“Ya Rasulullah, izinkanlah saya ikut berjihad bersama barisan pasukan Muslimin,” pinta Zaid bin Tsabit. Anak kecil yang belum genap berusia tiga belas tahun itu memiliki tekad kuat, berjihad bersama Rasulullah di lembah Badar. Namun betapa sedihnya ia tatkala Rasulullah belum mengizinkannya untuk ikut berjihad. Sebab Rasulullah menyadari bahwa usianya masih belia. Pun postur tubuhnya yang tak lebih besar dari pedang yang dibawanya. “Aku khawatir kamu akan celaka di medan pertempuran nanti,”
Dengan langkah gontai Zaid pulang ke rumahnya. “Ibunda, Rasulullah melarangku ikut berjihad,” lirihnya memeluk sang ibu. Air mata pun tak terbendung dari kedua matanya. Isak tangis meledak di antara mereka.
“Wahai anakku, janganlah bersedih. Kamu masih bisa berkhidmat untuk Islam dengan cara lain. Jika tidak lewat berjihad dengan pedang, kamu masih bisa berjihad dengan lisan dan pena.”
Dengan bijak Sang ibu menyadarkan anaknya. Sebab ia paham bahwa ruang lingkup berjuang di jalan Allah sangatlah luas, beragam. Sementara itu, kemampuan serta potensi tiap individu sangat berbeda dan tidak sama. Orang yang tak mampu di satu medan ia masih bisa berkarya pada lini lain. Karena setiap orang akan dimudahkan untuk mencapai tujuannya.
“Nak, kamu harus tekun belajar membaca dan menulis serta menghafal surat-surat Al Quran dengan baik,” nasihat ibu Zaid. Setelah itu, kita berangkat menghadap Rasulullah untuk mengetahui bagaimana cara menggunakan kemampuan yang kita miliki untuk berkhidmat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Berlalunya waktu, Zaid dan ibunya pergi menghadap Rasulullah. “Wahai Nabi Allah, anak kami ini, Zaid bin Tsabit telah menghafal tujuh belas surat dari Al Quran. Pun ia membacanya dengan fasih dan benar sebagaimana diturunkan kepadamu. Tak hanya itu, ia juga sangat mahir menulis dan membaca. Dengan prestasinya, ia ingin dekat denganmu dan selalu mendampingimu. Jika engkau bersedia, silahkan mendengarkan bacaannya.”
Rasulullah pun mendengarkan bacaan Zaid hingga beliau mengetahui kemahiran dan kemampuan Zaid dalam menghafal. Lantas bersabda Rasulullah kepadanya, “Wahai Zaid, pelajarilah tata bahasa Yahudi untukku. Sebab aku tidak merasa tenang dari mereka atas apa yang aku katakan.”
Rasulullah menyuruhnya untuk mempelajari bahasa asing yang sangat penting di masa itu. Di samping itu, juga sebagai tujuan dan target politik yang akan berdampak besar terhadap jalinan hubungan diplomasi dan perang antara umat Islam dan kaum yahudi.
Menerima perintah Rasulullah, Zaid bin Tsabit sangat antusias mempelajari bahasa Ibrani. Terbukti, dengan mudah ia berhasil menguasai bahasa itu dalam waktu singkat. Bahkan, ia pun sanggup berbicara dan menulis laksana seorang Ibrani. Kemudian Rasulullah juga memintanya untuk mempelajari bahasa Suryani –salah satu bahasa yang cukup populer di masa itu. Zaid pun mempelajarinya hingga ia menjadi juru bicara daulah Islamiyah.
Ia menjadi orang yang selalu ikut serta dalam pelbagai perundingan, utusan atau surat-menyurat antara kabilah-kabilah asing dengan daulah Islamiyah.
Melihat prestasi Zaid, Rasulullah kagum dan sangat puas. Beliau pun memberi amanah yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada sekadar surat-menyurat dan hubungan diplomatik. Rasulullah mempercayainya untuk menuliskan wahyu, Al Quran. Setiap kali turun kepada Rasulullah, beliau akan mencari Zaid lantas bersabda, “Wahai Zaid tulislah!” maka Zaid pun menulisnya. Hingga akhirnya Zaid menjadi penulis wahyu termasyhur sepanjang sejarah.
Hari terus merambat dan berlalu dengan cepat. Hingga akhirnya Rasulullah wafat. Ketika itu, kaum Muslimin khawatir jika mereka kehilangan satu atau beberapa ayat dari Al Quran Al Karim. Sebab di masa Rasulullah Al Quran belum dikumpulkan dalam bentuk satu kitab. Dikhawatirkan, pada generasi berikutnya akan kehilangan beberapa bagian dari Al Quran atau akan kehilangan susunannya.
Melihat kondisi genting ini, Umar bin Khattab memberikan usulan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan Al Quran di dalam satu kitab. “Baiklah,” jawab khalifah pertama kaum Muslim setelah melalui diskusi yang cukup memakan waktu. “Tapi kepada siapakah tugas mulia dan berat ini hendak dipikulkan?”
Abu Bakar tidak menemukan orang yang lebih baik daripada Zaid bin Tsabit untuk mengemban amanah ini. Sebab Zaid sangat mengetahui dengan persis seluk-beluk Al Quran, kapan diturunkan, bagaimana turunnya, apa sebab turunnya, urutan turunnya sampai tata cara menggabungkannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Padahal ketika ia mengumpulkan Al Quran di dalam satu kitab, usianya baru menginjak 21 tahun saja. Atau kalau dia hidup di zaman kita sekarang, dia belum memperoleh gelar sarjana dari fakultasnya. Namun demikian, di pundaknyalah diletakkan sebuah tugas penting yang tidak akan diletakkan di pundak para professor dan guru besar terkemuka saat ini.
Menanggapi perintah khalifah, Zaid berujar “Demi Allah! Kalau saja mereka menyuruhku memindahkan gunung dari tempatnya, niscaya hal itu akan lebih mudah dan lebih ringan bagi saya daripada yang mereka perintahkan kepada saya untuk mengumpulkan Al Quran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI