Mohon tunggu...
Haryo Bagus Handoko
Haryo Bagus Handoko Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis buku & kolumnis majalah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Penjual Batik

13 Februari 2012   08:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:43 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga mengagetkan aku dan ibuku yang sedang berjalan menyusuri jalanan becek menuju pasar.Hampir saja ibuku jatuh karena kaget.Pagi ini seperti biasa sebelum berangkat sekolah, aku mengantar ibuku pergi ke pasar sambil membantu beliau membawa buntelan besar dagangan yang berisi kain-kain batik bekas.Ibuku bekerja sebagai penjual kain batik kaki lima di pasar tradisional sejak aku masih kecil. Bahkan sepertinya kain batik tak ubahnya sudah seperti hidupnya.Kalau sudah bicara masalah dunia perbatikan, ibuku adalah jagonya.Mulai dari kain batik khas Jawa buatan Yogya, Solo, hingga kain batik Madura, tak mungkin ada yang terlewat bila seseorang mengajak ibuku berdiskusi seputar masalah batik.Aneka jenis kualitas batik dikumpulkan oleh ibuku, mulai dari yang kualitas nomor satu atau biasa disebut dengan istilah primisima hingga yang kain batik dengan kualitas yang biasa-biasa saja.Semua kain batik dagangan ibuku adalah kain batik bekas yang dikumpulkannya dari para tetangga, teman, sanak saudara hingga orang-orang yang pernah mendengar nama ibuku yang mulai agak terkenal dari mulut ke mulut sebagai salah satu penjual kain batik bekas dengan harga miring di kota ini. Sering kali ibuku menerangkan kepadaku berbagai hal seputar perawatan kain batik, dan kalau sudah asyik menerangkan ibuku akan dengan sangat telaten mendeskripsikan berbagai hal sampai ke bagian yang paling detil dari lika-liku berjualan kain batik.Beberapa kenalan ibuku memang adalah pengrajin batik yang tersebar di berbagai daerah, dan tampaknya ibuku belajar banyak dari mereka.Rupanya ilmunya itu diturunkannya padaku.

Sepanjang perjalanan menuju pasar biasa dimanfaatkan oleh ibuku untuk menjelaskan berbagai hal seputar dunia kain batik, tanpa peduli apakah aku tertarik atau tidak.Tampaknya “ideologi” kain batik berusaha ditanamkan oleh ibuku agar melekat benar di otakku ini.Akhirnya tanpa sadar aku pun mulai tertarik dan mengerti sedikit-sedikit mengenai kain batik dan berbagai hal yang berhubungan dengannya, padahal aku baru duduk di kelas satu SMP.

“Jangan lupa nanti sepulang sekolah langsung ke tempat jualannya ibu ya, Nduk,” pesan ibuku saat kami sudah sampai ke pasar.

Inggih, Ibu – Ya, Ibu,” jawabku mengiyakan. Ibuku tersenyum sambil mengambil beberapa lembar uang ribuan untuk bekalku ke sekolah.Sambil mencium tangan kanan ibuku, aku pun berpamitan hendak menuju ke sekolah.Ibuku mengawasi kepergianku sambil melambaikan tangannya.

Dengan berjualan kain batik inilah ibuku bisa menghidupi keluarga kami yang sederhana, setelah ayah tidak mampu lagi bekerja akibat usianya yang sudah lanjut.Maklum saja, usia antara ayah dan ibuku terpaut jauh.Sebagai anak ke sembilan dari sepuluh bersaudara, aku harus membantu ibuku dalam kegiatan sehari-hari berjualan di pasar. Pagi hari sebelum berangkat sekolah aku akan mengantar ibuku menuju pasar sambil membantunya membawa buntelan besar berisi kain-kain batiknya, dan sepulangnya dari sekolah aku akan menemani beliau hingga sore hari berjualan kain batik.Kakak-kakakku sebagian besar sudah menikah dan pindah ke kota lain, sementara sebagian lagi bertugas mengurus rumah dan merawat ayahku yang seharian hanya bisa duduk lemah atau terbaring di tempat tidur sambil terbatuk-batuk. Ibuku adalah seorang pejuang kehidupan.Beliau tidak pernah menyerah pada kerasnya kehidupan, dan tampaknya prinsip inilah yang berusaha ditanamkan sejak dini di kepalaku.

“Hidup tidak akan pernah memberikan segalanya kepadamu dengan mudah, Nduk,” demikian pesan ibuku berulang kali. “Kamu harus berjuang keras untuk meraih apa pun dalam kehidupan ini,” ulangnya lagi.Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku.Dalam hati aku bersumpah akan berusaha keras dalam segala hal untuk menjadi yang terbaik demi membanggakan hati ibuku yang dengan susah payah dan usaha kerasnya berusaha menopang ekonomi keluarga seorang diri dengan berjualan kain batik. Sebagai seorang gadis belia aku sudah digembleng untuk tidak pernah cengeng dalam menghadapi kehidupan. Jangan pernah melihat ke atas.Kita harus pandai-pandai bersyukur atas apa yang kita punya, begitu ibuku menasehatiku suatu hari.Aku pun semakin jarang mengeluh.Sebaliknya aku semakin keras menempa diriku dengan berbagai ilmu yang kuperoleh di sekolah dan tentu saja banyak membaca berbagai buku yang terkadang kutemukan di pedagang barang loak di pasar.Mulai aneka buku bekas pengetahuan umum, budaya hingga aneka buku pelajaran bahasa asing.Memang sebagian besar uang jajan yang diberikan ibuku habiskugunakan untuk membeli buku, karena tanpa sadar aku mulai menjadi seorang kutu buku.Membaca buku itu demikian mengasyikkan.Seolah kita akan terbawa ke sebuah dunia lain yang penuh akan ilmu, imajinasi dan inspirasi. Dengan gemar membaca buku itulah, aku selalu memperoleh prestasi juara pertama di kelasku.

Sinau apa, Nduk – belajar apa, Nak ?” tanya ibuku saat melihat aku sedang asyik membaca buku.Besok ada ulangan umum, jadi sudah sejak sore sepulang dari pasar aku asyik membaca buku pelajaran dan buku catatanku.

Sinau gawe ulangan sesuk, Ibu – belajar buat ulangan besok pagi, Ibu,” jawabku.Ibu berjalan mendekat dan kemudian mengelus kepalaku dengan penuh kasih.Beliau dengan setia menemaniku belajar di ruang makan hingga larut malam sambil melipati dan merapikan kain-kain batik dagangannya.Ruangan-ruangan dalam rumah kami yang kecil dan sederhana mempunyai berbagai fungsi ganda.Ruang makan misalnya, juga berfungsi ganda sebagai ruang belajar.Saat sedang tidak digunakan untuk makan, meja makan segera beralih fungsi menjadi meja belajar dan meja tulis bagi aktivitas kami untuk mengerjakan PR atau pun untuk tempat menaruh tumpukan buku-buku kami saat kami sedang belajar.Aku dan Siti, adikku biasa memanfaatkan ruang makan ini semaksimal mungkin untuk kegiatan belajar kami.Di satu sisi lain meja makan, seperti biasa ibu selalu sibuk melipati dan merapikan kain-kain batik dagangannya.Ayah biasa duduk di ruang tengah mengobrol bersama kakak-kakakku.

Saat malam tiba, ruang tengah berfungsi ganda sebagai ruang tidur bagi kakak-kakakku.Maklum saja, rumah kami yang kecil tidak cukup menampung jumlah anggota keluarga kami yang cukup besar.Kakak-kakakku biasa mengalah dengan tidur beralaskan karpet murah yang dibeli ibu dari pedagang loak di pasar.Aku dan adikku tidur berhimpitan dalam sebuah ruang kamar sempit di sebelah kamar orang tua kami.Walau hidup dalam kesederhanaan, kebersamaan keluarga kami begitu membuatku bahagia.Kasih sayang dan perhatian yang biasa kami curahkan satu sama lain adalah lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.Aku berulang kali mengucap syukur kepada Tuhan bahwa aku demikian sering memperoleh beasiswa dan keringanan pembayaran SPP dari sekolah.Semua ini berkat prestasiku yang dari tahun ke tahun selalu berhasil meraih juara pertama pada setiap semester tahun ajaran di sekolah.Beasiswa dan keringanan pembayaran SPP sekolah selalu dengan mudah aku peroleh dan bisa membantu meringankan beban ibuku sebagai penyokong ekonomi keluarga.

Yen pinter utawa sugih banjur ojo dumeh, Nduk – Kalau pandai atau kaya jangan pernah merasa sombong, Nak,” nasehat ibuku saat mengetahui aku meraih prestasi juara pertama untuk yang kesekian kalinya. Segera aku tersadar agar tidak terlalu larut dalam eforia rasa bangga yang berlebihan.Di atas langit masih ada langit.Aku bukanlah apa-apa dibanding dengan orang lain yang mungkin jauh lebih pandai daripada diriku.Saat ini aku sudah duduk di bangku kelas dua SMA. Sudah bertahun-tahun aku selalu dengan setia mengantar ibuku membawakan barang dagangannya ke pasar, dan aku menikmati setiap kebersamaan yang kami jalin dalam setiap perjalanan menuju pasar.

Mata ibuku masih awas dan jeli dalam memilih mana kain batik yang bermotif dan berkualitas baik serta mana yang tidakJari-jari tangannya yang sudah mulai keriput masih peka terhadap perbedaan kualitas mana kain batik primisima dan mana yang bukan.Beliau terkadang demikian perfeksionis kalau sudah menyangkut masalah kain batik dagangannya.Ibuku hanya mau menjual kain batik yang masih bagus kondisinya, walau terkadang harga jualnya sangat tidak sepadan dengan usaha kerasnya untuk merawat dan menyulap kondisi kain batik dagagannya itu.Tangannya masih kokoh untuk mencuci kain-kain batik yang begitu banyak jumlahnya dengan larutan klerek - campuran air dan buah klerek yang berfungsi untuk menyulap kain batik agar senantiasa bagus kondisinya.Beliau terkadang begitu keras kepala tidak mau dibantu, tapi setelah beberapa kali mengamati tehnik dan langkah beliau akhirnya suatu hari aku diijinkan untuk membantu mencuci kain-kain batik yang cukup banyak jumlahnya itu.Hingga pada suatu hari aku demikian mahir dalam segala hal yang berhubungan dengan kain batik, mulai dari perawatan, mencuci batik hingga tehnik menjual batik di pasar.

Tak pernah kusangka bahwa bermula dari berlembar-lembar kain batik yang aku geluti setiap hari demi memperoleh rupiah penyambung kehidupan keluarga kami, kain batiklah yang telah mengantarkanku memperoleh beasiswa untuk kuliah hingga ke jenjang pasca sarjana bidang tekstil di sebuah universitas di Belanda.Bisnis kain batik kami selanjutnya diteruskan oleh adikku yang bungsu.Semua ilmu tentang batik aku ajarkan pada adikku tersebut hingga akhirnya ia bisa membuka sebuah toko galeri kain batik antik di kota kecil tempat kami dibesarkan.

Sekarang aku bekerja sebagai salah seorang ahli kain batik di sebuah museum batik di Belanda.Sebuah negeri di belahan bumi lain yang ribuan kilometer jauhnya dari kota kecil tempat aku dulu dibesarkan. Aku bekerja untuk Tropen Museum Amsterdam, sebuah museum ternama di Eropa yang terkenal oleh aneka koleksi kain batik khas Indonesia.Setiap kali aku memandang kain-kain batik yang dipajang di galeri museum, setiap kali itu pula aku selalu teringat kenanganku berjualan batik di pasar tradisional bersama ibuku.Aku tetap Warsih yang dulu, anak seorang penjual kain batik bekas yang beruntung bisa bekerja di sebuah museum ternama dunia di belahan bumi yang lain dan aktif memperkenalkan budaya Indonesia di negeri asing ini. Suamiku adalah seorang pria Belanda sekaligus budayawan dan dosen pengajar di sebuah universitas di Belanda.Ia mengajar tentang seni budaya Indonesia.

Anak perempuan tertuaku, Jamilah, kini sedang kuliah kedokteran sambil magang di rumah sakit GGD. Amstelaand de Merlanden.Kami sekeluarga dengan penuh kasihmerawat dan menemani ibuku tercinta hingga saat-saat terakhir beliau.Kata-kata semangat hidup selalu dihembuskan Jamilah dengan lembut di telinga ibuku, menyemangati beliau agar bertambah masa hidup ibuku beberapa waktu ke depan. Wajah bahagia dan senyum puas senantiasa menghiasi raut wajah ibuku.Beliau sangat menikmati memandang indahnya bunga-bunga tulip yang bermekaran di taman kota dari atas kursi rodanya.Gurat-gurat penderitaan di raut wajah beliau seakan terhapus sudah oleh kebahagiaan yang terpancar jelas demi menyaksikan anak cucunya hidup berkecukupan melebihi standar hidup yang pernah diimpikan oleh beliau.Aku atau Jamilah selalu mengajak beliau berjalan-jalan menikmati udara segar di saat akhir pekan.

Hari ini adalah hari peringatan 200 tahun seni batik Indonesia. Momen peringatan ini sudah dipersiapkan dengan baik untuk digelar di Tropen Museum tempat aku bekerja.Masih satu jam lagi sebelum museum resmi dibuka pagi ini dan perayaan akan dimulai. Aku kembali termenung memandang beberapa kain batik kuno bermotif truntum yang dipajang di galeri pameran. Teringat olehku akan perjuangan keras ibuku demi menghidupi kami semua.Kini sudah satu tahun semenjak kematian ibuku.Beliau dimakamkan di kota kecil kelahiranku di Indonesia, seperti yang selalu diinginkan oleh beliau.

Semua bermula dari kain batik.Terdengar sayup-sayup irama gamelan yang mengalun lembut dari ruang utama pameran. Rupanya museum sudah mulai dibuka. Suasana khas Jawa begitu terpelihara dengan baik di sini, di belahan bumi yang lain, ribuan kilometer jauhnya dari negeri asalku, Indonesia.Rasa syukur tak pernah habis terucap setiap kali terngiang nasehat berharga yang kuperoleh dari ibuku, seorang wanita desa sederhana, penjual kain batik bekas di pasar tradisional di sebuah kota kecil di Indonesia.

Rupanya nasehat-nasehat beliau untukku juga disampaikan untuk anakku, Jamilah.“Yen pinter utawa sugih banjur ojo dumeh, Nduk – Kalau pandai atau kaya jangan pernah merasa sombong, Nak,” teringat kembali nasehat ibuku untuk Jamilah anakku setahun yang lalu di saat-saat terakhir sebelum beliau menghembuskan nafas dengan tenang di rumah kediamanku di Oudekaarselan, Amstelveen - Amsterdam, Belanda.Pesan yang sama yang selalu dinasehatkan beliau kepadaku saat aku masih sekolah dulu.Kain-kain batik seakan menjadi saksi perjalanan hidupku.Aku tetap Warsih seperti yang dulu, wanita sederhana anak seorang penjual batik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun