Mohon tunggu...
Hasan Muhtar
Hasan Muhtar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politician & Entrepreneur

Aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU), Lulusan FH Trisakti Angkatan 2003 Organisasi : Sekretaris GP Ansor Kota Bekasi, BPC HIPMI Kota Bekasi, Anggota Dewan Transportasi Kota Bekasi (DTKB), Fungsionaris Partai Golkar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disertasi Hukum Hubungan Intim di Luar Nikah bukan Alternatif bagi Negara

4 September 2019   16:34 Diperbarui: 5 September 2019   09:07 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TEMPO.CO, Yogyakarta - Abdul Aziz, doktor dari UIN Yogyakarta, tetap mempertahankan disertasinya tentang hubungan intim di luar nikah yang tidak melanggar hukum Islam meski menuai kontroversi.

Abdul Azis mengatakan Tafsir Milik Al-Yamin dari intelektual muslim asal Suriah, Muhammad Syahrur, yang ia gunakan bisa ditawarkan untuk membantu negara dalam merumuskan hukum alternatif. Tafsir itu bisa digunakan untuk melawan "kriminalisasi" terhadap orang-orang yang dituduh berzina.

“Bicara masalah tafsir untuk membantu menemukan alternatif bagi negara yang kesulitan merumuskan hukum. Tapi disertasi saya malah dianggap musibah,” kata Abdul Aziz dihubungi Tempo, Ahad, 1 September 2019. 

Akhir - akhir ini sedang ramai sekali di perbincangkan kontroversi mengenai Disertasi tersebut. Hubungan intim di luar nikah selalu menarik di perbincangkan, saya ingat betul ketika masih belajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Dosen Hukum Pidana pada semester awal sudah menerangkan ada 4 celah Hukum Sex di luar nikah : Pertama, dilakukan di ruang private atau tertutup tidak di ruang umum terbuka / ruang publik. Kedua, dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak ada paksaan diantara keduanya. Ketiga, sudah dewasa berdasarkan hukum positif Indonesia. Terakhir ke Empat, tidak ada yang terikat dalam pernikahan satu diantara kedua yang melakukan. 

Dalam Hukum Islam jelas dinyatakan bahwa hubungan intim di luar pernikahan adalah zina dan hukumnya haram. Sementara di sisi lain dalam Hukum Pidana di Indonesia jika hubungan intim dilakukan sesuai ketentuan tersebut diatas maka subyek Hukum tidak dapat dipidana. Jadi bukan hal baru ketika memang ada perbedaan pandangan antara Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Islam. 

Berdasarkan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana "Perzinahan" adalah delik aduan. Zina menurut pasal 284 KUHP adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Pasal 284 KUHP tersebut berlaku aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (dipermalukan). Pengaduan tersebut berlaku bagi pihak yang dirugikan dan pasangan perzinahan. 

Selanjutnya saya akan memberikan sedikit deskripsi pada ranah penegakan hukum, contoh sederhana yang tidak asing bagi masyarakat adalah misal "Operasi penertiban penyakit masyarakat", penegakan aturan tersebut biasanya dilakukan oleh Penegak Perda / Satpol PP, Polisi hanya melakukan pendampingan sebagai upaya pencegahan tindak kriminal. Mereka yang terjaring dalam operasi tersebut pun hanya di kenakan sanksi sosial dan sanksi administratif dengan membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. 

Jadi kalau dari sisi contoh itu yang di lihat, jelas tidak ada unsur kriminalisasi. Kalau alasan yang diungkap Doktor Abdul Aziz untuk "melawan kriminalisasi terhadap orang-orang yang dituduh berzina" Saya fikir itu terlalu dangkal. Apa ukuran "kriminalisasi" tersebut, siapa yang melakukan kriminalisasi, apakah kriminalisasi tersebut ditujukan kepada penegak hukum. Negara bahkan sangat menjaga hak individu paling dasar yaitu kebutuhan sexual. 

Saya pikir Negara tidak butuh lagi alternatif hukum mengenai hubungan di luar nikah, Negara sudah memberi keleluasaan dan melindungi hak pribadi (private) sebagai Warga Negara Indonesia dengan baik. Di sisi lain berbagai diskusi hukum banyak disampaikan bahwa hukum pidana di Indonesia adalah warisan kolonial, yang kita butuhkan adalah perubahan dan perbaikan, agar hukum Negara kita mampu menjawab perkembangan peradaban rakyat Indonesia hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun