Suka atau tidak, saat ini, Indonesia memang sudah memasuki era digital dan industri berbasis kecerdasan buatan. Era tersebut dikenal sebagai Industri keempat.Â
Pada era industri keempat, maka fokus utama saat ini adalah pembentukan platform digitalisasi ekonomi, dan secara masif turut mengubah market place dan work place. Pembentukan platform ini menempatkan empat inti industri keempat, yaitu otomatisasi industri, konektivitas, kecerdasan buatan, dan hybrida manusia dengan mesin.Â
Pemerintah dan DPR terlihat sangat antusias dengan perubahan lanskap digital yang terjadi. DPR dan pemerintah pun menyadari bahwa pentingnya perumusan kebijakan dan perundang-undangan yang mendukung revolusi industri 4.0. Semua pihak menyadari bahwa jika negara tidak secara serius menyiapkan platform industri 4.0, maka RI dipastikan kalah dari negara-negara lain.
Kesadaran itu juga menjadi alasan bagi pemerintah saat ini untuk mengarahkan lanskap pendidikan untuk semakin mendukung perubahan. Negara mendorong pembentukan kurikulum dan program-program pendidikan berbasis teknologi.Â
Semua euforia tersebut bisa diapresiasi dengan baik, hanya saja tentu kita perlu mengkritisinya secara bijaksana. Dibalik semua euforia tersebut, perhatian kita hanya difokuskan pada perkembangan revolusi industri keempat. Padahal, industri 4.0 di RI hanya sebagian kecil dari Road Map Indonesia 4.0, dan itu seharusnya menjadi perhatian semua pihak.
Road Map Indonesia 4.0 menjadi sangat penting sebab itu menentukan eksistensi RI di era yang baru. Road Map ini seharusnya dipikirkan secara mendalam.
Road Map Indonesia 4.0 membahas tidak hanya aspek ekonomi, namun juga dimensi-dimensi lain, dan harus disiapkan dengan baik.
Dimensi pertama yang perlu dibahas adalah aspek pertahanan. Aspek pertahanan tidak hanya memuat unsur fisik, namun juga pertahanan digital. Sebagai catatan, pertahanan digital sangat penting dikaitkan dengan isu terorisme, dan perlu dimasukkan dalam revisi UU Kewarganegaraan.
Dimensi kedua berkaitan dengan aspek kewarganegaraan. Hal ini terlihat sederhana, namun ini bisa dikaji lebih mendalam. Berkaitan dengan aspek ini, kita perlu mulai memikirkan mengenai ide pemberian status kewarganegaraan bagi robot, kecerdasan buatan, dan netizen.Â
Isu kewarganegaraan bagi robot dan AI perlu dikaji sebab itu adalah konsekuensi logis dari perkembangan industri. Robot dengan AI bisa saja nanti akan menuntut persamaan hak dan kewajiban yang sama dengan manusia. Kita akan menghadapi kemungkinan robot juga akan melakukan gerakan demonstrasi yang afirmatif, termasuk antiperbudakaan robot oleh manusia.
Isu lain yang menarik adalah kemungkinan terjadinya pernikahan antara manusia dan robot, dan terjadinya proses reproduksi antara manusia dan robot bukan hal yang mustahil seiring dengan perkembangan bioteknologi.Â
Dimensi ketiga berkaitan dengan parlemen 4.0 yang tentu akan merevolusi konsep perwakilan. Berkaitan dengan konsep perwakilan, penggunaan Chatbot, VR, dan penggunaan sosial media, serta kemungkinan internet dalam waktu 10 tahun sudah mencapai level 7G, maka itu akan meredefinisi konsep MPR dan DPR, dan secara kritis memunculkan satu pertanyaan mendasar, yaitu apakah kompleks DPR/MPR masih diperlukan?.
Isu lain adalah berkaitan kemungkinan nanti parlemen tidak hanya mewakili manusia namun juga mewakili robot. Apakah kita semua sudah memikirkan konsekuensi logis dari industri keempat?.Â
Dimensi keempat adalah birokrasi berbasis pada digitalisasi dan mesin. Apakah kita sudah mulai membahas mengenai masa depan aparatur negara?. Apakah kita sudah siap jika PNS akan diganti dengan robot dan AI?.
Dimensi kelima adalah perubahan konsep pendidikan. Pada konteks ini, tentu diperlukan sebuah reinvention konsep pendidikan. Pendidikan tidak lagi difokuskan pada konsep menghafal, namun harus diarahkan terhadap critical thinking dan integrative learning. Hanya dua hal itu yang bisa membedakan manusia dengan robot.
Sebenarnya semua ulasan di atas masih sebagian kecil dari Road Map Indonesia 4.0. Gagasan ini sebenarnya pernah didiskusikan antara tim kami dari FISIP Universitas Bung Karno dengan Kantor Staf Presiden. Hanya saja, diskusi ini belum selesai dengan tuntas.
Apapun yang terjadi, kita semua perlu membahas desain dasar Indonesia 4.0 demi eksistensi RI.
Tabik.
Haryo Ksatrio Utomo
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik FISIP UI angkatan 2018-2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H