Aku adalah seorang mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo. Alhamdulillah Allah mengizinkanku belajar di Universitas Islam tertua ini. Tanggal 4 Desember 2007 adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di bumi kinanah. Sekarang aku tengah belajar di fakultas Ushuluddin jurusan Hadits. Insya Allah jika Allah berkenan memberikan kenajahan tahun ini, maka insya Allah tahun depan aku akan segera menyelesaikan strata satu di Al Azhar.
Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku sejak beberapa bulan belakangan ini. Tepatnya ketika usai menelpon kedua orang tuaku sebelum bulan Ramadhan kemarin. Aku dengan jujur mengutarakan niatku pada ibu dan ayah bahwa anaknya ini sudah wajib untuk menyempurnakan separoh agama.
Awalnya ibuku merasa berat untuk mengizinkanku untuk menikah sebelum selesai kuliah. Tapi aku jelaskan padanya bahwa diriku takut terjerumus ke dalam lembah maksiat. Apalagi Kairo adalah ibukota negara yang penuh dengan glamour. Segala sesuatu bisa kita dapatkan dengan mudah di Kairo. Kalau kata senior-seniorku disini ketika awal menginjakkan kaki di negeri seribu menara ini "ente di sini hanya ada dua pilihan, mo jadi seperti nabi Musa atau Fir'aun".
Dulu ketika masih duduk di bangku Aliyah. Aku adalah salah seorang yang suka membaca buku-buku "seri pengembangan remaja". Terutama bukunya Solikhin Abu Izzuddin, Salim A. Fillah. Salah satu buku yang paling berkesan bagiku adalah "Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan". Buku ini benar-benar membuatku sadar akan kebodohanku mengikuti hawa nafsu.
Pernah satu kali kuberanikan bertanya pada Ustad Salim A. Fillah via facebook. Umur berapa ustad menikah? dengan singkat beliau menjawab umur 20 tahun. Dahsyat, ustad yang kayak gini nih perlu dicontoh batinku.
Rasanya saat ini hatiku benar-benar merindukan hadirnya seorang bidadari yang bisa menemaniku dalam suka dan duka. Seorang permaisuri yang bisa menyokong semua perjuanganku. Yha, hidup ini adalah perjuangan. Perjuangan melawan hawa nafsu dan syetan. Aku tidak ingin seperti mereka yang hanya mengahabiskan waktu dengan pacaran. Islam sudah memberikan solusi jitu buat mereka yang masih muda. NIKAH, conecting people. Tul nggak?
Dalam bukunya Nikmatnya Pacaran setelah Pernikahan, Ustad Salim A. Fillah mengatakan bahwa orang yang pacaran ibarat makan sayur lodeh yang bumbunya dimakan duluan. Paham nggak? maksudnya ketika masih pacaran semua kenikmatan antara lawan jenis sudah pernah dilakukan semua. Jadinya ketika sudah menikah semuanya terasa hampa dan hambar. Karena dulu ketika pacaran sudah biasa. Tidak terasa nikmat lagi cubitan sayang. Apalagi kita semua pada paham kalau semua aktifitas pacaran hanyalah dosa. Sebaliknya kalau udah menikah semuanya jadi halal dan berpahala. Asyik...!
Tapi terkadang tidak semua orang tua yang paham akan anaknya. Ada orang tua yang "maksa" anaknya untuk menyelesaikan kuliah dulu. Sampai dapat kerja, sampai bisa beli motor, sampai bisa beli rumah. Pada akhirnya yang bakal jadi istri anaknya siapa sajalah. Sebab umur sudah kepala tiga, akhwat mana yang mau punya suami sudah tua kayak kakek (hehe).
Aku jadi teringat sebuah kisah dalam buku "Jalan Cinta Para Pejuang" Ada seorang ikhwan yang sudah berniat untuk menikah. Tapi orang tuanya mensyaratkan untuk selesai kuliah dulu. Setelah selesai kuliah anaknya kembali mengatakan pada orang tua. Sayang sekali orang tuanya malah mensyaratkan anaknya dapat kerja dulu. Setelah dapat kerja anaknya kembali mengadu pada orang tua. Orang tuanya kembali mengatakan bahwa anaknya harus bisa beli motor sendiri karena motor yang biasa ia pakai adalah motor bapaknya. Sampai seterusnya yang pada akhirnya anaknya sudah hampir berumur 50 tahun. Siapa yang mau sama kamu nak? Kacian dhe..:D
Pernah juga aku membaca kisah seorang ikhwan yang tiba-tiba menikah ketika masih kuliah. Setelah ditanya alasanya. Ia menjawab bahwa dia ingin selamat dan sukses. Selamat dalam menjaga agamanya dan sukses dalam studinya. Banyak kisah orang yang setelah menikah menjadi lebih baik dalam studinya. Sebab ketika ia merasa malas ada istri yang slalu kasih semangat. (Ceileh...:)
Ada juga seorang kawanku yang menikah ketika kuliah. ketika kutanya apakah menikah tidak menggangu studi? Dengan santai ia menjawab "Annikah wajib wa tholabu ilmi wajib, fal yata'arad wajib ma'a wajib?" Nikah adalah sebuah kewajiban (bagi yang sudah merasa wajib) begitu juga dengan menuntut ilmu wajib, apakah bertentangan wajib dengan wajib? tentu saja tidak.
Sekarang aku dalam dilema yang membuatku ragu melangkah. Apakah aku harus menikah di Kairo dengan akhwat yang juga kuliah di Al Azhar Putri, atau aku harus pulang ke Riau dan minta dicarikan kepada asatidz di sana.
Sebenarnya aku punya pertimbangan tersendiri. Jika aku menikah di Kairo nanti. Apakah ada akhwat yang sesuai dengan kriteriaku. Sebab pengalaman senior-seniorku disini bahwa akhwat di Kairo itu tidak banyak. Sehingga susah memilih yang cocok. Kalau di Indonesia sudah jelas banyak akhwat yang mendambakan calon suami yang kuliah di Al Azhar (Sok Mantab). Apalagi orangnya ganteng dan cerdas seperti diriku (hahay, lebay banget sih).
Ya Allah semuanya kuserahkan pada-Mu. Berikan hamba seorang istri yang bisa menjaga agama hamba dengan baik. Istri yang bila dilihat dapat menyejukkan mata. Di rumah jadi istri dan di jalan jadi kawan. Istri cerdas dan sholehah. Dimana kau akan kucari?
Ukhti..Kau lah tulang rusukku yang hilang, maka bersabarlah sampai ku datang menyempurnakan dien kita. Kau lah bidadariku kelak, maka jagalah izzah mu sampai ku datang dengan gagah pada ke dua orang tuamu. Bukan untuk mengajakmu menyenangkan syetan dalam maksiat.
Akhrie Robbani
Negeri Seribu Menara, 10 September 2011
...:::Ketika Hati Rindu Menikah:::...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI