Mohon tunggu...
Cecep Hasannudin
Cecep Hasannudin Mohon Tunggu... -

Anak rantau yang baru bisa baca dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapan Mau Nilang Saya Lagi, Pak Polisi?

30 Mei 2014   21:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 2562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya mengalami dua kali ditilang polisi. Enggak lucunya, kasusnya itu sama: saya enggak bawa SIM. Bukan enggak bawa, tetapi saya memang belum bikin surat izin berkendara itu. Pertama, di jembatan Sungai Hitam sebelum terminal Sungai Hitam, Kota Bengkulu pertengahan 2013. Saya waktu itu memang sudah pasrah, andai ada operasi—saya ikhlas damai di tempat. Dan saya pun malas kalau harus sidang di pengadilan.

Siapa yang tak kaget plus gugup saat kendaaraan siapa pun diberhentikan oleh polisi—apalagi saat operasi pemeriksaan kendaraan bermotor. Saya pun kala itu sedikit deg-degan karena merasa saya ini memang salah. Surat-surat motor saya enggak lengkap. SIM belum punya. Alasan paling realistis kenapa saya belum punya SIM sampai hari ini karena saya malas ngurusnya.

Kenapa saya kala itu begitu siap kalau ada penilangan? Saya kapan pun selalu siap kena tilang walau saya belum punya SIM. Ya, saya selalu siap kalau kebetulan saat itu sedang punya uang cukup. Minimal di dompet ada duit sekitar 150-200 ribuan. Nah, kalau ada duit minimal segitu, saya tetap berani pakai motor ke mana pun—walau, ya tanpa SIM. Saya sudah siap bayar andai benar-benar kena tilang.

Bagaimana bila saya tak punya cukup uang, apakah saya tetap memaksa harus pakai motor yang surat-suratnya belum lengkap—sementara ada urusan yang mesti dikerjakan? Saya tetap gunakan motor itu—dengan tak henti-hentinya berdoa, ”Tuhan, tolong jangan dulu ada penilangan. Walaupun ada, tolong loloskan saya dari operasi itu. Sebab aku tahu, Engkau Maha Menjaga dan Penyayang.”

Beberapa kali kadang lolos. Tetapi, pada hari yang lain saya kena juga. Saya sebut ini takdir. Contohnya, ya saya kena tilang di dekat jembatan Sungai Hitam, Kota Bengkulu. Saya meminggirkan motor dengan sadar—sebab dari kejauhan tangan polisi sudah memberi kode. “Selamat siang, Pak. Maaf, bisa menunjukkan surat-surat motornya?” ungkap salah satu polisi berseragam dan berkacamata hitam itu.

Ya, pada siang terik jelang dhuhur itu, saya langsung bilang jujur ke polisi yang mencegat saya, ”Saya belum punya SIM, Pak. Gimana, dunk, Pak?” Si bapak polisi itu menggumam datar dan langsung bilang, ”Ya silakan minggir ke sana dulu, ya. Datangi kawan saya yang di sana itu. Ayo cepat!” kata polisi itu ke saya. Saya langsung nyeberang jalan dan mendatangi 2-3 orang polisi dekat sebuah warung—yang mereka juga sedang berurusan dengan orang yang ditilang.

Satu orang polisi di situ langsung mendatangi saya, ”Eh, kamu kenapa lagi ini? Mana surat-surat motornya? Saya mau lihat!” Saya di sana mencoba santai—layaknya ngobrol sama orang tua saya kala di rumah. Saya juga coba ramah. Siapa tahu, polisi itu penuh pengertian. ”Saya enggak bawa SIM, Pak! Jadi gimana, dunk, Pak?” “Ya udah, motor kamu ditilang! Sidang di pengadilan nanti. Gimana?” ujar polisi itu.

“Oke, Pak. Silakan aja ambil STNK saya. Nanti sidang saja. Soalnya saya mau buru-buru ini, Pak! Saudara saya sedang di rumah sakit.” Saya lancar ngomong begitu di hadapan polisi itu. “Motor ditahan di sini, ya? Silakan kamu pulang pakai angkot dari sini!” Saya heran polisi bilang begitu ke saya. Bukannya kalau saya mau sidang dan enggak damai di tempat, cuma STNK-nya aja yang ditahan? Kalau enggak salah, sih begitu.

