Seorang guru Bahasa Indonesia, pak Edo namanya, seorang guru yang agak-agak 'melambai'; gemulai, latah, lemah jantung, dan dengan ukuran paha dan bokong yang 'wow' sedang menjelaskan meteri perkembangan sastra di Indonesia. Untuk lebih memperjelas dan mudah dipahami peserta didik, dia membuatkan bagan di whitebord.
Saat itulah si murid iseng, nakal, dan bengal, Deni, namanya, timbul kreativitas 'gendheng'nya. Ia menjepretkan karet yang sudah ditempelkan kertas yang direkat dengan permen karet ke bokong si guru. Di kertas itu tertulis: "Bisa gak, Pak, kalo lagi nulis bokongnya calm aja, gak goyang-goyang kayak cingcaw?"
Sang guru lembut lemah gemulai itu hanya sedikit kaget dengan sentuhan suatu benda pada bokongnya yang fantastis itu, namun tidak merespon secara reaktif-negatif. Dia berhenti menulis. Tersenyum manja. Dan dengan tenang ia menarik kertas yang menempel di bokongnya itu. Melirik kemayu tulisan pada kertas dengan santai dan membacannya dengan dengan lembut dalam hati. Kelembutan itu terlihat di ekspresinya. Seluruh peserta didik menahan nafas. Menanti dengan cemas, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sejurus kemudian, guru tersebut beringsut ke whitebord satunya yang masih bersih dari coretan-coretan dan menulis cepat dengan huruf-huruf sangat besar, "Justru Bapak sedang kursus goyang ngebor sama Mbak Inul." Kemudian menambahkan dengan melukis emoticon wajah yang sedang senyum sambil menutup mulut dan tulisan tambahan di sampingnya, 'Hixhixhix...!' di sampingnya. Dan dengan gerakan kilat namun halus, ia membalikkan badannya, menghadap ke arah peserta didiknya sambil berseru, "Taraaa..." lantang sekali.
Sontak saja meledak dan pecahlah seluruh isi kelas di penuhi gelak tawa murid-murid.
Entah bagaimana caranya, ledakan tawa yang kacau balau itu, Â dapat melemparkan tubuh sang guru dengan ringan, seperti kapas yang melayang, ke atas meja yang telah bergeser ke tengah kelas bagian depan. Persis di depan whitebord. Fantastisnya lagi, yang berdiri di atas meja itu ternyata bukanlah sang guru Edo, tapi adalah sosok Sharukh Khan. Yang ada di sekelilingnya bukan lagi peserta didiknya, melainkan para penari latar. Kelas pun bukan lagi kelas, melainkan sebuah taman yang dipenuhi pohon dan eneka bunga warna-warni. Di seluruh sudut taman, menggema lagu berirama Hindustan yang sangat populer seantero jagat hiburan dan sangat familiar, Kuch-Kuch Hota Hai.
Tum paasse aye, Tum paasse aye
Yun Muskurayee, Tum nena jane kya
Sapne de khaye, Aabto mera dil
Jaane ka sota hai, Kya karoon haye Kuch kuch hota hai
.......................
Semua bergembira, bernyanyi, dan menari. Suasana sangat meriah, penuh bunga-bunga berjatuhan dan bertabur-tebaran. Suasana makin tidak terkendali saat sosok Shahrukh Khan yang berdiri di atas bukit, tiba-tiba melepaskan bajunya, memutar-mutar, dan melemparkannya ke tengah keramaian orang di taman. Dilanjutkan dengan melepaskan kaos dalamnya dan kembali melemparkannya.
Shahrukh Khan seperti sedang melakukan tarian striptis. Di temani Kajol yang tiba-tiba muncul dari balik bukit, dan langsung melingkar di tubuh Shahrukh Khan. Menciumi leher, menatap mata Shakhruk Khan dengan birahi yang bergelora serta menggeliat manja di pelukan Shahrukh Khan yang kokoh.
Semua orang jadi histeria. Berlari ke arah Shahrukh Khan. Memburu ingin merangkul, mendekap, memeluk, dan menciumnya. Shahrukh Khan tidak berdaya. Kepalanya kunang-kunang. Pandangannya nanar. Gelap. Tidak mendengar dan melihat apa pun lagi.
Baru kemudian setelah beberapa lama, Shahrukh Khan dapat merasakan tubuhnya seperti ada yang mengguncang-guncang serta samar-samar dia seperti mendengar suara, "Pak, Pak, bangun, Pak! Bangun, Pak!"
Shahrukh Khan benar-benar terbangun namun dalam keadaan sudah kembali ke dalam sosok pak guru Edo. Dengan kaget dan bingung, "Saya kenapa? Saya di mana? Mengapa semua mengerumuni saya?" Tanya pak guru Edo bertubi-tubi. Selanjutnya matanya berputar-putar memperhatikan sekeliling. Tiba-tiba saja dia jadi malu. Lebih malu lagi saat guru Edo menoleh ke arah samping kanan dekat kepalanya, duduk sosok ibu Ratna, ibu guru muda cantik yang sudah sejak lama ditaksirnya.
"Bapak masih ada di dalam kelas. Anak-anak telah menceritakan kejadiannya. Tadi sewaktu Bapak membuat tulisan untuk menanggapi perlakuan murid-murid, tiba-tiba Bapak jatuh dan pingsan." Ibu guru Ratna memberi penjelasan secukupnya.
"Oh...!" desah pak Edo sambil memegangi kepala bagian belakang bawahnya yang berasa sakit. Saat terjatuh tadi, pak guru Edo tidak menyadari kepala bagian belakangnya terbentur tembok.
"Semua peserta didik meminta maaf dan menyatakan sangat menyesal atas kenakalan yang mereka lakukan terhadap Bapak," jelas Bu Ratna.
"Ya..., tidak apa-apa," jawab pak guru Edo. Suaranya lebih seperti sebuah erangan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H