Mohon tunggu...
Hasan Buche
Hasan Buche Mohon Tunggu... Guru - Diam Bukan Pilihan

Selama takdiam jalan akan ditemukan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kekuasaan Ingin Langgeng, Jadikan Rakyat Miskin dan Bodoh Selamanya

7 Oktober 2020   15:58 Diperbarui: 7 Oktober 2020   19:10 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rakyat dari kelompok pertama ini adalah yang paling rentan. Mereka yang paling merasakan pahit-getir, rintih-perih, hina-dina kehidupan. Mereka yang sering mengalami perlakuan tidak adil di sektor apapun. Derita mereka bahkan sering dijadikan dagangan politik. Mereka sering dikadali saat menjalang pemilu daerah maupun pusat. Politisi selalu berpura-pura perhatian dan baik kepada mereka. Padahal segera melupakannya begitu 'pesta' usai.

Sayangnya memang, mereka gampang sekali amnesia sesaat: tiba-tiba dengan mudah melupakan atau memaafkan siksa kehidupan manakala sudah diimingi sedikit duit dan sepaket kecil sembako. Bahkan mereka rela mati buat politisi-politisi yang dianggapnya sudah menyelamatkan nyawa dan hajat hidup mereka. Padahal sebelumnya, mereka teriak-teriak memaki, membenci, bahkan menghujat. Dalih mereka, "Habis mau gimana lagi? Kami kan harus hidup. Hari gini hidup serba susah. Jangankan cari yang halal, cara yang haram saja susah setengah mati." Begitu, mereka sangat pragmatis. Kita tidak bisa mempersalahkan mengapa mereka begitu. Kita masing-masing tahu jawabannya.

2. Kaum borjuis, mereka adalah kelompok sejahtera, kaya, mapan tapi mereka pun tak bisa gerak lantaran perutnya makin buncit gegara keenakan menjilat-jilat dan mulutnya disumpal jabatan empuk dan gurih. Mereka hanya para pencari kenyamanan individu.

Kelompok kedua ini terdiri dari kaum oportunis. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kelompok pertama, mereka pun pragmatis. Yang ini, malah lebih miris. Mereka memiliki banyak kelebihan dan keunggulan tapi mereka berani menggadaikan harga diri dan idealisme demi duit, gengsi, dan posisi. Bahkan mereka dengan sengaja melukai dan menyakiti hati rakyat. Kehidupan mereka sudah sejahtera, tapi mereka masih kemaruk. Ular berkepala dua. Manusia bertopeng. Penjilat. Dan munafik. Kita wajib mencibir dan mempersalahkan mereka.

Yang paling lucu dari kelompok ini adalah saat berada di luar lingkar kekuasaan, mereka sering menggonggong dan menyalak sangat lantang dan menggetarkan. Matanya jalang penuh amarah. Kuku dan taring runcingnya seperti siap mencabik-cabik. Tapi, e, tapi begitu dilemparkan daging, mereka berubah manja dan 'menggemaskan'. Mereka begitu jinak dan manja melingkar-lingkar, berputar-putar mengelilingi kaki majikan yang 'baik hati'. Tentu acap disempurnakan dengan jilatan-jilatan halus dan lembut. Oek! Dan selanjutnya,

3. Kaum intelektual, kepada kelompok ini sebenarnya, kita banyak menggantungkan harapan. Mereka yaitu: pemuda-pemuda, tokoh-tokoh, organisasi-organisasi pergerakan yang mirip dengan masa perjuangan lalu zamannya: Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo dan Budi Utomo-nya, H.O.S. Cokroaminoto, H. Samanhudi, H. Agus Salim, Tiga Serangkai (Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat), R.M. Noto Suroto, Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Muhammad Husni Thamrin, Mohammad Yamin, K. H. Ahmad Dahlan, dyl. Mereka  masih memiliki nurani, empati, patriotis-nasionalis. Seperti contohnya adalah kawan-kawan buruh yang sedang bergerak serempak ke Gedung DPR-RI (06-08/10/2020) untuk membatalkan Omnibus Law UU Hak Cipta Kerja.

Kelompok ini tegas dalam sikap dan tindak. Kritis dan tajam dalam pikir. Mereka sangat tangguh. Tidak goyah diterpa badai rayu dan peluru kedudukan.

Sayangnya, kelompok ini perjuangannya masih bercabang. Mereka masih juga disibukkan dengan urusa-urusan pribadi, keluarga, pendidikan, kerja, dan lainnya. Agak berbeda dengan yang dilakukan para pejuang perintis kemerdekaan dulu. Mereka fokus hanya kepada satu hal, Indonesia merdeka. 

Separuh itukah? Ya, separah itu dan akan terus bertambah jika semua diam. Jadi, kita tak boleh diam. Karena diam bukan pilihan. Kita tak boleh diam. Karena salama takdiam jalan akan ditemukan.

***

Foto: buletinmitsal.com
Foto: buletinmitsal.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun