Apa yang belakangan ini digambarkan oleh media massa sebagai kisruh politik, sandiwara politik, pertarungan demi kekuasaan, lobby penguasaan sektor strategis, kelanjutan perjalanan bangsa akibat pilpres 2014, politik bagi-bagi kekuasaan, polemik Presidential Threshold, dan berbagai rasa kerupuk renyah yang dikemukakan oleh sejumlah pengamat yang sebagian besar bias dan cenderung memiliki posisi kurang dapat diyakini obyektifitasnya adalah dinamika politik nasional yang perlu diperhatikan secara seksama dan hati-hati.
Hal ini bukan hanya demi keberlangsungan pembangunan Indonesia yang dicita-citakan menjadi negara maju sejahtera bermoral, melainkan demi keutuhan persatuan Indonesia.
Sistem politik telah mengalami proses reformasi yang dimulai tahun 1998, memutuskan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung. Sebuah keputusan berani yang akan meninggalkan praktek politik elit yang menjauhkan pemimpin dengan rakyatnya.Â
Namun keputusan tersebut juga mengandung resiko terjadinya perpecahan bangsa apabila suara rakyat juga terpecah secara tajam dengan perbedaan yang tipis.Â
Mengapa perpecahan bangsa menjadi potensi yang patut dicermati dan hindari? Para kompasianer dan pembaca tentu lebih memahami suasana bathin yang belum sepenuhnya demokratis, egaliter, yang beratus tahun dipecah belah penjajah asing adalah cenderung untuk saling tidak menghormati, saling membenci dan curiga, yang tercermin dengan saling menghina dan saling jegal dengan segala cara melalui fitnah dan propaganda hitam yang semakin memperdalam sikap "berseberangan" antar kelompok.
'Semuanya gara-gara politik!' Itulah jawaban sederhana yang seringkali terdengar dari angkringan hingga resto mewah, terkait perdebatan sengit tentang apa yang menyebabkan negara kelihatannya sama, namun memiliki kesenjangan yang begitu besar dalam pembangunan ekonomi dan politiknya.Â
Menggunakan berbagai contoh sejarah, mereka menunjukkan bagaimana perkembangan institusi--yang kadang terjadi karena desakan situasi yang sangat tidak disengaja--bisa memberi dampak yang begitu besar.Â
Keterbukaan masyarakat, kerelaan elite politik untuk mengizinkan terjadinya penghancuran kreatif dan supremasi hukum yang berlaku ternyata berperan penting dalam pembangunan ekonomi.
 Begitu banyak hal-hal negatif mewarnai pelaksanaan kampanye pilpres 2014 masih membekas, menyebabkan terjadinya polarisasi politik yang tajam hingga ke masyarakat akar rumput.Â
Sesuai trias politika eksekutif, legislatif, dan yudikatif, kelanjutan pertarungan akan terus diwarnai oleh polemik yang cenderung terpolarisasi sehingga akan sulit dan jarang kita mendengarkan pendapat obyektif.Â
Apalagi peran para pengamat politik juga sudah jelas terpolarisasi ke dalam simpati-simpati politik yang seharusnya tidak perlu terjadi karena tugas pengamat adalah meletakan persoalan pada tempatnya dan menganalisanya secara obyektif. Kubu Jokowi dan Prabowo jelas memiliki peta lengkap tentang berbagai situasi yang terjadi. Â
Betapa kedua kubu melakukan berbagai kekeliruan atau blunder politik dengan terlibatnya 'asing' di kedua kubu. Â 'Asing' tidak menutup kemungkinan bahwa secara taktis dan strategis telah memengaruhi melalui tim konsultan maupun individu yang memberikan dukungan kepada kedua kubu tersebut.Â
Siapa pun tokoh yang berpotensi dan kerap muncul dalam survei sepanjang 2021 maupun jagad media sosial: Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Ridwan Kamil, Airlangga Hartarto, Puan Maharani, Erick Thohir, Tri Rismaharini, dan mungkin Sri Mulyani Indrawati.Â
Tahun politik 2024, awal tahun 2022 menjadi muqaddimah bahwa hal yang menyebabkan kaya atau miskinnya suatu bangsa bukanlah faktor geografis, penyakit, atau budaya, melainkan institusi dan politik.
Bagi mereka yang berpikir bahwa nasib perekonomian ditentukan oleh kondisi geografis atau faktor budaya, adalah kabar buruk. Hal yang menyebabkan kaya atau miskinnya suatu bangsa adalah institusi buatan manusia, bukan kondisi geografis ataupun keyakinan para pendahulu.Â
Pertanyaan sederhana namun penting, kenapa ada negara kaya dan miskin? Jawaban pun sangat sederhana--karena negara kaya akan mengembangkan institusi politik yang lebih inklusif.Â
Bahwa saat ini China berhasil menciptakan mesin pertumbuhan ekonomi yang otoriter. Akankah pertumbuhan ekonominya berlanjut dan berhasil mengalahkan kedigdayaan perekonomian negara Barat? Akankah kedigdayaan Amerika Serikat memudar? Adakah kecenderungan bahwa suatu negara maju dapat terjebak dalam lingkaran setan, sekelompok kecil elit penguasa berupaya mati-matian mempertahankan kekuasaannya demi kepentingan pribadi?
Siapa pun tokoh yang berpotensi dan kerap muncul dalam survei sepanjang 2021 maupun jagad media sosial: Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Ridwan Kamil, Airlangga Hartarto, Puan Maharani, Erick Thohir, Tri Rismaharini, dan mungkin Sri Mulyani Indrawati.Â
Tahun politik 2024, awal tahun 2022 menjadi muqaddimah bahwa pentingnya meraih keseimbangan yang harmonis antara logika politik dan perilaku ekonomi, yang sewaktu-waktu arahnya dapat bergeser akibat peristiwa sejarah yang terjadi secara tidak terduga, baik dalam skala besar maupun kecil di 'berbagai momentum yang menentukan'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H