Hingar bingar sukses demokrasi yang dihelat oleh Partai Golongan Karya (Golkar) beberapa waktu lalu sempat menjadi perhatian utama publik Indonesia, gegap gempita penyelenggaraan tersebut disiarkan langsung lewat media televisi terkemuka di Indonesia, meenjadi trending topic hampir semua media cetak dan online di tanah air.
Hal ini mengisyaratkan bahwa masyarakat menaruh perihatin terhadap kondisi partai politik pada umumnya dan khususnya pada partai Golkar, dengan berbagai problema dan konflik internal yang membuat partai besar tersebut bagaikan macan ompong yang kesakitan. Sehingga setelah dilakukan Munaslub dengan menampilkan pembelajaran demokrasi yang sangat substansial serta proses rekonsiliasi yang cukup solutif, membuat publik berucap syukur atas berakhirnya polemik-polemik di dalam tubuh partai pemenang pemili 2014.
Munaslub yang berlangsung meriah, demokratis, rekonsiliatif dan terbuka tersebut akhirnya memenangkan Setya Novanto sebagai ketua umum DPP Partai Golkar. Namun lagi-lagi publik bertanya, apakah Setya Novanto mampu mengembalikan kejayaan dan kewibawaan partai yang mengalami kepincangan gerakan tersebut. Para pengamat sangat meragukan akan kapasitas dan kapabilitas yang Novanto dalam menahkodai Partai Golkar.
Keraguan ini didasari dengan pandangan-pandangan politik ketika mengamati apa yang coba ditambilkan oleh Setya Novanto selama proses kampanye dan debat kandidat, hingga proses penyelenggaraan muasyawarah di Nusa Dua Bali.
Bagaimana tidak, Novanto yang merupakan mantan Ketua DPR RI yang menjabat hanya dua tahun, yaitu 2014-2016, lalu mengundurkan diri, karena terlilit kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam proses negosiasi perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia. Dalam rekaman yang dibocorkan oleh bos Freeport Ma’roef Syamsuddin, terdapat sebuah faktas hukum tentang kelakuan Novanto yang meminta beberapa % saham.
Atas kasus tersebut pula lah Novanto kemudian diadukan ke MKD DPR RI atas pelanggaran etika dan hukum. Persidanganpun berlanjut, dimana masing-masing yang bersangkutan memberikan kesaksian. Proses penyelesaian kasus yang dikenal sebagai “papa minta saham” tersebut cukup menyita perhatian publik Indonesia. Lewat kasus dan persidangan tersebut, Novanto mempertontonkan perilaku politik yang cukup memalukan.
DPR sebagai lembaga pembuat UU kehilangan kewibawaan dan kehormatan, karena dengan kasus-kasus yang buat oleh Novanto tersebut, telah mencoreng lembaga tinggi negara tersebut sabagi istana bagi aspirasi rakyat. Selain itu, anggota DPR juga mengalami kehilangan citra, mereka mendapatkan citra yang sangat buruk dari rakyat, begitu juga dengan segala tentang “dunia politik”. Predikat dan citra negative dalam politik adalah badai besar yang cukup berpengaruh dalam jalannya pemerintahan dan stabilitas politik, dan membutuhkan waktu lama dan orang bijak yang dapat mengembalikannya.
Di mata publik Indonesia, Novanto merupakan manusia yang dipersepsikan sangatlah negatif. Di tambah dengan beberapa kasus lain yang membuatnya mengalami degradasi integritas, mengalami kemerosotan elektabilitas, serta mengalami timbulnya ketidak percayaan public terhadapnya.
Hal ini akan menjadi boomerang bagi Partai Golkar yang dipimpinnya. Sebab ketua partai adalah symbol bagi partai itu sendiri, jika ketua partai mengalami persoalan maka hal yang sama akan dialami oleh partai yang bersangkutan. Jika ketua partai tidak memiliki daya Tarik, tidak memiliki ketokohan dan elektabilitas yang baik, maka demikian juga dan bahkan akan lebih parah dari itu akaan dialami oleh partai itu sendiri.
Hal ini harus dapat dicermati oleh kader-kader Partai Golkar, karena akan sangat sulut mengembalikan kejayaan partai dan mendorong partai menjadi partai yang besar dan berwibawa jika ketuanya adalah orang yang tidak memiliki elektabilitas, moral dan etika yang baik. Untuk itu, partai akan kesusahan dalam mendulang suara, sulit mendapatkan legitimasi dan dukungan yang massif dari rakyat, partai Golkar akan kehilangan aurah dan kebesarannya.
Tidak berhenti sampai disitu, kemenangan Novanto yang sarat dengan praktek transaksional membuat langkah partai akan semakin sulit, sebab setelah Munaslub, bukannya melakukan rekonsiliasi dan peremajaan struktur tetapi sibuk para bagi-bagi jabatan dan balas jasa politik. Di tambah lagi dengan bayang-bayang ARB dalam proses kepemimpinan Novanto, menambah berat proses percepatan politik partai dan pada ujungnya, rekonsiliasi atau tidak sama saja, istilah itu hanya akan menjadi gincu demokrasi semata, karena pada kenyataannya partai tetap jalan di tempat dan orang-orang yang dulu merusak partai masih mengobok-obok jalannya perubahan bagi Golkar.
Kuatnya campur tangan ARB dalam proses pemenangan dan pembentukan struktur kepengurusan baru pada kepemimpinan Novanto menjadi soal lain dalam upaya rekonsiliasi partai, karena satu sisi akan menimbulkan sentiment politik bagi kubu Agung Laksono yang tidak mendapatkan posisi strategis, dan ini akan memicu konflik baru, padahal sesunggguhnya dalam kepengurusan baru hasil Munaslub harus dilakukan integrase kepengurusan kedua kubu, karena pada hakikatnya itu adalah cara mengahiri sentiment politik secara internal.
Dengan demikian, Novanto akan sangat sulit melakukan pengembangan terhadap partai, karena dengan penambahan Dewan Pembina dan ARB sebagai ketua pada struktur kepengurusan tersebut mengisaratkan besarnya kewenangan ARB dan pengecilan kewenangan bagi ketua umum partai. Ketua Umum partai tidak ubahnya sebagai pelaksana tugas atau pengurus harian bagi Partai Golkar. Dan ini akan selalu menghantui setiap langkah politik yang dilakukan oleh Novanto dalam kepemimpinannya nanti,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H