Saya sudah berusaha bilang ke polisi itu, tolong motor saya jangan ditahan dan saya siap sidang di pengadilan. Si polisi keukeuh, bahwa motor saya mesti disimpan di sana dan mempersilakan saya gunakan angkot pulang ke rumah. Polisi itu bilang lagi sambil mondar-mandir, ”Jadi gimana ini?” Saya membaca, bahwa polisi itu maunya diselesaikan saja di tempat dengan membayar uang “titipan” dan saya boleh bawa motor plus STNK-nya.

Saya langsung bilang saja ke polisi—sebab saya enggak mau berlama-lama di tempat itu. Apalagi, kebetulan di dompet saya waktu itu ada 300 ribu. “Gini aja, Pak. Kalau saya bayar di sini, berapa kira-kira?” Eh, si polisi malah langsung menunjukkan surat tilang ke saya, ”Eh, Dek, baca ini. Denda yang enggak punya SIM itu sejuta!” Saya hiraukan ocehan polisi itu dan, ”Pak, saya cuma punya 50 ribu. Gimana?”

Saya menyangka dengan saya katakan seperti itu, polisi itu mau marah—eh, tapi tahunya enggak. “Aduh, Dek, Dek! Lain kali jangan ulangi lagi kayak gini, ya. Kalau kayak gini, kan jadi ribet urusannya. Segera bikin SIM nanti, ya! Ya udah, nih STNK-nya!” ucap polisi yang—sebetulnya bikin saya senang. Yes! Akhirnya tembus juga dengan 50 ribu! Sebelum saya tinggalkan tempat “negoisasi” itu, saya salami kedua polisi itu terlebih dahulu. ”Makasi, ya, Pak!”

Adapun pengalaman kedua saya ditilang, itu tepatnya kemarin (29/5) sore jelang magrib di pertigaan Gedung Sate, Kota Bandung. Dari kejauhan, saya sudah memerhatikan kalau di pos polisi itu ada 3 orang Polantas berseragam. Enggak tahu kenapa, salah satu polisi itu nyeberang jalan sambil melambaikan tangan ke arah motor saya. Saya meminggirkan motor saya ke kiri dekat pos polisi. Alamak! Kena ini. Kena ini. Pasrah. Mau diapain saya, saya siap!

“Sore, Pak! Maaf, bisa tunjukkan surat-suratnya?” kata polisi berkacamata hitam bermasker itu. Saya diam sejenak enggak langsung jawab karena ingin menenangkan hati. “Ya, Bapak, bisa ditunjukkan surat-surat kendaraannya?” Saya jawab saja kalau saya enggak punya SIM. “Kalo gitu, silakan bapak masuk ke pos dulu sebentar, ya.” Saya buka helm lalu ikuti apa yang diperintahkan—masuk karantina.

“Kenapa enggak bawa SIM? Kamu tahu enggak kalo sampai akhir Juni nanti akan ada operasi dalam rangka pengamanan jelang Pilpres dan puasa?” Saya jawab kalau SIM saya hilang—walau sebetulnya saya belum pernah sama sekali bikin SIM—tetapi anehnya bisa hilang. SIM siapa yang hilang? Ya bisa SIM siapa sajalah. Kalau jawab jujur saya belum bikin SIM, tentu imbasnya barangkali saya kena semprot sama polisi.

Saya tahu dari berita televisi akan ada operasi terhadap kendaraan bermotor oleh polisi sampai akhir Juni nanti dalam rangka tingkatkan keamanan jelang Pilpres dan puasa Ramadhan. Kalau saya katakan, saya tahu info ini ke polisi di pos itu, saya pastilah kena omel juga. ”Nah, sudah tahu, kan? Kalau udah tahu kenapa masih maksa jalan-jalan bawa motor?” begitu semprot polisi kira-kira. Jadinya saya bilang bahwa saya belum tahu info tentang adanya operasi itu. Sebab, tahu atau tidak, saya tetap kena tilang.

Kejadiannya sama saat saya kena tilang yang pertama kali. Pak Polisi terhormat itu menunjukkan denda di surat tilang bagi mereka yang berkendara enggak memiliki SIM. Saya baca, ya dendanya sejuta. “Jadi gimana, nih? Mau sidang atau ngasih uang titipan saja di sini? Kalau mau sidang, ini saya mau tulis sesuai dendanya nanti pas di pengadilan. Gimana, Kang?”

