Mohon tunggu...
Haryo Utomo
Haryo Utomo Mohon Tunggu... Dosen -

S3 Ilmu Politik UI, Akademisi Universitas Bung Karno, Relawan Tzu Chi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Daftar Ulama dari Kemenag

20 Mei 2018   19:41 Diperbarui: 20 Mei 2018   20:46 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  1. Belum lama ini, kita menyaksikan bahwa Kementerian Agama telah merilis daftar 200 ulama yang dianggap sesuai dengan prinsip NKRI.

Daftar ulama tersebut menjadi serangkaian dari opini yang juga muncul dari sebuah organisasi keagamaan. Afiliasi muda organisasi tersebut menyampaikan opini bahwa sebuah BUMN telah mengundang sejumlah ulama yang konon merupakan tokoh penggerak khilafah dan anti kebangsaan serta anti NKRI.

Opini tersebut tentu memunculkan respon dari pemerintah tersendiri. Pemerintah menyadari pentingnya keberadaan ulama yang menjadi tonggak NKRI.

 Kesadaran tersebut tentu tidak terlepas dari kemunculan fenomena terorisme belum lama ini. Pemerintah melihat ada korelasi antara paham radikalisme dengan aksi terorisme.

Keberadaan daftar tersebut tentu memunculkan polemik tersendiri. Sebagian kalangan yang menjadi representatif ormas keagamaan tertentu menyetujui daftar tersebut. Sebagian lain mempertanyakan indikator atau basis pengajuan nama dalam daftar tersebut.

Pada konteks tulisan, penulis tidak akan memperpanjang pro dan kontra, namun akan berupaya memaparkan argumentasi yang seimbang. Hanya dengan argumentasi yang adil maka kita bisa membicarakan isu sensitif dengan bijaksana.

Pada bagian awal, kita perlu meninjau dari segi politik hukum Indonesia. Itu berarti kita perlu melihat dari konteks konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945.

Jika merujuk pada UUD 1945, maka kita perlu melihat pada pasal 28 dan turunannya. Pada pasal 28, kita bisa menemukan bahwa ada kemerdekaan berorganisasi, berserikat, dan berpendapat. Pada pasal turunan, kit juga melihat bahwa sebenarnya hak berpendapat termasuk hak hidup juga. 

Dakwah, isi ceramah keagamaan, dan sebagainya sebenarnya merupakan bagian dari pasal 28 dan turunannya. Itu berarti sebenarnya semua kegiatan ceramah keagamaan berkaitan erat dengan ekspresi berpendapat dari masyarakat. 

Di dalam konteks demokrasi, wacana atau opini adalah bagian kebebasan individu. Opini tersebut dijamin oleh hukum sesuai dengan prinsip demokrAsi. Itu juga bermakna sebenarnya secara prinsip, negara tidak berhak mengatur isi ceramah keagamaan.

Tentu menjadi pertanyaan tersendiri, lalu bagaimana jika opini tersebut dianggap sebagai perusak kedamian masyarakat, maka apakah negara boleh bertindak secara hukum?.

Untuk menjawab pertanyaan, maka kita perlu melihat ini sesuai kaidah demokrasi. Kaidah demokrasi menjamin kemerdekaan opini, dan negara idealnya tidak boleh intervensi wacana agama. Negara hanya boleh menindak jika terjadi kejahatan atau kriminalitas. 

Sebagai contoh, seorang tokoh rasialis di Amerika menyatakan opini rasialis terhadap minoritas. Di Amerika Serikat, negara tidak akan menindak opini, kecuali jika tokoh rasialis tersebut membunuh orang lain. Negara tentu akan bertindak dan mengadili pelaku, dengan delik pembunuhan, namun bukan atas dasar opini.

Lalu bagaimana jika ada tokoh berbicara mengenai isu anti negara bahkan menyuarakan disintegrasi atau anti pemerintahan yang sah?. Di dalam konteks ini, selama tokoh tidak menggerakkan massa bahkan tidak melakukan aksi kekerasan, maka itu bukan wewenang negara.

 Hanya saja, sesuai dengan prinsip hukum, negara memang bisa saja memantau wacana. Hal itu bagian dari peran negara untuk menciptakan ketertiban hukum, dan negara berhak bersikap aktif untuk mencegah potensi ancaman keamanan dan pertahanan nasional. 

Berkaitan dengan isu ulama versi Kemenag, maka kita bisa melihat keberadaan ulama yang berada di level kultural, dan tidak selalu berasal dari level struktural organisasi keagamaan tertentu. 

Kita menyadari bahwa ada perbedaan antara ulama yang menjadi bagian organisasi dengan yang tidak berafiliasi dengan ormAs. Yang tidak berafiliasi ada dua kemungkinan, yaitu bisa saja secara kultural sama dengan ormas-ormas Islam tertentu atau tidak sama sekali tidak terkait.

Berkaitan dengan ini tentu kita perlu melihat sisi lain. Kita tentu perlu mendorong keberadaan ulama ormas Islam manapun untuk semakin membumi dengan masyarakaT. Selain itu, ormas perlu semakin mendekati para ulama kultural.

Pada konteks ini, penulis menawarkan ide mengenai pembentukan entitas otoritas keagamaan yang berasal dari masyarakat. Kita bisa mencontoh dari Mesir yang memiliki Al Azhar sebagai pusat standardisasi ulama Mesir. Indonesia jelas perlu memiliki Al Azhar yang khas Islam Nusantara yang Berkemajuan. 

Jika kita berbicara mengenai satu standar yang sama, maka kita bisa memiliki ulama yang berdiri sesuai standar nasional, dan tidak diikat dengan standar ormas Islam manapun.

Tabik.

Haryo Ksatrio Utomo

Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UI

Angkatan 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun