Santri-santri itu saling pandang, takjub sekaligus ngeri membayangkan betapa dekatnya ancaman itu pada agama dan bangsa. Mereka mendengarkan kisah Mbah Yai dengan penuh perhatian, menyadari bahwa apa yang diceritakan bukan hanya sejarah, melainkan juga peringatan bagi masa depan.
“Apa PKI bisa sebesar itu lagi, Yai?” tanya salah seorang santri dengan penuh rasa ingin tahu.
Mbah Yai mengangguk pelan, seakan sudah memprediksi pertanyaan itu. “Mereka memang pernah besar, dan takdir sejarah bisa saja berulang kalau kita lengah. Waktu itu, mereka memanfaatkan ketidakpuasan rakyat, ketidakadilan. Jika kondisi seperti itu terulang, tak ada yang bisa menjamin bahwa komunisme tak akan bangkit lagi.”
Para santri kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Masa depan memang tidak bisa ditebak, tapi sejarah selalu menjadi cermin, tempat kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Mbah Yai menatap mereka satu per satu, memastikan pesan terakhirnya tertanam dalam di hati mereka.
“Kalian harus waspada,” kata Mbah Yai dengan penuh harap. “Jangan pernah biarkan sejarah kelam ini terulang. Kalian, generasi muda, adalah harapan agar Indonesia tetap teguh di atas nilai-nilai agama dan kemanusiaan.”
Matahari sore mulai tenggelam di ufuk barat, memancarkan cahaya lembut yang perlahan menghilang di balik bukit. Satu per satu santri bangkit dari duduknya, meninggalkan serambi dengan pikiran yang berat. Pertanyaan Mbah Yai masih menggantung di udara, seolah menjadi ujian bagi mereka.
Di kejauhan, gema adzan mulai terdengar, mengundang mereka untuk kembali kepada Tuhan. Hari itu mereka pulang bukan hanya dengan ilmu, tapi dengan tanggung jawab besar: menjaga agama, menjaga bangsa, dan tidak pernah melupakan sejarah yang pernah menghantui tanah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H