meter ESG Index Ranks, Indonesia berada di level yang cukup tertinggal, yaitu peringkat 128 dunia, dan ke-5 se-ASEAN. Hal ini tentu menunjukkan, para pemangku kepentingan dari berbagai sektor perlu untuk melakukan inisiasi dalam rangka percepatan penerapan pembangunan berkelanjutan yang efektif dan berdampak. Di lihat secara retrospektif, pemerintah sebenarnya telah banyak melakukan remediasi (sustainability mainstreaming) atas ide pembangunan berkelanjutan, khususnya setelah diratifikasinya paris agreement melalui Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang telah diperbarui dengan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2022. Selain itu, di sektor industri, pemerintah juga menunjukkan komitmennya dalam memerbaiki iklim investasi dengan penerapan Keuangan Berkelanjutan melalui Peraturan OJK No.51 Tahun 2017. Adapun pertanggungjawaban pelaku industri terhadap aktivitas bisnisnya juga menjadi fokus utama pemerintah yang diyakini menyumbang banyak dampak negatif terhadap pembangunan sosial dan lingkungan, khususnya dalam hal emisi karbon, sehingga hal ini diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutaan melalui penerapan PROPER.

Lantas setelah banyaknya mekanisme yang dikelola pemerintah untuk memastikan ketercapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, apa yang membuat SDGs dan ESG Rank Index Indonesia tertinggal jauh bahkan untuk sekadar hanya bersaing dengan negara-negara ASEAN?

1. Memerlukan investasi yang besar

Global Outlook on Financing for Sustainable Development 2021 - OECD
Global Outlook on Financing for Sustainable Development 2021 - OECD
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Organization of Economic Cooperationd and Development (OECD) pada 2020, pandemi Covid-19 membuat kesenjangan pembiayaan global untuk mencapai SDGs diproyeksikan meningkat dari USD2,5 triliun menjadi USD4,2 triliun. Hal yang sama juga berlaku di Indonesia. Sebelum pandemi, kesenjangan pembiayaan Indonesia untuk mencapai SDGs pada 2030 diperkirakan mencapai USD1 triliun. Kebutuhan dalam delapan tahun terakhir menuju 2030 tentunya lebih besar dari angka tersebut.Pemerintah telah melaukan upaya akselerasi terhadap pembiayaan SDGs melalui berbagai inisiatif, di antaranya membentuk SDGs Financing Hub. SDGs Financing Hub diharapkan dapat menyelaraskan sumber daya keuangan dan non-keuangan yang tersedia untuk didorong dalam meningkatkan aspek daya ungkit (laverage) dan keterkaitan (interlinkage) dalam pencapaian SDGs 2030.

Di sektor swasta, entitas usaha khususnya Badan Usaha Milik Negara juga diwajibkan untuk melaksanakan Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang selaras dengan kerangka dan indikator SDGs.

2. Tidak menarik di mata pelaku usaha kecil, 99,9% pelaku usaha di Indonesia

Business Landscape in Indonesia - World Bank
Business Landscape in Indonesia - World Bank
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UMKM terhadap PDB nasional sebesar 60,5% dan terhadap penyerapan tenaga kerja adalah 96,9%. Hal tersebut menunjukkan gambaran distribusi aktivitas ekonomi riil di Indonesia didominasi oleh pelaku usaha kecil. Data world bank menunjukkan bahwa sektor usaha kecil mengalokasikan lebih banyak sumberdayanya dalam mencapai kepastian bisnis sehingga aktivitas bisnisnya adalah bentuk upaya life survival. Sebagian besar juga bahkan merupakan necessity entrepreneur yang sangat rentan akan gejolak dan perubahan bisnis.

Oleh karenanya, sangat sulit untuk menggerakkan para pelaku usaha, di mana 99,9% adalah UMKM, untuk bergerak memprioritaskan aspek keberlanjutan dalam menjalankan bisnisnya. Apabila sektor ini dapat memiliki trigger positif untuk bergerak kearah ekonomi hijau, maka dapat dipastikan hal ini menjadi variable dengan bobot yang dominan dalam akselerasi keberlanjutan di Indonesia.
 
3. Key driver sebatas untuk menarik investor asing

Para pelaku industri dan pembuat kebijakan, perlu melakukan refleksi yang mendalam atas apa yang telah dilakukan selama ini dengan bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini kita berjibaku memenuhi metrics dan indicator pada banyak sustainability framework dan guidance untuk kebaikan bumi, atau kredibilitas di mata investor? Pengelolaan issue keberlanjutan pada sebuah entitas tidak akan dapat diperankan dengan berorientasi pada dampak apabila tidak didasari pada keinginan untuk merawat bumi dan mewariskannya pada generasi penerus.

4. Sudah dilakukan, tapi tidak dikelola dengan kerangka keberlanjutan

Walaubagaimanapun, tidak bisa dipungkiri, banyak institusi pemerintahan maupun entitas swasta yang pada hakikatnya telah melakukan inisiatif-inisiatif terkait dengan kepedulian lingkungan, filantrofi, dan lain sebagainya. Sayangnya, hal tersebut tidak disadari sebagai sebuah inisiatif keberlanjutan sehingga pengelolaannya tidak berorientasi pada indicator dampak. Lebih dari itu, banyak aktivitas yang dilakukan dengan pola-pola seremonial yang hit n run sehingga kemanfaatannya tidak bisa diukur. Hal ini sangat disayangkan dengan sumberdaya yang dikeluarkan, manfaat menjadi tidak bisa diidentifikasi bahkan diproyeksikan kontribusinya pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.
 
Kejadian mengenai melonjaknya ranking polusi pada air quality index Jakarta, ketidakmerataan pembangunan sosial serta isu-isu lainnya belakangan ini seharusnya telah menyentil kita untuk berbondong-bondong berbuat demi kelanjutan kehidupan manusia. Lantas, bagaimana kelanjutan keberlanjutan?

Hasbi Syuhada - Sustainability Enthusiast

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun