Rencana pembangunan perpustakaan yang kabarnya sebagai perpustakaan terbesar di Asi Tenggara mendapat penolakan dari beberapa orang. Penolakan tersebut dengan berbagaimacam argumentasi yang dijadikan landasan, diantaranya adalah: (1) Wakil Ketua Fraksi NasDem Johny G Plate menilai tak ada urgensinya membangun perpustakaan saat ini karena kondisi keuangan negara belum memadai. Terdapat pontensi penurunan penerimaan negara sekitar Rp 290 triliun. Apalagi saat ini tren perpustakaan dari buku fisik ke e-books dan e-library, maka sebaiknya keseluruhan konsep perpustakaan ditinjau ulang agar mampu menyesuaikan dengan perkembangan tehnologi informasi,
(2) Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai ada ketidakjelasan dalam perencanaan terkait perpustakaan dan terlalu terburu-buru, (3) Direktur Center Budget Analysis Uchok Sky Khadafi menilai pembangunan perpustakaan tersebut adalah upaya akal-akalan, (4) Ketua Fraksi Gerindra di DPR Ahmad Muzani menolak, Gerindra menilai rencana tersebut tidak sesuai jika dilakukan saat ekonomi sedang sulit seperti sekarang ini, Negara defisit hampir Rp 300 triliun. Semua anggaran dipotong.
Berbagai macam reaksi tersebut di atas bagi penulis, adalah mereka yang berpikir praktis alias tidak berpikir panjang jauh kedepan bahkan melampaui zaman, sedangkan orang-orang yang mendukung pembangunan perpustakaan tersebut adalah mereka yang berpikir untuk masa depan bangsa, masa depan generasi muda, masa depan pemerintahan dan negara Indonesia. Bepikir bagaimana Indonesia dua puluh hingga serratus tahun kedepan. Karena perpustakaan merupakan jembatan yang menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa atau peradaban yang lainnya di seluruh dunia, baik dalam sejarah maupun saat ini.
Untuk itu, perlu dilakukan dekonstruksi kerasionalitasan atas argumentasi-argumentasi penolakan yang disampaikan oleh beberapa orang tersebut, sekaligus sebagai jawaban atas kecurigaan-kecurigaan dalam pikiran mereka dan pesimisme yang coba mereka bangun untuk melemahkan gagasan-gagasan Ketua DPR dan kawan-kawan.
Pertama, Rencana pembangunan perpustakaan itu sendiri dilakukan berdasarkan usulan dari berbagai cendekiawan nasional yang datang khusus memberikan dukungan dan pandangan terhadap pembangunan tersebut. Dan rencana tersebut juga telah dilakukan studi khusus serta mendengarkan aspirasi-aspirasi dari berbagai pihak, melakukan peninjauan ke beberapa perpustakaan, sehingga rencana tersebut benar-benar komperehensif, rasional dan objektif beradasrkan kebutuhan dan kepentingan bangsa.
Jadi sangatlah keliru jika dikatakan bahwa rencana tersebut sebagai suatu hal yang terburu-buru dan mengada-ada. Lagi pula, Pimpinan DPR beserta anggota DPR yang lain bukanlah orang yang tidak paham, anggota DPR dalam mengambil kebijakan dan program tentu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal, sehingga pembangunan tersebut dapat terlaksana dan tepat guna sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa. Pembangunan perpustakaan DPR bukan untuk kepentingan subjektif atau individu, bukan pula untuk kepentingan kelompok, apa lagi jabatan sebagai anggota DPR sifatnya periodik.
Kedua, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ketua DPR Ade Komaruddin dalam beberapa kesempatan saat diwawancara oleh awak media, sebagai sebuah perbandingan kondisi perekonomian antara Indonesia dengan Amerika Serikat saat membangun Library of Congress. “Perpustakaan itu didirikan pada tahun 1800. Saat itu, kondisi ekonomi Amerika sedang sulit dan belum menjadi negara maju seperti sekarang ini. Saat ini Library of Congress tetap menjadi perpustakaan terbesar di dunia dengan koleksi 36 juta buku. Amerika pun menjadi negara maju salah satunya karena memiliki perpustakaan tersebut” (KOmpas.Com 28/3/2016).
Dengan kata lain, Indonesia saat ini tidak sedang mengalami krisis, walaupun sedikit mengalami devisit anggaran sebanyak 300 Triliun, tetapi bukan berarti bangsa Indonesia tidak memiliki anggaran. Karena anggaran pembangunan perpustakaan DPR tersebut sudah dialokasikan dalam APBN 2016 dengan total Rp. 570 Miliar. Dan anggaran tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan alokasinya. Kebutuhan anggaran tersebut akan terpenuhi dengan percepatan proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Dengan UU ini dapat mendorong para pengemplang pajak untuk membayar pajak, sehingga dengan begitu tidak aka nada asumsi defisit anggaran.
Hal ini menjawab tuduhan bahwa pembangunan perpustakaan tersebut menghabiskan anggaran negara di saat bangsa sedang mengalami defisit. Untuk itu, sebagai bangsa yang kaya dan besar kita perlu bersikap optimis tentang segala kebijakan pembangunan, tidak hanya memandang dari segi praktis (jangka pendeknya) tetapi juga mesti dipandang terlebih dahulu dari segi fungsi, tujuan yang bersifat jangka panjang. Pembangunan yang dinilai menghabiskan “uang rakyat” adalah pembangunan yang tidak bertujuan pada kepentingan rakyat atau pembangunan yang orientasinya bukan untuk kemajuan dan pembangunan bangsa.
Sebaliknya, jika pembangunan tersebut bertujuan untuk kepentingan rakyat Indonesia, untuk pembangunan dan kemajuan bangsa, untuk masa depan bangsa dan generasi bangsa kedepannya yang jauh lebih baik dan maju, maka pembangunan tersebut tidak dinilai sebagai suatu pembangunan yang menghabiskan uang rakyat.
Ketiga, Jika pembangunan perpustakaan tersebut di nilai sebagai sebuah “akaal-akalan”, makan yang perlu diwaspadai adalah “akal-akal” dari orang yang mengatakan hal demikian. Sebab argumentasi penolakan seperti itu adalah argumentasi politis, sebuah argumentasi yang tidak mendasari alasannya di atas rasio, objektifitas dan data empiric tentang rancangan pembangunan, alasan dan tujuan pembangunan serta rincian anggaran pembangunan perpustakaan tersebut. Setelah dapat diketahui detil pembangunan tersebut baru dapat dikritik hal ihwal apa saja yang ditolak atau tidak diinginkan.
Perpustakaan yang direncakana oleh DPR, akan menampung sekitar 600.000 koleksi buku dan karya sejenis, itu artinya jauh di atas perpustakaan terbesar d Asia Tenggara National Library of Singapore yang memiliki 500.000 koleksi buku. Yang kepentingann utamanya adalah untuk menunjang kinerja DPR (anggota, tim ahli dan kelompok terkait),
untuk kepentingan bangsa dan generasi Indonesia kedepan, mendorong minat baca dan gerakan literasi bagi seluruh elemen bangsa serta seluruh rakyat Indonesia, membangkitkan semangat mencintai buku dan mengunjungi perpustakaan. Hal-hal baik seperti itu harus lahir dari kesadaran pemerintah terutama DPR sebagai wakil rakyat, dapat mencontohi dan meneladari generasi bangsa agar mengunjungi perpustakaan. Sekaligus sebagai symbol pembangunan bangsa yang maju, modern dan era baru lahirnya peradaban baru di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H