Pada abad keempat hijriyah, ada seorang ulama besar yang menyebarkan ajarannya untuk membela Ahlussunnah wal Jemaah. Sang Pembela Aswaja dalam sejarah Islam yang menjadi sosok yang berkontribusi besar dalam khazanah keilmuan agama.
Siapakah dia? Mengapa dia bisa disebut Sang Pembela Aswaja?
Ulama besar itu dikenal dengan nama Abu Al-Hasan al-Asy'ari. Dia merupakan keturunan dari salah satu sahabat Rasulullah yaitu Abu Musa al-Asy'ari. Lahir pada tahun 260 H, Abu Hasan Al-Asy'ari memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy'ari bin Qais bin Hadhar.
Ayahnya, Ismail bin Abu Bisyr Ishaq, yang mana seorang ulama ahli hadis dan penganut Ahlussunnah wal Jemaah ini wafat ketika Abu Hasan masih kecil. Menjelang wafat, dia mewasiatkan agar putranya kelak diasuh oleh Zakaria As-Saji, pakar hadis dan fikih mazhab Syafi'i yang sangat populer di kota Bashrah.
Selain berguru pada Zakaria, ia juga menimba ilmu kepada ulama-ulama ahli hadist seperti Khalaf al-Jahmi, Abu Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya'qub al-Muqri', dan Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri. Berguru pada ulama-ulama besar itu mengantarkannya pada keberhasilan menjadi ahli hadis, fikih, ushul fikih, tafsir dan lainnya.
Pada umurnya yang menginjak usia 10 tahun, seseorang masuk membawa unsur baru dalam hidupnya. Abu Ali al-Jubba'i, tokoh Muktazilah terkemuka di Barhsah yang kemudian menjadi ayah tirinya setelah menikah dengan ibunya dan membawanya menyelam lebih dalam ke aliran Muktazilah selama 30 tahun kehidupan selanjutnya.
Muktazilah adalah aliran yang dianutnya selama 40 tahun hidupnya. Namun, setelah lamanya menganut aliran Muktazilah akhirnya dia memutuskan keluar dari paham aliran tersebut. Berdasarkan data sejarah, ada beberapa alasan yang mendasari Abu Al-Hasan untuk mantab keluar dari paham Muktazilah.
Alasan pertama adalah adanya rasa tidak puas dengan pola pikir dan metodologi yang menjadi paham di aliran Muktazilah yang mengedepankan nalar akal tetapi tak dukung dengan pencerahan wahyu atau nash. Serta mudah patah jika diserang dengan argumentasi akal yang sama.
Puncak dari ketidakpuasaannya adalah setelah terjadinya diskusi intens dengan salah satu gurunya sekaligus ayah tirinya, Abu Ali al-Jubba'i mengenai bagaimana kedudukan tiga orang: Mukmin; Kafir; dan anak kecil di akhirat. Menurut Imam as-Subki, Abu Ali Al-Jubba'i tidak menemui kebuntuan dalam menjawabnya dan berakhir dengan ketidakpuasan Abu Al-Hasan terhadap paham Muktazilah.
Alasan kedua adalah dia bertemu Rasulullah SAW dalam mimpinya. Seperti catatan Ibnu As-Sakir pada Tabyin Kidzb al-Muftari yang diterjemahkan memiliki arti seperti berikut :