Sesuai dengan pemaknaan perang, maka variabel korban harus jelas apakah dalam bentuk jiwa manusia, kerugian material atau immaterial. Misalnya saja baru-baru ini Indonesia kembali terungkap menjadi salah satu pengguna perangkat mata-mata buatan Israel. Dalam laporan Meta Platform Inc., Threat Report on theSurveillance-for-Hire Industrys sangat jelas bahwa Cytrox disebut disewa oleh pihak di Indonesia. Hanya saja, Meta tidak mengungkap siapa penyewa dan sasaran Cytrox di Indonesia.
Baca: Belajar Intelijen Bersama Ghassem Saberi Gilchalan
Siapa Cytrox?
Laporan Forbes tahun 2019 melaporkan  bahwa Tal Dilian menanamkan antara 3-5 hingga 9 juta dollar AS ke Cytrox. Dilian, adalah mantan komandan Unit 81 Pasukan Pertahanan Israel (IDF), perusahaannya WiSpear (tampaknya telah diubah namanya menjadi Passitor Ltd. ) berbasis di Limassol, Siprus dan dilaporkan mengakuisisi Cytrox pada tahun 2018. Menurut Atooro Fund. Dilian juga dikenal sebagai pendiri Circles, sebuah perusahaan pengawasan jaringan seluler terkemuka. Pada Desember 2020, Citizen Lab menerbitkan investigasi terhadap salah satu pengguna perangkat mata-kata Circles. Dilian juga merupakan pendiri dan CEO Intellexa.
Dalam penelitian Bill Marczak, John Scott-Railton, Bahr Abdul Razzak, Noura Al-Jizawi, Siena Anstis, Kristin Berdan, dan Ron Deibert yang berjudul Pegasus vs. PredatorDissident's Doubly-Infected iPhone Reveals Cytrox Mercenary Spyware ditemukan kemungkinan pengguna perangkat mata-mata buatan Israel ini dari Armenia, Mesir, Yunani, Indonesia, Madagaskar, Oman, Arab Saudi, dan Serbia. Cytrox dilaporkan menjadi bagian dari Intellexa, disebut sebagai "Star Alliance of spyware," yang dibentuk untuk menyaingi NSO Group. Aliansi Intellexa ini bertujuan membentuk perusahaan produsen perangkat mata-mata yang berpotensi memberikan wawasan tentang bagaimana perusahaan teknlogi pengintaian menggunakan struktur bisnis yang kompleks, memanfaatkan langkah-langkah obfuscate their operations., dengan menabrak aturan-aturan di berbagai negara.
Baca: Duduk Perkara Intelijen Asing
Hubungan antara Cytrox dan Intellexa
Cytrox adalah bagian dari bayangan 'aliansi perusahaan-perusahaan teknologi pengintaian', dari berbagai vendor  'tentara bayaran' yang bisa disewa pihak mana pun untuk memata-matai pihak lain, muncul pada tahun 2019. Termasuk, Nexa Technologies (sebelumnya bernama Amesys), WiSpear/Passitora Ltd., Cytrox, dan Senpai, bersama dengan perusahaan produsen perangkat mata-mata lain yang tidak disebutkan namanya, konon berusaha bersaing dengan pemain lain di perusahaan teknologi pengintaian seperti NSO Group dan Verint.
Awalnya berbasis di Siprus, sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa Intellexa saat ini beroperasi di Yunani, dan terdaftar menggunakan akun LinkedIn milik Dilian. Dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa aliansi tersebut tidak hanya berada Yunani (Intellesa SA), tetapi juga di Irlandia (Intellesa Limited). Diungkapkan The Dun & Bradstreet adalah milik Intellexa SA dan Intellexa Limited yang mencatat Sara-Aleksandra Fayssal Hamou (atau disapa Sara Hamou ) sebagai pemilik kedua perusahaan produsen perangkat mata-mata tersebut. Hamou dilaporkan sebagai istri kedua Dilian.
Dalam penelitian Bill Marczak, John Scott-Railton, Bahr Abdul Razzak, Noura Al-Jizawi, Siena Anstis, Kristin Berdan, dan Ron Deibert, hubungan spesifik antara Cytrox dan Intellexa, serta perusahaan lain dalam "aliansi perusahaan-perusahaan teknologi pengintaian' tetap tidak jelas. Pengajuan registrasi identitas perusahaan di Israel, tahun 2020 ditemukan transfer dari semua saham yang dimiliki oleh Cytrox Holdings Zrt (Hongaria), Cytrox EMEA Ltd./Balinese Ltd. (Israel) ke Aliada Group Inc., entitas yang terdaftar di Kepulauan Virgin Britania Raya (No. Pendaftaran 1926732). Sebelum pengalihan saham ini, Cytrox Holdings Zrt tampaknya menjadi pemegang saham tunggal di Cytrox EMEA Ltd./Bali. Dan, setelah pengalihan saham ini tampaknya tetap menjadi pemegang saham tunggal di Cytrox Software Ltd./Peterbald. Selanjutnya, sebuah artikel yang dimuat Intelligence Online tahun 2017  tercatat bahwa WiSpear Systems "dimiliki oleh Aliada Group Inc."
Informasi tentang Aliada Group Inc. relatif sedikit. Artikel tersebut mencatat bahwa Aliada Group Inc. "didukung oleh perusahaan ekuitas swasta Mivtach-Shamir, yang menghabiskan $3,5 juta untuk mengakuisisi 32% saham di Aliada pada Desember 2016, bersama dengan opsi untuk tambahan akuisisi 5%." Mivtach-Shamir adalah " perusahaan investasi Israel yang terbuka secara publik " dan didirikan oleh Meir Shamir. Registrasi identitas perusahaan WiSpear/Passitora Ltd., terdaftar di Siprus, dan tercatat bahwa "Mivtah Shamir Technologies (2000) Ltd." terdaftar sebagai direktur Passitora Ltd., bersama dengan Dilian. "Mivtach Shamir Technologies (2000) Ltd.," ditemukan dalam registrasi identitas perusahaan di Israel, tampaknya didirikan tahun 2000.
Lebih lanjut, dalam sebuah artikel yang dimuat Haaretz tahun 2020 berjudul A Shady Israeli Intel Genius, His Cyber-spy Van and Million-dollar Deals mencatat bahwa Avi Rubinstein, seorang "pengusaha teknologi tinggi, mengajukan gugatan terhadap Dilian di Pengadilan Distrik Tel Aviv." Menurut Haaretz , Aliada Group Inc. digambarkan dalam litigasi sebagai "sekelompok perusahaan senjata siber yang produknya bernama Intellexa." Dua orang lainnya, Oz Liv, yang juga seorang komandan di Unit 81, dan Meir Shamir, juga ditetapkan sebagai terdakwa. Menurut Haaretz , kedua orang ini, bersama dengan Rubinstein, mengajukan gugatan, dan Dilian, mereka adalah pemegang saham di Aliada Group Inc.
Surat kabar Israel Haaretz lebih lanjut memberitakan bahwa Rubinstein menuduh Dilian, Liv, dan Shamir bertindak "secara ilegal untuk mencairkan saham [Rubinstein] sendiri melalui piramida perusahaan yang didirikan di luar negeri. Beberapa dari perusahaan-perusahaan itu didirikan melalui orang-orang pendahulu yang terhubung dengan Dilian, termasuk istri keduanya, Sara Hamou" (sebagaimana disebutkan di atas, nama Hamou muncul dalam daftar perusahaan The Dun & Bradstreet. Gugatan itu juga dilaporkan mengklaim bahwa "pengalihan kegiatan Aliada Group Inc keluar dari Israel melalui perusahaan cangkang, pertama ke Kepulauan Virgin Britania Raya dan kemudian Irlandia".
Menurut BVI Registrar of Corporate Affairs, sejak tanggal publikasi laporan berjudul Pegasus vs. PredatorDissident's Doubly-Infected iPhone Reveals Cytrox Mercenary Spyware, status hukum Aliada Group Inc. adalah "dalam hukuman" karena tidak membayar biaya tahunan.Â
Laporan pemilik Facebook, Meta Platforms Inc , menuding 7 perusahaan pengawasan swasta atas peretasan atau pelanggaran lainnya yang mereka lakukan untuk merugikan individu yang rentan seperti misalnya aktivis, jurnalis, minoritas, dan telah menargetkan sekitar 50.000 pengguna Facebook untuk membagikan temuannya dengan platform lain, peneliti keamanan, dan pembuat kebijakan untuk mengambil tindakan yang tepat. 7 perusahaan pengawasan swasta-untuk-sewa yang dimaksud Meta Platforms Inc, adalah: Cobwebs Technologies, Cognyte, Black Cube, Bluehawk CI, BellTroX, Cytrox, dan entitas yang tidak dikenal di China.
Lebih lanjut, terdapat 1.500 akun Facebook dan Instagram yang terafiliasi ke perusahaan-perusahaan itu. Kini, seluruhnya sudah ditutup. Akun-akun diyakini telah menyasar sedikitnya 48.000 target khusus di sedikitnya 100 negara, termasuk Indonesia.
"Tujuan tindakan hari ini bukan hanya menutup akun, melainkan mengganggu mereka semaksimal mungkin. Tujuannya adalah mengungkap operasi mereka dan membawa transparansi pada industri ini," kata Direktur Ancaman Meta David Agranovich, dikutip dari Kompas, Â Jumat (17/12).
Setidaknya, ini menunjukkan bahwa Indonesia hanya menjadi korban dan penonton aksi pengguna perangkat mata-mata. Hal itu pun hingga saat ini belum tercatat adanya korban jiwa, namun kerugian yang besar yang ditimbulkan dari operasi pengguna perangkat mata-mata tidak dapat dinilai melalui uang saja. Aspek strategis dari operasi intelijen di dunia siber hanya diketahui oleh para pelakunya sejauh mana dan sedalam apa tingkat penetrasinya.
Ancaman terbesar dari perang siber adalah apabila telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang besar. Sebagaimana dalam ilustrasi dalam film hollywood, apa yang paling ditakuti dari perang siber adalah sabotase instalasi vital, pencurian kekayaan negara secara besar-besaran, dan lumpuhnya sistem yang berjalan di suatu negara yang dikendalikan oleh komunikasi online. Hal itu semua dapat menyebabkan suatu negara hancur.
Baca:Â Ghassem Saberi Gilchalan, Mengungkap Misi Rahasia Mata-mata Asing
Terakhir, saya jadi ingat kasus penyadapan Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H