Sepasang mata yang lebar mengintip dari balik rimbunnya gelagah arjuna. Jerome dan Serli segera saja berdiri, mengenakan kembali celana dan bajunya yang telah ditanggalkan selama lima belas menit terakhir. Gairah untuk meneruskan aktivitas tak senonohnya telah meredup. Mereka segera berjalan menuruni lereng bukit sembari menyibak gelagah dan semak belukar yang tumbuh subur di sekitarnya. Jika ada warga yang menangkap basah mereka, bisa panjang urusannya. Dan tujuan utama mereka datang ke tempat itu bisa-bisa tak jadi terlaksana.
Pagi menjelang siang, udara di Bukit Siregol begitu syahdu. Tidak panas, pun tidak hujan. Pepohonan dan berbagai macam vegetasi yang mengelilingi bukit tumbuh segar, hijau-hijau memanjakan mata. Sepasang julang emas terbang dari salah satu ujung bukit menuju ujung bukit lainnya. Sementara seekor elang jawa bertengger tenang di salah satu ranting pohon pinus.
Sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara itu kembali melanjutkan perjalanannya dengan menaiki sepeda motor. Serli mendekap mesra Jerome dari belakang. Sampai di sebuah warung kopi sederhana yang berdinding kayu dan berlantai tanah, mereka singgah sejenak. Jerome memesan segelas kopi, sementara Serli lebih memilih segelas teh hangat. Sembari menunggu minuman dihidangkan, mereka mengambil mendoan hangat yang tersaji di hadapan mereka.
"Kalian dari mana?" tanya Bu Watimah, sang pemilik warung sambil membawa baki berisi segelas kopi dan teh hangat.
"Kulo dari Purwokerto, Bu. Kalau pacar saya dari Jakarta."
"Adoh temen sekang Jakarta."
"Ibu itu ngomong apa, Yang?" tanya Serli kepada Jerome, setengah berbisik.
"Kata ibu itu, jauh sekali dari Jakarta."
Warung Bu Watimah berada di ujung jalur Bukit Siregol menuju Desa Sirau. Menurut Bu Watimah, warungnya dulu ramai sebagai tempat persinggahan bagi orang-orang yang berjalan kaki dari dan menuju hutan. Namun, sekarang menjadi sepi sebab jalan menuju Desa Sirau telah diaspal dan banyak orang yang menggunakan sepeda motor.
Jerome dan Serli menikmati suasana khas pedesaan di dalam warung yang lebih mirip gubuk itu. Orang yang ramah, hidangan yang sederhana, udara yang dingin, dan cahaya matahari yang terasa hangat yang muncul dari balik dinding warung yang bolong.
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan begitu kopi dan teh hangat yang mereka pesan telah tandas. Dan tak butuh waktu lama, dengan jalan yang tetap menanjak dan berkelok, mereka sampai di perkampungan Desa Sirau, perkampungan yang tersembunyi di balik Bukit Siregol, perkampungan yang dikenal dengan produksi sapu gelagahnya. Di sepanjang pinggir jalan depan rumah warga, berjejer gelagah yang sedang dijemur yang akan digunakan sebagai bahan untuk membuat sapu lantai.