Adapun pengalaman kedua saya ditilang, itu tepatnya kemarin (29/5) sore jelang magrib di pertigaan Gedung Sate, Kota Bandung. Dari kejauhan, saya sudah memerhatikan kalau di pos polisi itu ada 3 orang Polantas berseragam. Enggak tahu kenapa, salah satu polisi itu nyeberang jalan sambil melambaikan tangan ke arah motor saya. Saya meminggirkan motor saya ke kiri dekat pos polisi. Alamak! Kena ini. Kena ini. Pasrah. Mau diapain saya, saya siap!
“Sore, Pak! Maaf, bisa tunjukkan surat-suratnya?” kata polisi berkacamata hitam bermasker itu. Saya diam sejenak enggak langsung jawab karena ingin menenangkan hati. “Ya, Bapak, bisa ditunjukkan surat-surat kendaraannya?” Saya jawab saja kalau saya enggak punya SIM. “Kalo gitu, silakan bapak masuk ke pos dulu sebentar, ya.” Saya buka helm lalu ikuti apa yang diperintahkan—masuk karantina.
“Kenapa enggak bawa SIM? Kamu tahu enggak kalo sampai akhir Juni nanti akan ada operasi dalam rangka pengamanan jelang Pilpres dan puasa?” Saya jawab kalau SIM saya hilang—walau sebetulnya saya belum pernah sama sekali bikin SIM—tetapi anehnya bisa hilang. SIM siapa yang hilang? Ya bisa SIM siapa sajalah. Kalau jawab jujur saya belum bikin SIM, tentu imbasnya barangkali saya kena semprot sama polisi.
Saya tahu dari berita televisi akan ada operasi terhadap kendaraan bermotor oleh polisi sampai akhir Juni nanti dalam rangka tingkatkan keamanan jelang Pilpres dan puasa Ramadhan. Kalau saya katakan, saya tahu info ini ke polisi di pos itu, saya pastilah kena omel juga. ”Nah, sudah tahu, kan? Kalau udah tahu kenapa masih maksa jalan-jalan bawa motor?” begitu semprot polisi kira-kira. Jadinya saya bilang bahwa saya belum tahu info tentang adanya operasi itu. Sebab, tahu atau tidak, saya tetap kena tilang.
Kejadiannya sama saat saya kena tilang yang pertama kali. Pak Polisi terhormat itu menunjukkan denda di surat tilang bagi mereka yang berkendara enggak memiliki SIM. Saya baca, ya dendanya sejuta. “Jadi gimana, nih? Mau sidang atau ngasih uang titipan saja di sini? Kalau mau sidang, ini saya mau tulis sesuai dendanya nanti pas di pengadilan. Gimana, Kang?”
Polisi itu melanjutkan,”Atau, gini, aja, deh. Enggak punya SIM dendanya, kan sejuta. Dan saya yakin, kamu sekarang enggak punya duit segitu. Nah, dari sejuta itu, kamu berani nawar berapa?” Yang saya bingung itu, di dompet saya cuma ada 7 ribu. Wah, ini harus ke ATM dulu, pikir saya. Batin saya pun berkecamuk,”Duh, kasih lima puluh atau seratus, ya?” celetuk hati saya. “Seratus gimana, Pak? Tapi saya mesti ke ATM dulu ambil uangnya,” lontar saya.
“Okelah kalau gitu. Tolong jangan diulangi lagi nanti, ya. Cepet bikin SIM!” kata Polisi. Saya langsung bilang, ”Pak, nanti kalau saya kena tilang lagi gimana, dunk?” Kata polisi itu enggak papa, nanti tinggal bilang kalau saya sudah kena tilang di pos Gedung Sate. “Kalau gitu saya mau ke ATM dulu, Pak!” lanjut saya. “ATM apa?” timpal polisi lagi. “BCA, Pak!” balas saya. “O, BCA dari sini lurus belok kiri. Pokoknya enggak jauh dari Jonas Foto!”
Saya akhirnya meluncur ke ATM BCA. Di tengah jalan hendak kembali ke pos polisi, saya berpikir, kok tadi saya enggak bilang sanggup bayar 50 ribu aja, ya? Kalau 50 ribu, kan kekecilan—sementara saya memang salah: enggak punya SIM! Kalau gitu, nanti akan saya nego lagi, bisa enggak kira-kira kalau 50 ribu saja. Apa salahnya menawar, celetuk hati saya. Harus coba nawar, ah! Harus. Urusan diterima atau ditolak, itu nanti.
Saya sampai di pos. Saya duduk lagi di kursi. Di dalam sudah ada dua orang korban yang sedang ngobrol sama polisi. Saya curi dengar obrolan mereka. “Pak, saya ini saudaranya brigadir anu. Bener, Pak. Saya ini saudaranya brigadir anu. Kalau enggak percaya, saya mau telepon dia sekarang!” Entah kenapa, tetiba si polisi yang satunya melepas begitu saja korban penilangannya itu yang sebelumnya ada aksi berpelukan antara si korban dan polisi.
Saya langsung bilang, ”Pak, bisa nego, enggak, Pak? Lima puluh, ya? Ayo, dunk, Pak. Bisa, ya? Bisa, ya, Pak? Saya belum gajian, Pak. Bener, nih. Gimana, Pak?” Saya sebetulnya tidak perlu merengek-rengek seperti itu. Sebab enggak ada gunanya. Saya mesti bertanggung jawab. Di awal saya sanggup bayar seratus, ya bayar segitu—mumpung saya ada uang. “Waduh, Kang, beneran enggak bisa! Seharusnya dua setengah biasanya juga! Beneran ini, mah!” ucap polisi.
Ya, pada intinya kalau saya enggak mau bayar seratus, ucap polisi itu, STNK motor saya ditahan dan saya mesti sidang di pengadilan. Dan, di pengadilan nanti, tambah Pak Polisi yang mondar-mandir di ruangan pos itu—saya akan kena denda sesuai dengan tertulis pada surat tilang, yakni sejuta. “Jadi gimana, mau selesai di sini atau sidang aja, nih? Seratus itu udah murah! Biasanya juga dua setengah!”