Kekalahan Syamsuar dalam pemilihan gubernur Riau untuk periode kedua menjadi perhatian banyak kalangan, terutama bagi para pengamat politik dan masyarakat yang mengharapkan perubahan. Meskipun sebelumnya menjabat sebagai gubernur, hasil pilgub kali ini menunjukkan bahwa dukungan masyarakat tidak sekuat yang diharapkan.Â
Berbagai faktor berkontribusi terhadap hasil ini, mulai dari komunikasi politik yang kurang efektif, komitmen yang diragukan dalam menyelesaikan program-program pemerintahan, hingga dampak dari fenomena cancel culture yang mempengaruhi persepsi publik.Â
Penyebab Kekalahan Syamsuar di Pilkada Gubernur Riau
Dalam artikel ini, kita akan menganalisis lebih dalam penyebab kekalahan Syamsuar dan implikasinya bagi dunia politik di Riau, yuk kita bahas lebih jauh.
1. Komunikasi Politik yang Kurang Efektif
Selama menjabat sebagai gubernur, Syamsuar tampaknya belum berhasil membangun komunikasi politik yang solid dengan masyarakat. Komunikasi yang baik sangat penting dalam politik, karena dapat membantu membangun kepercayaan dan keterlibatan masyarakat. Sebagai contoh, dimasa kepemimpinan beliau jarang kita melihat spanduk banner Syamsuar memberikan ucapan pada hari spesial kepada warganya.
Dalam beberapa konten sosial media milik Syamsuar, sangat jarang beliau memberikan balasan komentar dari followernya. Ini tentunya semakin memperlebar jarak kedekatan masyarakat dengan  pemimpinnya. Kini sudah era digital, sudah tidak zamannya lagi pemimpin berkomunikasi dengan jalur birokrasi yang panjang. Sosial media seharusnya menjadi cara paling mudah bagi Syamsuar untuk komunikasi dengan masyarakatnya.
Ini salah satu contoh terlihat masa kepemimpinan beliau. Jika masyarakat merasa diabaikan atau tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang kebijakan dan program pemerintah, hal ini bisa menimbulkan ketidakpuasan. Kegagalan dalam berkomunikasi ini berkontribusi pada turunnya dukungan untuknya.
2. Kurangnya Komitmen dalam Pekerjaan sebagai Pemimpin
Selama periode pertama, banyak yang merasa bahwa Syamsuar kurang menunjukkan performa terbaiknya sebagai pemimpin daerah. Masih banyak masalah infrastruktur yang belum diperbaiki dan belum diselesaikan. Sudah seharusnya dengan posisi dipegang, Syamsuar mewujudkan janji-janji kampanye dimasa lalu.Â
Masyarakat Riau tentu berharap ada perubahan nyata dan perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan, namun jika janji-janji yang disampaikan tidak terealisasi, kekecewaan akan muncul. Rakyat butuh pemimpin yang tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak nyata untuk memperbaiki keadaan.
Belum selesai masa jabatan gubernur Riau, masih belum banyak perbaikan yang beliau lakukan, beliau malah maju sebagai calon legislatif DPR RI Dapil 1 Riau. Ini semakin menunjukkan bahwa Syamsuar kurang memiliki kepedulian kepada daerah, seakan menunjukkan sifat oportunisnya. Pada pemilihan legislatif Syamsuar kembali menang, namun ketika pencalonan gubernur, beliau muncul dan berpasangan dengan Mawardi Muhammad Saleh dari partai PKS.
Rakyat Riau banyak yang kecewa, dengan langkah yang diambil oleh Syamsuar ini.
3. Dampak Cancel Culture
Di era digital saat ini, fenomena cancel culture bisa sangat memengaruhi citra seseorang. Syamsuar, yang sebelumnya menjadi Calon Legislatif DPR RI, kemudian mencalonkan diri lagi sebagai gubernur, tampak membuat sebagian masyarakat kecewa.Â
Banyak yang merasa langkah politiknya tidak konsisten dan mempertanyakan komitmennya terhadap daerah. Hal ini menyebabkan sebagian pemilih merasa tidak yakin untuk kembali memberikan suara padanya.
Dalam kesehariannya Syamsuar memang tidak mendapatkan hujatan, namun diam-diam masyarakat Riau meninggalkan Syamsuar meskipun sudah dipasangkan bersama Mawardi Muhammad Saleh yang dikenal sebagai ustadz atau buya.
4. Koalisi yang Kurang Kuat
Koalisi politik yang dibangun oleh Syamsuar juga menjadi salah satu kelemahan dalam pencalonannya. Dengan hanya mengandalkan dua partai, dukungan yang didapatkan terasa kurang maksimal. Dukungan ini hanya berasal dari 2 partai saja yakni Partai Golkar dan Partai PKS.
Di sisi lain, pasangan calon lain didukung oleh banyak partai, yang tentu saja memberikan keuntungan dalam hal mobilisasi suara. Ketidakmampuan untuk membangun koalisi yang kuat membuat posisi Syamsuar semakin terjepit.
Perlu diketahui bahwa simpatisan PKS dan Golkar di Riau cukup banyak, tapi mereka ini hanya simpatisan saja, bukan kader partai. Tentunya sebagai simpatisan tidak memiliki ikatan yang kuat dengan partai dan simpatisan bisa memilih partai yang mana saja.
5. Dukungan Ustadz Abdul Somad
Salah satu faktor penting lainnya adalah dukungan dari tokoh agama. Ustadz Abdul Somad yang mendukung pasangan calon Abdul Wahid dan SF Haryanto memberikan keyakinan tambahan bagi masyarakat untuk memilih pasangan ini.Â
Sebagai bentuk dukungan Ustadz Abdul Somad, disetiap baliho bisa terlihat dengan jelas foto Ustadz Abdul Somad bersama dengan calon gubernur Abdul Wahid dan SF Haryanto.
Masyarakat yang mayoritas beragama Islam di Riau cenderung mengikuti rekomendasi dari tokoh yang mereka hormati. Hal ini jelas berdampak signifikan terhadap pilihan mereka di kotak suara.
Kesimpulan
Kekalahan Syamsuar dalam pemilihan gubernur Riau untuk periode kedua menjadi pelajaran berharga bagi para politisi lainnya. Komunikasi politik yang baik, komitmen yang nyata, serta dukungan yang luas dari berbagai elemen masyarakat adalah kunci untuk meraih dukungan publik.Â
Dalam dunia politik, terutama di era informasi saat ini, menjaga reputasi dan membangun hubungan baik dengan masyarakat sangatlah penting. Bangun hubungan baik dunia nyata maupun dunia nyata. Semoga ke depan, para pemimpin dapat belajar dari pengalaman ini untuk menciptakan hubungan yang lebih baik dengan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H