Mohon tunggu...
Haryo Utomo
Haryo Utomo Mohon Tunggu... Dosen -

S3 Ilmu Politik UI, Akademisi Universitas Bung Karno, Relawan Tzu Chi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Revisi UU Anti Terorisme

18 Mei 2018   22:40 Diperbarui: 18 Mei 2018   23:06 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini muncul perdebatan substansif mengenai revisi UU Anti Terorisme. Revisi tersebut dianggap sebagai kebutuhan utama bagi RI. Kebutuhan tersebut dirasakan pasca terjadinya serangkaian bom bunuh diri dan serangan terhadap institusi kepolisian.

Pemerintah dan DPR menyadari pentingnya revisi tersebut. Revisi akan menjadi basis penguatan preventif terhadap setiap potensi ancaman terorisme di RI. Penguatan preventif akan memastikan institusi lembaga hukum terkait dapat bertindak cepat dan mematikan benih ancaman terorisme. 

Hanya saja, saat ini terjadi dua polemik antara pemerintah dan DPR. Polemik pertama berkaitan dengan definisi terorisme. Polemik ini berkaitan dengan perbedaan sudut pandang antara DPR dan Pemerintah mengenai batasan substansif mengenai sebuah tindakan terorisme. 

Berkaitan dengan definisi, pemerintah dan DPR sebenarnya menyepakati bahwa terorisme merupakan ancaman bagi keselamatan bangsa, dan juga ancaman terhadap keamanan nasional. Kedua belah pihak menyepakati bahwa tindakan terorisme harus dicegah dan dilawan. 

Hanya saja, terjadi perbedaan konseptual antara dua kubu. Kubu DPR menginginkan adanya teks alasan politik dan ideologis sebagai batasan terorisme. Namun, pemerintah menilai penjelasan batasan bisa berada dalam batang tubuh.

Sebenarnya, terorisme sebagai bagian dari tindakan kekerasan memang berbeda dengan tindakan kekerasan umum. Kekerasan dengan muatan ideologis tentu berbeda dengan kekerasaan umum yang terjadi di masyarakat.

Kita bisa mencoba memberikan sebuah analogi. Suatu ketika terjadi perampokan bank, dan perampokan bank tersebut disertai tindakan teror dan penyanderaan terhadap nasabah. Hanya saja, perampokan itu walaupun menimbulkan teror dan korban jiwa, namun tidak termasuk terorisme karena tiada motif ideologi.

Hemat saya, penguatan ide alasan ideologis dalam teks revisi merupakan sesuatu yang positif. Hal positif terjadi pada saat ada kejelasan landasan hukum, maka negara hanya bisa menyatakan sebuah tindakan sebagai wujud terorisme sesuai dengan definisi legal. 

Polemik kedua berkaitan dengan pelibatan TNI. DPR dan pemerintah sebenarnya menyepakati mengenai pelibatan TNI, hanya saja gagasan itu memunculkan kritik dari masyarakat sipil. 

Asosiasi masyarakat sipil menilai pelibatan TNI bermasalah secara norma politik. Hal itu dianggap tidak sesuai dengan amanat reformasI. Reformasi tahun 1998 menginginkan adanya pembatasan ruang lingkup TNI. Pembatasan tersebut untuk membedakan antara masa Orde Baru dengan Orde ReformasI. 

Pada konteks ini, perdebatan ini belum menyentuh aspek substansif. Aspek itu berkaitan dengan sinergisasi antara TNI dan Polri. Sinergisasi menjadi hal penting sebab terorisme merupakan aksi yang menjadi ancaman terhadap keamanan nasional sebagai domain Polisi dan pertahanan nasional sebagai domain TNI, sehingga itu membutuhkan respon yang cepat. 

Mengingat terorisme merupakan hal yang kompleks, maka penulis menawarkan sebuah gagasan. Gagasan penulis adalah merevisi peran BNPT. BNPT harus diposisikan sebagai satu-satunya lembaga yang mengerahkan pasukan anti teror, melakukan preventif, dan melakukan penindakan anti teror. Pada konteks ini, BNPT menjadi mirip dengan KPK sebagai sebuah lembaga otonom di bawah presiden. 

Tentunya, evolusi BNPT memunculkan implikasi tersendiri. Implikasi tersebut adalah peleburan Densus 88 dan pasukan anti terorisme milik TNI. Pasukan tunggal ini hanya bergerak atas perintah dari BNPT dengan persetujuan presiden dan DPR. 

BNPT baru ini walaupun menggabungkan tim antiterorisme TNI dan Polri, namun tim gabungan ini terpisah dari garis komando TNI dan Polri. Tim gabungan bersatu di bawah BNPT. 

Penggabungan ini memang bisa menjadi permasalahan tersendiri. Permasalahan berkaitan garis pemimpin lembaga. Garis komando lembaga sebaiknya di bawah komando sipil, dengan sistem kolegial, dan diharapkan juga berasal dari para mantan TNI dan Polri. Apapun persoalannya, sinergi ini memang akan menjadi sebuah kebutuhan tersendiri. 

Tabik

Haryo Ksatrio Utomo

Mahasiswa S3 Ilmu Politik FISIP UI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun