Sore itu angin bertiup lembut di serambi pesantren, namun suasana tegang menyelimuti. Mbah Yai duduk di kursinya, dikelilingi oleh para santri senior yang hening, seakan menunggu sesuatu yang berat akan disampaikan. Mata Mbah Yai yang sayu menatap jauh, seperti menyelami kenangan lama yang menyakitkan.
“Jangan pernah lupakan peristiwa ini,” suaranya rendah tapi tegas, menggema di antara dinding pesantren. “Pemberontakan PKI bukan hanya soal G30/S di Jakarta. Sebelum itu, di Pedes, Perak, Jombang, tempat kelahiranku sekaligus pusat pengajian Abah, sudah ada tanda-tanda.”
Para santri yang duduk melingkar menahan napas. Mereka tahu cerita ini bukan sekadar cerita perang. Ini tentang keluarga, tentang pesantren, tentang iman yang diuji oleh kekejaman dan tipu daya. Mbah Yai menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan.
“Waktu itu, ada rapat rahasia yang diadakan PKI di Jombang. Tokoh mereka yang baru pulang dari luar negeri, membawa strategi baru. Mereka licik, menggelar ludruk di depan rumah sebagai kamuflase, seolah-olah tidak ada apa-apa. Tapi TNI sudah tahu.”
Salah satu santri memberanikan diri bertanya, “Bagaimana TNI tahu, Yai?”
Mbah Yai tersenyum tipis, “TNI waktu itu sangat waspada. Begitu mereka mencium gelagat, rumah itu langsung dikepung. Pemimpin PKI yang ada di sana menolak menyerah. Ia lebih memilih mati di tempat. Setelah penggerebekan, ditemukan daftar nama kyai yang menjadi sasaran mereka. Salah satunya, Abah saya.”
Sejenak, hening. Para santri tak menyangka betapa dekat bahaya itu pernah mengintai kehidupan Mbah Yai. Dalam hati, mereka bertanya-tanya, bagaimana rasanya hidup dalam ketakutan setiap hari, mengetahui bahwa ayahmu sendiri adalah salah satu target musuh?
“Setelah itu, para kyai mulai menghimpun kekuatan. Saat itu umat Islam terpecah antara NU dan Masyumi. Tapi ancaman ini membuat mereka bersatu. PKI waktu itu bukan hanya besar, tapi juga sangat terorganisir,” lanjut Mbah Yai, suaranya bergetar.
Sejarah mengukir kisah kelam tentang pengaruh PKI yang menjalar hingga ke pelosok desa. Para buruh dan petani yang merasa ditindas, dengan mudah terpikat oleh janji-janji PKI tentang tanah dan keadilan sosial. Mereka tidak tahu, di balik janji itu, tersimpan agenda yang lebih besar: menghapus peran agama, terutama Islam, dari kehidupan bernegara. Para kyai, tokoh agama, adalah penghalang utama bagi mereka.
“PKI juga mendapat dukungan internasional,” jelas Mbah Yai. “Uni Soviet, China, mereka semua mendukung pemberontakan ini. Saat Madiun bergejolak tahun 1948, PKI membantai ribuan orang, termasuk kyai dan santri. Di antaranya Kyai Subchi dari Magetan.”
Santri-santri itu saling pandang, takjub sekaligus ngeri membayangkan betapa dekatnya ancaman itu pada agama dan bangsa. Mereka mendengarkan kisah Mbah Yai dengan penuh perhatian, menyadari bahwa apa yang diceritakan bukan hanya sejarah, melainkan juga peringatan bagi masa depan.
“Apa PKI bisa sebesar itu lagi, Yai?” tanya salah seorang santri dengan penuh rasa ingin tahu.
Mbah Yai mengangguk pelan, seakan sudah memprediksi pertanyaan itu. “Mereka memang pernah besar, dan takdir sejarah bisa saja berulang kalau kita lengah. Waktu itu, mereka memanfaatkan ketidakpuasan rakyat, ketidakadilan. Jika kondisi seperti itu terulang, tak ada yang bisa menjamin bahwa komunisme tak akan bangkit lagi.”
Para santri kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Masa depan memang tidak bisa ditebak, tapi sejarah selalu menjadi cermin, tempat kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Mbah Yai menatap mereka satu per satu, memastikan pesan terakhirnya tertanam dalam di hati mereka.
“Kalian harus waspada,” kata Mbah Yai dengan penuh harap. “Jangan pernah biarkan sejarah kelam ini terulang. Kalian, generasi muda, adalah harapan agar Indonesia tetap teguh di atas nilai-nilai agama dan kemanusiaan.”
Matahari sore mulai tenggelam di ufuk barat, memancarkan cahaya lembut yang perlahan menghilang di balik bukit. Satu per satu santri bangkit dari duduknya, meninggalkan serambi dengan pikiran yang berat. Pertanyaan Mbah Yai masih menggantung di udara, seolah menjadi ujian bagi mereka.
Di kejauhan, gema adzan mulai terdengar, mengundang mereka untuk kembali kepada Tuhan. Hari itu mereka pulang bukan hanya dengan ilmu, tapi dengan tanggung jawab besar: menjaga agama, menjaga bangsa, dan tidak pernah melupakan sejarah yang pernah menghantui tanah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H