Setiap tanggal 9 April dan 5 Oktober, warga Ibukota Jakarta dibuat terkesima dengan defile dan flypass dari pesawat-pesawat tempur TNI AU. Sebagian besar warga Jakarta dibuat kagum atas deru mesin jet tempur yang membelah langit. Yang jadi bintang, tak lain dan tak bukan adalah alutsista nomer wahid milik Republik Indonesia, seperti Sukhoi Su-27/30, F-16 Fighting Falcon, Hawk 109/209, dan F-5E/F Tiger.
Melihat dari kecenderungannya, beberapa hari jelang perhelatan akbar, selalu dilakukan latihan flypass, terbang formasi, bahkan atraksi aerobatik. Saya yang kebetulan tinggal di area Jakarta Selatan, biasanya mulai melihat flypass jet tempur secara intens pada H-7.
Lepas dari flypass dan atraksi aerobatik jet tempur diatas, sebenarnya ada suatu hal yang harus diwaspadai secara seksama, terutama oleh elemen Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas). Seperti sudah menjadi rahasia umum, dari segi kuantitas, Indonesia sangat kekurangan jet tempur. Jumlah jet tempur yang ada setiap hari dioperasikan secara terbatas untuk misi patroli, sebagian lagi ada di pangkalan untuk misi perbaikan.
Meski tentunya sudah disiasati, intinya saat hajatan 9 April sebagai hari jadi TNI AU, dan 5 Oktober sebagai HUT TNI, tingkat kesiapan jet tempur (terutama di wilayah perbatasan) menjadi berkurang, pasalnya sebagian ‘ditarik’ ke Jakarta untuk keperluan flypass. Sampai saat ini Kohanudnas memiliki 17 unit radar yang terbagi dalam Kosek (komando sektor). Kosek I yang bermarkas di Halim membawahi 6 radar, Kosek II di Makassar membawahi 5 radar, Kosek III di Medan membawahi 4 radar, dan Kosek IV di Biak membawahi 2 radar. Dalam pelaksanaan operasinya, unsur Kohandunas berintegrasi dan berkoordinasi dengan radar sipil, terutama untuk wilayah-wilayah di Indonesia Timur yang masih minim dari pantauan radar militer.
Momen Emas Terjadinya Black Flight
Dengan berkurangnya jumlah jet tempur di pangkalannya masing-masing, menjadi peluang emas bagi pihak asing untuk lebih leluasa melakukan misi black flight (penerbangan gelap). Mereka tahu, bila pada tanggal-tanggal tertentu kekuatan ‘interceptor’ TNI AU berkurang. Adanya elemen Arhanud (Artileri Pertahanan Udara) pastinya dapat mengelimir misi black flight yang akan masuk ke wilayah-wilayah obyek vital. Tapi tetap saja, elemen Kohanudnas yang utama adalah jet buru sergap untuk mengadakan tindakan sebelum black flight bertindak lebih jauh.
Black Flight
Sepanjang sejarah eksistensi hanud di Tanah Air, patut disyukuri ancaman yang dihadapi masih sebatas munculnya beberapa kali penerbangan gelap (black flight). Memang banyak diantara black flight berhasil dihadang oleh jet buru sergap TNI AU, tapi beberapa momen black flight lainnya hanya berhasil ditangkap oleh satuan radar TNI AU tanpa bisa direspon lebih lanjut. Umumnya black flight terjadi di wilayah sengketa atau konflik. Dalam beberapa laporan, black flight atau penerbangan tanpa izin kerap terdeteksi di Timor Timur (sekarang Timor Leste), pasa masa pra dan paska referendum tahun 1999. Black flight juga terlihat saat konflik horizontal di Ambon, Maluku.
Black flight tak melulu berwujud pesawat jet tempur yang berkecepatan supersonic, tapi bisa juga pesawat sipil, atau bahkan diindikasi juga oleh jenis helikopter. Umumnya pola hadirnya helikopter bisa terendus dari pantauan kecepatan dan manuver yang terlihat dari layar radar. Sumber dari Majalah Angkasa edisi Februari 2009 menyebutkan, sejak tahun 2006 kehadiran black flight cenderung terus meningkat, di tahun 2006 tercatat Lasa (laporan sasaran) tidak dikenal berjumlah 18 kali, tahun 2007 meningkat menjadi 23 kali, dan di tahu  2008 meningkat lagi menjadi 26 kali, dengan perincian 10 kali pelanggaran wilayah kedaulatan dan 16 kali pelanggaran yang bersifat mengancam wilayah kedaulatan.
Jenis-jenis pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah udara nasional diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu pelanggaran wilayah udara nasional, pelanggaran air defence identification zone, dan laporan sasaran tidak dikenal (Lasa X)/black flight. Semenjak tahun 2009 hingga Juni 2010, terjadi 23 kali pelanggaran kedaulatan pada wilayah udara nasional. Diantara jenis pelanggaran yang ada, pelanggaran black flight adalah yang paling sering terjadi (11 kali).
Dari laporan diatas bisa disimpulkan secara pihak asing kian berani melintasi ruang udara RI. Meski sering disambangi black flight, hingga kini tak ada satupun insiden yang dapat ditaklukan oleh sistem arhanud TNI. Tapi ada beberapa kejadian yang cukup menarik antara hadirnya sosok black flight dan keberadaan rudal darat ke udara di Tanah Air.
Seperti pada tahun 60-an, di masa perjuangan operasi Trikora, rudal SA-2 sebagai sistem pertahanan udara lapis kedua (areal defence) setelah pesawat tempur, pernah sekali waktu hampir digunakan untuk melibas target black flight yang diketahui sebagai pesawat intai U-2 Dragon Lady yang tengah melintas di Teluk Jakarta. Awak rudal SA-2 yang masuk skadron peluncur 102 berhasil mendeteksi U-2 dan kemudian melaporkan ke Panglima Kohanud. Oleh panglima diteruskan kepada presiden lewat jalur “telepon merah“ untuk menunggu perintah selanjutnya. Sementara operator radar sudah mengunci posisi U-2. Kalau Bung Karno ada di tempat ketika telepon berdering dari Panglima Kohanud, tidak seorang pun bisa membayangkan. Pilihannya memang bisa tembak atau tidak.
Terlepas dari pertimbangan politik, saat itu bisa hampir dipastikan rudal hanud SA-2 milik TNI mampu menjatuhkan U-2. Hal ini berkaca pada kejadian 1 Mei 1960, dimana SA-2 milik Uni Soviet berhasil menembak jatuh U-2 pada ketinggian 50.000 kaki. Berikutnya ada lagi informasi jatuhnya U-2 akibat sambaran SA-2 pada konflik Kuba vs Amerika Serikat di bulan Oktober 1962.
Gambaran diatas adalah situasi pada era 60-an, pertanyaannya bagaimana kesiapan sistem pertahanan udara kita saat ini? (Haryo Adjie Nogo Seno)
Sumber : www.indomiliter.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H