Mohon tunggu...
Salma Nurul
Salma Nurul Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa UMY

penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sang Pembela Aswaja Keturunan Sahabat Rasul, Abu Al-Hasan Al-Asy'ari

20 Oktober 2021   18:33 Diperbarui: 20 Oktober 2021   18:34 1343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abu Al-Hasan Al-Asy'ari Sumber : https://tebuireng.online/kecerdasan-imam-abu-al-hasan-al-asyari/

Pada abad keempat hijriyah, ada seorang ulama besar yang menyebarkan ajarannya untuk membela Ahlussunnah wal Jemaah. Sang Pembela Aswaja dalam sejarah Islam yang menjadi sosok yang berkontribusi besar dalam khazanah keilmuan agama.

Siapakah dia? Mengapa dia bisa disebut Sang Pembela Aswaja?

Ulama besar itu dikenal dengan nama Abu Al-Hasan al-Asy'ari. Dia merupakan keturunan dari salah satu sahabat Rasulullah yaitu Abu Musa al-Asy'ari. Lahir pada tahun 260 H, Abu Hasan Al-Asy'ari memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy'ari bin Qais bin Hadhar.

Ayahnya, Ismail bin Abu Bisyr Ishaq, yang mana seorang ulama ahli hadis dan penganut Ahlussunnah wal Jemaah ini wafat ketika Abu Hasan masih kecil. Menjelang wafat, dia mewasiatkan agar putranya kelak diasuh oleh Zakaria As-Saji, pakar hadis dan fikih mazhab Syafi'i yang sangat populer di kota Bashrah.

Selain berguru pada Zakaria, ia juga menimba ilmu kepada ulama-ulama ahli hadist seperti Khalaf al-Jahmi, Abu Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya'qub al-Muqri', dan Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri. Berguru pada ulama-ulama besar itu mengantarkannya pada keberhasilan menjadi ahli hadis, fikih, ushul fikih, tafsir dan lainnya.

Pada umurnya yang menginjak usia 10 tahun, seseorang masuk membawa unsur baru dalam hidupnya. Abu Ali al-Jubba'i, tokoh Muktazilah terkemuka di Barhsah yang kemudian menjadi ayah tirinya setelah menikah dengan ibunya dan membawanya menyelam lebih dalam ke aliran Muktazilah selama 30 tahun kehidupan selanjutnya.

Muktazilah adalah aliran yang dianutnya selama 40 tahun hidupnya. Namun, setelah lamanya menganut aliran Muktazilah akhirnya dia memutuskan keluar dari paham aliran tersebut. Berdasarkan data sejarah, ada beberapa alasan yang mendasari Abu Al-Hasan untuk mantab keluar dari paham Muktazilah.

Alasan pertama adalah adanya rasa tidak puas dengan pola pikir dan metodologi yang menjadi paham di aliran Muktazilah yang mengedepankan nalar akal tetapi tak dukung dengan pencerahan wahyu atau nash. Serta mudah patah jika diserang dengan argumentasi akal yang sama.

Puncak dari ketidakpuasaannya adalah setelah terjadinya diskusi intens dengan salah satu gurunya sekaligus ayah tirinya, Abu Ali al-Jubba'i mengenai bagaimana kedudukan tiga orang: Mukmin; Kafir; dan anak kecil di akhirat. Menurut Imam as-Subki, Abu Ali Al-Jubba'i tidak menemui kebuntuan dalam menjawabnya dan berakhir dengan ketidakpuasan Abu Al-Hasan terhadap paham Muktazilah.

Alasan kedua adalah dia bertemu Rasulullah SAW dalam mimpinya. Seperti catatan Ibnu As-Sakir pada Tabyin Kidzb al-Muftari yang diterjemahkan memiliki arti seperti berikut :

Dikisahkan darinya, bahwa ia berkata "Terbenak di hatiku (Abu al-Hasan al-Asy'ari), beberapa permasalahan dalam ilmu aqidah. Maka, aku pun berdiri untuk menjalankan salat dua rakaat. Dan aku meminta kepada Allah agar Dia memberikanku petunjuk menuju jalan yang lurus. Aku pun tertidur, tak lama kemudian aku bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam mimpi. Aku pun mengadukan beberapa permasalahan kepada beliau. Rasulullah pun mewasiatkan, 'Tetapilah sunah-ku.' Aku pun terbangun dan aku membandingkan beberapa permasalahan ilmu aqidah dengan dalil yang aku temukan di dalam Al-Qur'an dan hadis. Kemudian, aku menetapinya dan aku membuang selainnya di balik punggungku" (Ibnu as-Sakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 37).

Kejadian-kejadian diatas membuat Abu Al-Hasan tidak keluar rumah. Dia mengurung diri dirumah bukan tanpa alasan tapi dia menggunakan waktunya untuk sibuk menulis pembelaan terhadap Ahlussunnah wal Jamaah. Lalu setelah 15 hari kemudian, ia pergi ke masjid Barhsah dan mendeklarasikan dirinya keluar dari Muktazilah pada khalayak ramai.

Pindah haluan dari Muktazilah ke Ahlussunnah wal Jamaah menjadikannya ulama pertama yang berani mengutarakan argumentasi serta dalil-dalil untuk melawan segenap aqidah yang menyimpang dari pemahaman yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Perannya dalam bidang ilmu aqidah sangat penting bagi khazanah keilmuan agama.

Abu Al-Hasan yang juga menggebu-gebukan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah pada masa itu. Ia telah banyak menulis kitab-kitab namun sayangnya hanya sedikit dari karya-karyanya yang selamat. 3 kitab paling terkenal miliknya adalah Al-Ibanah fi Ushul al-Diniyyah, Maqalatul Islamiyyin dan Al-Mujaz.

Mendekati tahun-tahun terakhirnya selain membuat banyak kitab, Abu Al-Hasan berwasiat kepada para muridnya agar tidak memvonis kafir kepada sesama umat muslim. Abu Al-Hasan diperkirakan tutup usia pada tahun 323 H/935M. Ajarannya terus dikembangkan oleh para muridnya. Di Indonesia sendiri, ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dibawa oleh organisasi Nahdlatul Ulama.

Meski beliau sudah tiada didunia ini namun semua perjuangan dan hasil karyanya sangat membawa pengaruh besar untuk agama Islam terutama untuk khazanah Islam. Namanya harum dan melekat abadi di sejarah Islam.

Ditulis oleh Salma Nurul 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun