Aku tinggal di sebuah kandang panggung, di belakang rumah seorang janda tua. Kandang tempat tinggalku itu begitu pengap dan bau tahi, sebab tahi hasil ekskresiku selalu saja ada yang menempel pada lantai. Padahal aku selalu berusaha supaya tahiku itu jatuh melalui celah di antara lantai yang terbuat dari potongan bambu, namun selalu saja gagal.
Aku sebagaimana ayam jantan pada umumnya, bangun setiap subuh untuk membangunkan para manusia, terutama untuk membangunkan tuanku yang tinggal seorang diri di rumahnya yang berada di depan kandangku. Suaminya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Sementara anak-anaknya pergi merantau. Dela, anak bungsunya, adalah yang paling terakhir pergi merantau. Tepatnya dua tahun yang lalu, setelah menikah dengan seorang anak pejabat di kota sebelah. Dela mengikuti jejak kedua kakak laki-lakinya yang sudah terlebih dahulu merantau. Koki, kakak tertuanya, merantau ke Jepang dan bekerja di salah satu perusahaan elektronik. Sementara Simon merantau ke ibukota dan bekerja sebagai ASN di salah satu kementerian. Mereka hanya pulang setahun sekali ketika hari Lebaran. Mungkin hanya Dela yang bisa pulang dua atau tiga bulan sekali. Namun, meski jarang pulang, ketiga anaknya tidak pernah lupa untuk mentransfer sebagian penghasilannya untuk tuanku.
Tuanku sangat perhatian dan sayang kepadaku. Setiap pukul enam pagi, dengan langkah yang begitu payah, dibantu sebuah tongkat kayu yang hampir patah, ia dengan membawa senyum di wajahnya yang keriput dan rambutnya yang memutih, selalu memberiku makan bekatul yang biasanya dicampur dengan sisa nasi dan lauk yang tidak habis. Terkadang dengan tumis kangkung, tumis bayam, tahu, tempe, dan yang menurutku paling enak adalah ayam goreng. Ya, daging saudaraku sendiri ternyata memang enak ketika digoreng. Setelah itu, aku akan dibiarkan bermain di luar kandang hingga petang.
Ketika aku bangun kesiangan dan lupa berkokok, tuanku akan bertanya-tanya tentang kesehatanku. Memastikan aku tidak sakit. Meski tidak bisa berkata-kata dengan bahasa manusia, namun aku berusaha meyakinkan tuanku dengan cara menghabiskan makanan yang ia bawa.
Kebaikan tuanku bukan hanya dengan memberiku makan dan menimang-nimangku selayaknya anaknya, namun ia juga memberiku tiga istri yang cantik. Loli, Aca, dan Putri. Aku merasa begitu beruntung memiliki tuan yang begitu baik sepertinya.
Setiap sore selepas asar, tuanku selalu memanggil-manggilku dan ketiga istriku. Memberi kami makan, lalu memasukkan kami ke dalam kandang. Bahkan ketika hujan deras pun ia tak lupa dengan kami. Dengan sebuah caping, ia memanggil-manggil kami untuk segera pulang.
Di dalam kandang, kami bersenda gurau sembari menatap senja di ufuk barat yang menyemburkan siluet jingga keemas-emasan. Jika sedang hujan, aku akan mendekap ketiga istriku dengan erat untuk memberikan kehangatan. Malamnya, kami akan beristirahat. Begitulah keseharianku.
Pada suatu malam, aku terbangun ketika Loli berkeok minta tolong sebab seekor ular piton dengan tubuh sebesar paha tuanku dan panjang sekitar empat meter sedang melilitnya. Aku bersama Aca dan Putri hanya bisa ikut berkeok di pojok kandang untuk meminta tolong kepada manusia.
Tak berapa lama, tuanku datang dengan membawa tongkat kayunya dan senter di tangannya. Begitu melihat ular piton itu, ia segera memukulinya sekuat tenaga. Namun, pukulan itu sama sekali tidak membuat ular piton itu bergeming. Ia tetap melanjutkan menelan Loli. Ketika seluruh tubuh Loli sudah masuk ke dalam perut, barulah ia merayap ke luar kandang tanpa rasa bersalah. Saat itu, aku dan kedua istriku merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Tapi tuanku terlihat lebih sedih lagi. Aku belum pernah melihat wajahnya tertekuk sedemikian lesu.
Duka sebab kematian Loli tak kunjung berangsur. Setiap hari setelah kematian Loli, tuanku selalu memasang muka murung. Tubuhnya semakin lama semakin kurus. Hingga pada suatu pagi, ia menceritakan apa yang sedang ia rasakan. "Aku kesepian. Aku merasa begitu kesepian. Setelah kematian Loli tempo hari, aku menjadi teringat dengan suamiku yang telah mati. Dan aku ingat anak-anakku. Mereka semua masih hidup, tapi hanya sekali dalam setahun saja aku bisa berkumpul bersama mereka, yaitu waktu hari Lebaran. Aku rindu bisa makan bersama dengan mereka di ruang makan. Sungguh, aku begitu rindu. Tapi Lebaran masih lama," ujarnya dengan wajahnya yang tampak begitu pasrah dan berlinang air mata.
Meski perasaanku tak sepeka manusia, namun aku tetap dapat merasakan kerinduan tuanku yang dipendam seorang diri. Kerinduan yang tidak bisa ia bagikan kepada siapa pun kecuali kepadaku.