Mohon tunggu...
Haryono Hs
Haryono Hs Mohon Tunggu... -

Suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Taman Bungkul, Gratisan, dan Budaya Antri

12 Mei 2014   20:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gratis itu memang enak, tetapi akan tidak mengenak kan bila dengan gratis itu lalu timbul petaka. Lha wong tanpa susah payah seseorang dapat gratisan, tentu saja bisa dipandang sebagai hal yang enak, namun ada juga sebagai an orang yang berpandangan kalau gratis itu gak enak, lha wong bukan atas usaha keringat sendiri kok  enak. “Terang saja gak enak laaaaah”, sahut sohib sejati awak.

Lepas enak dan gak enak, yang pasti pada kerumunan massa, dapat dipastikan akan ada akibat yang lebih banyak gak enak nya daripada raihan enaknya, bila tidak dipersiapkan dengan seksama.

Banyak contoh, dari warga bangsa Nusantara ini bila sudah berada di dalam kerumunan  masa, maka cenderung ber perilaku berbeda dengan saat ia sebagai individu,  khususnya dalam mensikapi budaya antri apalagi untuk yang gratisan.

Betapa tiap tahun kita selalu disuguhi tontonan yang memprihatinkan seputar budaya antri ini. Banyak orang pingsan bahkan meninggal saat kerumunan itu. Pembagian sembako, pembagian zakat, pembagian daging Qurban dan bahkan semalam event gratisan yang dilakukan salah satu perusahaan ternama di jalan Raya Darmo, itu  menjadikan Taman Bungkul, menjadi tidak ada harganya sama sekali.

Dalam benak awak saat memperhatikan gambar - gambar tanaman yang blesehan ( berserakan ) gak karuan, lalu dibandingkan penayangan Taman Bungkul sebelum kejadian, luar biasa jauh berbeda.

Dari media on line, di isyaratkan bahwa penyelenggara di samping minta maaf juga akan bertanggung jawab terhadap semua kerusakan yang terjadi.

“  Ya harus bertanggung jawab laaaah.... “  Kalau gak sampeyan, mau nya  siapa yang bertanggung jawab ?.

Bagi awak, semestinya memang tidak hanya bertanggung jawab terhadap perbaikan fisik taman. Tetapi juga harus bertanggung jawab terhadap luka hati warga, khususnya warga Surabaya pasca kejadian. Bayangkan kemana mereka berhibur diri ? Kemana anak anak kecil yang selama ini bercengkerama dengan keluarganya menikmati keindahan Taman yang musnah seketika  dengan kegiatan mu itu.

Hingga sebelum taman pulih kembali, dapat dipastikan mereka akan kehilangan saat bahagia mereka untuk melihat taman asri itu untuk sementara waktu.

Siapa yang mengobati luka hilangnya waktu itu. Tidak satu pun, termasuk perusahaan sampeyan.  Ini adalah pelajaran bagi kita semua.

Sewajarnya pemda Surabaya mengajukan tuntutan hukum kepada pihak yang bertanggung jawab. Bahkan masyarakat Surabaya pun, mungkin juga dapat mengajukan tuntutan kepada pihak penyelenggara, yang mengabaikan pengurangan hak menikmati keindahan Taman yang selama ini mereka rasakan . Tetapi cukupkah hal itu saja yang dilakukan. Tidak.

Pelajaran berharga itu bahwa perilaku kita harus segera berubah. Khususnya dalam hal “budaya antri”.

Menanamkan budaya antri, memang tidak bisa dilakukan dengan instan. Ia harus dilakukan secara perlahan dan bertahap sejak usia dini, dengan memperkenalkan nya saat di PAUD dan atau taman Kanak Kanak. Dari kebiasaan berbaris mengantri memasuki ruang belajar, mengantri saat mengambil makanan, minuman, bahkan mengantri saat akan pulang sekolah. Itu harus secara terus menerus ditanamkan hingga ia menjadi dewasa.

Diharapkan setelah dewasa ia menjadi contoh generasi berikutnya, tentang budaya antri ini.

Masih untung di kerumunan masa Taman Bungkul semalam tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap keselamatan manusia, coba kalau terjadi hal yang fatal misalnya meninggal. Betapa kita semua, akan menyesal.

Kita memang harus segera berubah menuju ke arah yang lebih baik, dengan harus banyak belajar membaca arah zaman, belajar menghargai orang lain, belajar dan sadar akan kesabaran, belajar bertanggung jawab kepada diri dan lingkungan, bahkan belajar untuk jujur terhadap nurani sendiri, dengan mempertanyakan apakah tindakan kita sudah benar adanya.

Gak usah jauh jauh. Lihat saja antrian di pintu keluar ruang tunggu bandara bagi penumpang yang akan boarding. Kemruyuk. Apa tidak ada cara dan usaha dari maskapai untuk mengatasi hal itu, sehingga antri menjadi budaya bagi para penumpangnya. Bisa saja diatur penumpang dengan nomer dekat jendela, atau penumpang perempuan di dahulukan.....etc.

Walau sudah ada juga upaya salah satu pernerbangan dengan memberlakukan model antrian sticker hijau, biru dan merah. Kalau memang itu yang terbaik, mengapa tidak disandardisasikan

Cara sederhana antri, memang harus kita ciptakan. Misal salah satu upaya mengatasi kerumunan berdesakan saat pembagian daging Qurban, ( ini dilakukan rutin tiap tahun di masjid lingkungan kami ) dengan membuat model antrian : Antrian pertama, dahulukan ibu ibu yang menggendong anak kecil. Lalu anak perempuan, lanjutkan anak laki laki, remaja perempuan, bapak bapak dan yang terakhir remaja laki laki. Diharapkan dengan model antrian demikian di samping terkendali, juga mempercepat waktu penyelesaian.

Mungkin untuk di masjid sebesar Istiqlal, bila perlu cantumkan dalam keplek undangan pengambilan daging Qurban itu, waktu perkiraan pengambilan.  Ini cara sederhana , walau tidak menyederhanakan masalah, tetapi kita harus berani berubah menuju ke arah yang lebih baik.

Pelajaran Taman Bungkul dan kejadian  - kejadian yang lain, tidak hanya merusak fasilitas umum, tetapi dengarkanlah orang orang renta, ibu ibu dan anak anak yang terjepit itu , melolong minta pertolongan bahkan hingga ada yang meregang nyawa.

Semoga ke depan budaya antri bisa semakin disadari oleh seluruh warga bangsa, hingga kita ber segera memulai dengan  memenejemeni model antrian ini..

Salam,-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun