puisi Hasan Buche:
maafkan, aku belum bisa menuliskan puisi tentang wangi tanah karena hujan pertama yang melahirkan kenangan bahagia masa kanak-kanak bermandi di bawah derai dan derasnya
belum bisa juga menata kata mesra tentang betapa indahnya menatap air yang jatuh di pelimbahan dari balik kaca jendela di mana perciknya laksana kembang api jelang lebaran dan jejaknya menciptakan lingkaran-lingkaran yang takputus
juga takkuasa mengguriskan kemesraan petani dalam sujud syukur menciumi bumi yang basah dan gembur serta tanaman-tanaman yang subur dan hijau kembali
maafkan
karena kami masih bergeliat agar dapat keluar dari
banjir kebohongan kesewenangan ketimpangan
banjir korupsi keserakahan asap darah air mata
yang bertubi-tubi menggerus kami
dan
Allahu Akbar
Subhanallah
Naudzubillah Min Dzalik
Lahaula walaquwwata ilabillah
Hari ini kami dihujani kebiadaban aparat
Dihantam badai keangkuhan penguasa
Dilanda musibah kekeringan nurani perwakilan
Hingga saudara-saudara, pemuda-pemuda, mahasiswa, pelajar kami terpelanting, terhempas, celaka, dan mati dihantam petir kebengisan
Saat mereka sekadar koor menyuarakan keadilan
Ya, Allah
Lindungi kami
Selamatkan kami
Tangerang, 09 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H