Polisi itu melanjutkan,”Atau, gini, aja, deh. Enggak punya SIM dendanya, kan sejuta. Dan saya yakin, kamu sekarang enggak punya duit segitu. Nah, dari sejuta itu, kamu berani nawar berapa?” Yang saya bingung itu, di dompet saya cuma ada 7 ribu. Wah, ini harus ke ATM dulu, pikir saya. Batin saya pun berkecamuk,”Duh, kasih lima puluh atau seratus, ya?” celetuk hati saya. “Seratus gimana, Pak? Tapi saya mesti ke ATM dulu ambil uangnya,” lontar saya.

“Okelah kalau gitu. Tolong jangan diulangi lagi nanti, ya. Cepet bikin SIM!” kata Polisi. Saya langsung bilang, ”Pak, nanti kalau saya kena tilang lagi gimana, dunk?” Kata polisi itu enggak papa, nanti tinggal bilang kalau saya sudah kena tilang di pos Gedung Sate. “Kalau gitu saya mau ke ATM dulu, Pak!” lanjut saya. “ATM apa?” timpal polisi lagi. “BCA, Pak!” balas saya. “O, BCA dari sini lurus belok kiri. Pokoknya enggak jauh dari Jonas Foto!”

Saya akhirnya meluncur ke ATM BCA. Di tengah jalan hendak kembali ke pos polisi, saya berpikir, kok tadi saya enggak bilang sanggup bayar 50 ribu aja, ya? Kalau 50 ribu, kan kekecilan—sementara saya memang salah: enggak punya SIM! Kalau gitu, nanti akan saya nego lagi, bisa enggak kira-kira kalau 50 ribu saja. Apa salahnya menawar, celetuk hati saya. Harus coba nawar, ah! Harus. Urusan diterima atau ditolak, itu nanti.

Saya sampai di pos. Saya duduk lagi di kursi. Di dalam sudah ada dua orang korban yang sedang ngobrol sama polisi. Saya curi dengar obrolan mereka. “Pak, saya ini saudaranya brigadir anu. Bener, Pak. Saya ini saudaranya brigadir anu. Kalau enggak percaya, saya mau telepon dia sekarang!” Entah kenapa, tetiba si polisi yang satunya melepas begitu saja korban penilangannya itu yang sebelumnya ada aksi berpelukan antara si korban dan polisi.

Saya langsung bilang, ”Pak, bisa nego, enggak, Pak? Lima puluh, ya? Ayo, dunk, Pak. Bisa, ya? Bisa, ya, Pak? Saya belum gajian, Pak. Bener, nih. Gimana, Pak?” Saya sebetulnya tidak perlu merengek-rengek seperti itu. Sebab enggak ada gunanya. Saya mesti bertanggung jawab. Di awal saya sanggup bayar seratus, ya bayar segitu—mumpung saya ada uang. “Waduh, Kang, beneran enggak bisa! Seharusnya dua setengah biasanya juga! Beneran ini, mah!” ucap polisi.

Ya, pada intinya kalau saya enggak mau bayar seratus, ucap polisi itu, STNK motor saya ditahan dan saya mesti sidang di pengadilan. Dan, di pengadilan nanti, tambah Pak Polisi yang mondar-mandir di ruangan pos itu—saya akan kena denda sesuai dengan tertulis pada surat tilang, yakni sejuta. “Jadi gimana, mau selesai di sini atau sidang aja, nih? Seratus itu udah murah! Biasanya juga dua setengah!”

Akhirnya saya letakkan uang seratus ribu di bawah topi yang biasa dikenakan polisi saat mengatur lalu lintas yang tergeletak di atas kursi panjang di ruang pos polisi tersebut sesuai permintaan salah satu polisi yang ada di sana. “Cepat, letakkan aja di bawah topi ini!” STNK lalu diberikan kembali ke saya. Sebelum saya pamit, saya salami dulu kedua polisi itu. “Lampunya jangan lupa hidupkan terus, Kang!” pesan polisi.

Pak polisi, kapan mau nilang saya lagi? Saya siap kalau cuma ngasih 50-100 ribu. Suer. sumpah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun