Mohon tunggu...
Haryo Bagus Handoko
Haryo Bagus Handoko Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis buku & kolumnis majalah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ekspedisi

13 Februari 2012   08:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:43 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara dahan dan ranting berderak-derak, diiringi suara angin yang mendengung-dengung keras. Petir menggelegar bersahut-sahutan. Bunyinya sungguh memekakkan telinga. Sudah tiga jam hujan badai ini berlangsung. Tubuhku menggigil kedinginan. Basah kuyup. Perjalananku menembus hutan belantara ini tak kunjung berakhir. Hutan ini demikian luas. Untunglah aku menemukan gua ini, walau letaknya agak tersembunyi. Walau sedikit terlambat, karena tubuhku sudah terlanjur basah kuyup, namun setidaknya aku bisa berteduh sejenak sambil melepas lelah di tengah hujan badai ini. Di luar, hari sudah gelap. Sosok-sosok pepohonan hutan tak ubahnya bagaikan sosok-sosok raksasa mengerikan yang tinggi menjulang. Suasana begitu senyap. Yang terdengar hanyalah suara hujan dan sesekali diiringi oleh petir menggelegar yang bersahut-sahutan. Kembali aku menggigil. Malam ini begitu dingin.

Aku berusaha menggosok-gosokkan telapak tanganku ke kedua lenganku agar sedikit lebih hangat. Jaketku yang basah sudah aku lepaskan sejak tadi. Pelan-pelan aku meraba dalam gelap, mencari lampu senter yang kusimpan di dalam tas ranselku. Oh, syukurlah masih bisa hidup walau dalam keadaan basah. Kusorotkan cahaya senterku ke berbagai arah. Gua ini ternyata begitu luas dan besar. Tampak stalagtit-stalagtit berukuran besar di sana-sini. Lantai gua tidaklah datar namun cenderung menurun dan cukup terjal. Pelan-pelan aku melangkahkan kaki menyusuri lorong-lorong gua sambil sesekali menyalakan korek api, siapa tahu cadangan oksigen tidak banyak dalam gua ini. Ternyata nyala api tetap menyala-nyala di ujung pemantik apiku. Jadi kupikir aku aman-aman saja. Lorong ini tak kunjung berakhir dan bahkan kutemui begitu banyak persimpangan ke lorong-lorong yang lebih sempit. Daripada tersesat, kuputuskan untuk kembali saja ke tempat dimana aku tadi duduk-duduk di dekat mulut gua. Dengan sedikit malas, kulangkahkan kakiku kembali menuju tempat yang tadi.

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil-manggilku. Makin lama suaranya makin keras dan menggaung. Pantulan suaranya terdengar bersahut-sahutan. Aku terhenyak kaget. Buru-buru aku nyalakan lampu senterku dan kusorotkan ke berbagai arah. Tidak ada siapa-siapa. Lalu dari mana arah suara itu. Ataukah semua ini hanyalah sekedar ilusi saja. Bulu kudukku merinding. Mungkinkah suara wanita yang memanggil-manggilku itu adalah suara penunggu gua ini. Langsung saja aku berlari meninggalkan tempat itu, menuju ke dekat pintu masuk gua. Syukurlah aku masih ingat jalan menuju tempat itu dan tidak tersesat. Kuselonjorkan kakiku yang letih saat aku duduk bersandar di dinding gua. Karena capek akhirnya aku terlelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur, saat kudengar seseorang memanggil-manggil namaku. Suara itu terdengar sangat jauh dan samar-samar. Kucoba membuka mataku. Rasanya berat sekali. Tidak! Pasti suara itu hanyalah sekedar imajinasiku saja, atau mungkin aku sedang bermimpi. Kucoba untuk tidak menghiraukan suara itu. Aku kembali terlelap untuk beberapa saat. Semuanya serba gelap. Aku seakan mati suri.

Tubuhku memang sangat letih setelah seharian menjelajahi hutan belantara bumi Papua ini. Semuanya diawali oleh proyek penelitian tanaman langka yang sedang aku teliti bersama teman-temanku. Mungkin tanaman itu adalah salah satu dari sekian banyak tanaman purba yang masih hidup lestari hingga sekarang setelah berjuta tahun mengalami evolusi. Akhirnya kami berlima pun berangkat ke Papua. Aku dan keempat temanku yang semuanya peneliti. Berminggu-minggu kami menjelajahi sudut-sudut hutan belantara yang ada di Papua. Rombongan kami ditemani oleh tiga orang pemandu jalan. Sekedar berjaga-jaga agar kami tidak tersesat. Namun belum juga menemukan tanaman langka yang kami cari. Rencananya kami akan mencatat setiap detil morfologi maupun berbagai aspek kajian fisiologi tanaman langka tersebut begitu kami menemukannya.Kalau saja tadi aku tidak memisahkan diri dari rombonganku, tentu aku tidak akan tersesat seperti ini. Semakin masuk ke dalam hutan, semakin besar kemungkinan untuk tersesat bila tidak tahu jalan. Telepon satelit yang aku bawa dalam tas ranselku tampaknya sudah rusak akibat kemasukan air hujan. Maka lengkaplah penderitaanku. Tersesat tanpa alat komunikasi sebagai satu-satunya penyelamat hidupku. Untunglah aku menemukan gua ini, sehingga aku bisa berteduh.

Tiba-tiba kudengar lagi suara pria yang memanggil-manggil namaku. Kali ini suara itu terdengar lebih dari satu. Mereka memanggil namaku beramai-ramai. Tapi entah suara itu berasal dari mana. Kulihat di sekelilingku. Tidak ada seorang pun di sana. Lalu darimana datangnya suara-suara itu. Tiba-tiba tubuhku dan sekelilingku berguncang. Suara-suara itu semakin keras terdengar. Guncangan itu semakin keras, dan tiba-tiba dadaku serasa sesak seperti dihantam oleh sebuah benda berat dengan kecepatan tinggi. Aku jatuh terlentang. Benda apakah itu, yang menghantam dadaku demikian keras? Belum sempat aku bangkit, dadaku kembali dihantam oleh benda berat itu. Kali ini seluruh tubuhku serasa bergetar dan seperti dialiri listrik yang menjalar ke setiap pembuluh darahku. Kepalaku pening, serasa dipukul oleh sebuah palu godam yang cukup besar. Tiba-tiba terdengar lagi suara-suara itu. Makin lama makin keras.

"Ayo bangun kawan! Bernapaslah!"

"Ya, Tuhan semoga belum terlambat!"

"Kita ulangi lagi. Satu, dua, tiga!"

Tubuhku kembali bergoncang. Sesuatu itu kembali menghantam dadaku demikian keras. Kepalaku pening. Kali ini aku merasakan sesuatu yang aneh di sekujur tubuhku. Darahku serasa bagaikan mengalir kembali ke setiap pembuluh darahku. Kembali terdengar suara-suara itu yang semakin keras terdengar.

"Har, bangun! Ayolah teman, sadarlah!"

"Jangan menyerah, teman. Hidup ini masih indah. Masih banyak yang harus kita lakukan bersama-sama!"

"Sepertinya mulai ada respon!"

"Lihatlah, bola matanya bergerak-gerak!"

Tiba-tiba pipiku terasa panas, seperti ditampar berulang kali.

"Ayo bangun!"

"Har, bangunlah! Jangan seperti ini!"

"Lihat, dia mulai sadar!"

Pelan-pelan kubuka mataku. Kepalaku masih terasa pening. Cahaya lampu yang menyilaukan menyoroti mataku.

"Di manakah aku?" gumamku.

"Syukurlah akhirnya kau sadar juga! Kau berada di rumah sakit, teman! Untunglah semuanya belum terlambat saat kami menemukanmu!" kata Kukuh, salah satu rekanku yang juga turut menyertaiku dalam ekspedisi Papua kali ini.

"Kaukah itu, Kukuh?" jawabku lemah.

"Ya, ini aku, teman," katanya kemudian. "Di sini juga ada David, Sismanto, dan juga Muchlis, teman-teman kita dalam ekspedisi Papua ini. Juga ada Bu dokter Lutfi yang tadi berulang kali berusaha menyadarkanmu dengan alat pacu jantung saat jantungmu berhenti berdenyut."

"Oh, itukah yang terjadi?" tanyaku lemah. "Mengapa aku bisa berada di sini?"

"Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang sebaiknya kau beristirahat dulu beberapa saat," kata David sambil mengedipkan mata kepada yang lain agar tidak terlalu banyak berkata-kata.

Aku pun kembali tidur. Kali ini aku bermimpi tentang lembah subur nan hijau yang dipenuhi kupu-kupu. Kali ini suasana terasa begitu damai. Tidak ada lagi suara-suara aneh. Tubuhku tidak lagi menggigil seperti tadi. Cukup lama aku tertidur, hingga aku terbangun keesokan harinya akibat sinar matahari pagi yang menerpa wajahku.

"Selamat pagi," sapa seorang suster cantik yang saat itu datang untuk memeriksa tekanan darahku dengan menggunakan tensimeter dan stetoskop. "Syukurlah kondisi Anda sudah membaik, Pak Haryo."

"Apa yang terjadi hingga aku bisa berada di rumah sakit ini?" tanyaku.

Suster itu hanya tersenyum. "Biarlah teman-teman Anda saja yang menceritakannya pada Anda."

Wanita itu tampak serius mencatat sesuatu dalam buku jurnal kecilnya. Mungkin catatan harian perkembangan kesehatan pasien, demikian pikirku.Di lengan kiriku tertancap jarum dan selang infus. Apa yang terjadi padaku, pikirku bingung. Mengapa aku bisa berada di rumah sakit ini.

Suster cantik itu pun mengangguk sambil tersenyum dan berkata,"Nah, itu teman-teman Anda sudah datang. Sebaiknya saya mengunjungi pasien-pasien yang lain. Saya senang, Anda akhirnya bisa pulih kembali, walau masih harus banyak beristirahat."

Suster itu pun melangkah pergi. Di balik pintu terlihat teman-temanku. Mereka tampak berseri-seri dan terlihat lega.

"Syukurlah kau akhirnya sadar juga! Kami ketakutan setengah mati!" kata Sismanto yang langsung mengacak-acak rambutku dengan gayanya yang kocak.

"Dua hari koma dan tak sadarkan diri. Sungguh mengerikan!" sahut Muchlis mengomentari.

"Dua hari ? Selama itukah aku mengalami koma ?" tanyaku seakan tak percaya.

"Ya. Saat perjalanan itu, kami kebingungan saat tiba-tiba kau menghilang dari rombongan kami. Akhirnya kami pun memutuskan untuk mencarimu hingga ketemu. Tiga hari kami mencarimu tanpa kenal lelah, hingga akhirnya kami berhasil menemukan tanaman purba itu, sekaligus menemukanmu dalam kondisi mengenaskan!" jelas Sismanto.

"Sangat mengenaskan!" sahut David menyambung perkataan Sismanto.

"Tubuhmu penuh berlumuran lendir berwarna kuning. Mungkin itu semacam getah yang menimbulkan efek tidak sadar dan mengakibatkan halusinasi. Tangan dan kakimu dibelit oleh cabang dan sulur-suluran tanaman purba itu. Kau berada di semacam lubang celah yang merupakan mulut dari tanaman anggrek purba berukuran raksasa itu. Tampaknya tanaman purba itu berusaha mencerna tubuhmu perlahan-lahan dengan getah kuning menyerupai lendir yang juga menimbulkan efek halusinasi. Lihatlah luka-luka di sekujur tubuhmu. Selain berusaha mencerna tubuhmu hidup-hidup, tanaman purba itu juga menghisap darahmu pelan-pelan dengan sulur-suluran dan cabang-cabang tanaman itu yang memiliki tipe seperti mulut penghisap. Itulah sebabnya tubuhmu menggigil kedinginan dan akhirnya tidak sadarkan diri."

Aku hanya terpana mendengar penjelasan panjang David.

"Jadi akhirnya ekspedisi kita berhasil menemukan tanaman anggrek purba itu?" tanyaku seakan tak percaya.

"Ya, dan kau hampir saja menjadi santapannya, kalau kami tidak segera menemukanmu," sahut Sismanto dengan ekspresi wajah sedikit ngeri.

"Tanaman anggrek purba itu berbentuk menyerupai tanaman kantong semar, hanya bentuknya sedikit berbeda, berukuran cukup besar, lebih besar dari manusia, dan berada di dekat tanah sehingga lebih mudah menangkap mangsa. Cabang dan sulur-sulurannya cukup banyak dan tampaknya itulah yang membelit tubuhmu. Untunglah kami membawa gergaji elektrik sehingga dengan mudah kami menyelamatkanmu dengan membunuh tanaman itu terlebih dulu. Dan syukurlah kami cukup berhati-hati sehingga kami tidak menjadi mangsa berikutnya dari tanaman-tanaman purba yang hidup secara berkelompok di hutan pedalaman Papua ini," jelas Kukuh.

"Untung ada lebih dari satu tanaman yang masih hidup, sehingga nanti masih bisa diteliti lebih lanjut. Kami telah mengirimkan potongan-potongan spesimen tanaman yang mati ke kantor pusat riset kita sebagai bukti, dan mereka tampak sangat gembira dengan keberhasilan ekspedisi ini. Tim lain sedang menuju ke sini untuk meneruskan pengamatan dan penelitian lanjutan mengenai spesies langka tanaman purba ini."

Semuanya mengangguk mengiyakan.

"Yang penting, akhirnya kita semua selamat!" kata David.

"Ya, itulah yang terpenting. Apa gunanya ekspedisi kita berhasil kalau kita harus kehilangan seorang sahabat," sahut Muchlis.

"Sahabat?" tanyaku.

"Maksudnya itu kamu, tolol!" kata Sismanto sambil bergurau.

Yang lain hanya tertawa. Aku pun tertawa kecut sambil mengenang bahwa nyawaku hampir saja melayang gara-gara ekspedisi nekad ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun